“Jika kita menjadi satu kesatuan (One Piece), maka kita bisa mencapai satu perdamaian (Peace One).”
Ceknricek.com — Akhir-akhir ini, menjelang HUT ke-80 RI (17 Agustus 2025), sejumlah kaum muda di Indonesia marak mengibarkan bendera Jolly Roger simbol bajak laut dari anime One Piece tepat di bawah atau bersanding dengan Merah Putih. Diakui atau tidak, penggunaan bendera One Piece di flagpole (tiang bendera) adalah elemen penting dalam komunikasi simbolik: mengatur urutan, posisi, dan penekanan visual atas apa yang dianggap penting dan layak dihormati, menjadi bentuk baru dari “politik simbolik anak muda”, di mana mereka menegaskan nilai kebebasan, solidaritas, dan kejujuran bahkan jika harus lewat karakter fiksi bajak laut. Fenomena ini memicu respons beragam: dari peringatan keras pejabat hingga sajian argumen demokrasi dan kritik sosial tanpa pernah ada satu duplikat flagpole yang roboh karena kebingungan.
Menkopolhukam menyatakan pengibaran bendera non-negara bisa jadi konsekuensi pidana apabila merendahkan kehormatan Merah Putih. Sementara Wakil Menteri Dalam Negeri menyebutnya sebagai ekspresi wajar dalam demokrasi selama tak melanggar konstitusi. Wakil Ketua MPR menyebut ini sebagai ancaman nasional, bahkan menyiratkan adanya gerakan terbuka untuk memecah belah bangsa. Di sisi lain, kalangan partai politik lain menyebutnya sebagai kebebasan berpendapat yang sah diwujudkan lewat simbol budaya pop alternatif lebih aman daripada demonstrasi jalanan.
Seperti biasa, tetiba Gus Dur muncul dan berujar: ‘’ Secara filosofis, Jolly Roger One Piece menyampaikan nilai-nilai idealisme dan moral personal yang kuat khususnya bagi generasi muda yang merasa simbol formal gagal mencerminkan realitas sosial mereka. Jolly Roger tampil sebagai ekspresi kritis non-formal “ruang simbolik alternatif” bagi kaum muda yang merasa simbol formal kehilangan resonansi sosial-politik. Seperti pernah disampaikan sahabat saya Benedict Anderson dalam Imagined Communities: bangsa dibentuk melalui simbol, narasi, dan imajinasi kolektif. Bila simbol-formal gagal resonan dengan real-life masyarakat, narasi simbolik baru bisa muncul sebagai bentuk ekspresi kolektif baru.
Suatu simbol negara bisa kehilangan maknanya jika hanya dipakai sebagai ritual. Begitu pula sebaliknya, simbol budaya pop seperti Jolly Roger bisa jadi alat kritik yang kaya makna bila memegang kunci moral dan integritas personal. Keduanya bisa eksis berdampingan jika ruang dialog terbuka, tanpa degradasi terhadap simbol nasional pemerkokoh bangsa. Kita perlu lapang dada memahami bahwa anak muda menganggap Jolly Roger bukan sekadar logo tengkorak, namun juga melambangkan aspirasi kebebasan, solidaritas, dan “antisistem” yang dianggap lebih otentik ketimbang lambang kenegaraan yang dianggap kosong makna dalam konteks kekinian. Mereka merasa simbol nasional kehilangan esensi, jadi memilih simbol yang “ngebet” mewakili suara mereka. Inilah realitas yang ironis: anak muda lebih percaya pada bajak laut anime fiktif daripada lambang kebangsaan yang katanya sakral. Menurut saya pemerintah tidak perlu mengerahkan tank tiap ada bendera anime, mari kita tawarkan forum dialog terbuka: dengar anak muda, bantu isi kekosongan simbol nasional, ajaklah membuat branding Merah Putih lebih “memikat masa depan”, bukan tenggelam di anggaran seremonial.
Alih-alih mengecam, cobalah berdialog: “Kenapa kalian lebih suka dan memilih Jolly Roger?” Dengarkan jawaban mereka dan cerna dengan seksama. Mungkin tajir teori konspirasi, mungkin kesal akibat susah dapur diisi. Sama seperti yang secara santai pernah saya tanggapi atas pengibaran Bendera Bintang Kejora, pemerintah sekarang lebih pantasnya ditampar pelan dengan filosofi ringan: “Rileks, asalkan Merah Putih tetap berkibar lebih tinggi’’, beliau berlalu dan menghilang lagi.
Tinggallah diri ