Mengenang Marah Rusli, Salah Satu Sosok Cemerlang Balai Pustaka | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Ilustrasi: AlfyArdi/Ceknricek.com

Mengenang Marah Rusli, Salah Satu Sosok Cemerlang Balai Pustaka

Ceknricek.com -- Siapa tak kenal roman Siti Nurbaya. Novel tentang seorang wanita yang dipaksa menikah oleh orang tuanya dengan lelaki yang tidak ia inginkan. Atau kisah cinta yang tak sampai antar dua insan yang akhirnya berujung tragedi kematian? 

Adalah Marah Rusli, seorang cendekia Minang di abad silam, sosok di balik karya fenomenal tersebut. Lelaki kelahiran Padang, 7 Agustus 1889, tepat pada tanggal hari ini, 130 tahun yang lampau.

Dokter Hewan yang Menjadi Sastrawan

Marah Rusli bin Abu Bakar, atau biasa dikenal dengan nama Marah Rusli adalah seorang dokter hewan yang juga berprofesi sebagai sastrawan di angkatan Balai Pustaka. Dalam sejarah sastra Indonesia, namanya tercatat sebagai Bapak roman Modern Indonesia yang diberikan oleh H.B. Jassin.

Berbeda dengan Taufiq Ismail dan Asrul Sani yang memang benar-benar meninggalkan profesinya sebagai dokter hewan karena memilih menjadi penyair, Marah Rusli tetap menekuni profesi tersebut hingga pensiun pada tahun 1952, dengan jabatan terakhir Dokter Hewan Kepala. 

Ayahnya, Sultan Abu Bakar, adalah seorang bangsawan dengan gelar Sultan Pangeran yang bekerja sebagai demang. Sementara Ibunya perempuan Jawa keturunan Sentot Alibasyah, Panglima Perang Diponegoro yang ditugaskan oleh Belanda untuk menghadapi perang Padri, namun malah membelot kepada kolonial Belanda dan akhirnya membantu rakyat Minangkabau.

Kesukaan Marah Rusli terhadap kesusastraan sudah tumbuh sejak ia kecil. Ia sangat senang mendengarkan cerita-cerita dari tukang kaba, tukang dongeng di Sumatera Barat yang berkeliling kampung dengan menjual ceritanya, dan membaca buku-buku sastra.

Marah Rusli berpendidikan tinggi. Buku-buku bacaannya banyak yang berasal dari Barat yang menggambarkan kemajuan zaman. Ia kemudian melihat bahwa adat yang melingkupinya tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. 

Inilah kemudian yang melahirkan pemberontakan dalam hatinya dan dituangkan ke dalam karyanya, Siti Nurbaya. Ia ingin melepaskan masyarakatnya dari belenggu adat yang tidak memberi kesempatan bagi yang muda untuk menyatakan pendapat atau keinginannya.

Tak banyak yang tahu, bahwa sebagian kisah Siti Nurbaya adalah curahan hati sang penulis. Marah Rusli memang turut menjadi korban kerasnya adat budaya Minang dalam mengatur perkawinan kala itu.

Marah Rusli dan Istri. Sumber: Istimewa

Ia yang memilih wanita Sunda sebagai pilhan hidupnya, terpaksa harus menyingkir dari kampung halamannya. Ia diusir dan dibuang secara adat, karena menolak dan tidak menuruti perjodohan yang telah diatur oleh keluarga besarnya dengan wanita lain sesama bangsawan Minangkabau.

Bahkan, di kemudian hari, kisah pahit hidupnya itu diceritakan lebih gamblang dan terang-terangan dalam novel terakhir yang ditulisnya, “Memang Jodoh”. Hingga akhir hayatnya ia tidak pernah lagi menginjakkan kaki di tanah leluhurnya, sampai ia menutup mata tahun 1968 di Bandung.

Marah Roesli Beserta keluarga. Sumber: Istimewa

Siti Nurbaya dalam Kacamata Feminisme

Keterkenalan Marah Rusli karena karyanya Siti Nurbaya (sebuah roman) yang diterbitkan pada tahun 1920 sangat banyak dibicarakan orang, bahkan sampai kini. Lewat ceritanya yang menggugah serta meninggalkan kesan mendalam pada pembaca tentu saja membuat novel ini menjadi bacaan hangat untuk terus dibicarakan meskipun hampir berumur satu abad.

Dalam Siti Nurbaya telah diletakkan landasan pemikiran yang mengarah pada emansipasi wanita. Cerita itu membuat wanita mulai memikirkan akan hak-haknya, apakah ia hanya menyerah karena tuntutan adat (dan tekanan orang tua) ataukah ia harus mempertahankan yang diinginkannya. 

Novel karya Marah Rosli ini secara umum dibatasi hanya sebagai novel percintaan semata. Namun tidak demikian bagi Gadis Arivia, seorang pengajar Filsafat dan Feminisme Universitas Indonesia.

Sumber: Istimewa

Gadis, dalam pembedahannya lewat sudut pandang feminis mengatakan, Siti Nurbaya memiliki tema besar dalam mengedepankan otonomi dan kebebasan manusia. Hal ini pun membawanya kepada satu pertanyaan tentang apakah artinya menjadi manusia? Ia pun mengkorelasikannya dengan kondisi sosiologis mengenai bagaimana masyarakat mendefinisikan perempuan sebagai manusia.

Menurut Gadis, Salah satu ukuran untuk mengetahui apakah standar kemanusiaan perempuan dan laki-laki sama adalah melalui kesempatan untuk mendapat pendidikan yang sama. Hak untuk memiliki akses pendidikan yang sama  juga merupakan tema yang diangkat novel Siti Nurbaya. 

Sumber: Tabloid Bintang

Syamsul Bahri (Samsu) dan Nurbaya memiliki pandangan bahwa akses pendidikan merupakan kunci. Hal ini tergambarkan sejak lembaran pertama novel dimana keduanya saling tertarik dengan pelajaran sekolah. Akses pendidikan yang sama bagi mereka juga diterjemahkan menjadi kesetaraan di dalam rumah tangga. 

Selain itu, satu isu hak perempuan yang dibahas dalam novel ini adalah masalah poligami. Protes atas poligami tidak hanya diungkapkan Nurbaya, tetapi juga dari tokoh laki-laki seperti Samsu dan Sutan Mahmud. Praktik ini dibenarkan oleh agama dan adat. 

Dalam adat Pariaman, dikenal praktek adat dimana laki-laki ”dibeli” oleh perempuan. Praktik ini pun dimanfaatkan untuk memperkaya diri laki-laki. Sebagian tokoh dalam novel Siti Nurbaya menunjukkan sikap menolak tradisi yang membelenggu dan keinginan untuk memperjuangkan kesetaraan perempuan.

Karya dan Kematian Pengarang

Marah Rusli meninggal dunia pada tahun 1968 pada usia 78 tahun. Jenazahnya dikebumikan di Bogor, kampung halaman sang istri yang ia nikahi saat berusia 22 tahun. Selain Siti Nurbaya, Marah Rusli juga menulis beberapa roman lainnya, seperti; La Hami; Anak dan Kemenakan; dan Memang Jodoh. 

Sumber: Qanita

Pada 1969  Roman Siti Nurbaya mendapat hadiah tahunan dalam bidang sastra dari Pemerintah Republik Indonesia hingga diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia. Tahun 1991 roman tersebut juga diangkat menjadi miniseri sinetron yang tayang di TVRI 7 September 1991 dan berakhir 28 September 1991.

Dalam sinetron inilah kemudian akan menjadi puncak karir aktor legendaris Him Damsyik yang memerankan Datuk Maringgih yang beradu akting dengan Novia Kolopaking (Siti Nurbaya) dan Gusti Randa sebagai Samsul Bahri.



Berita Terkait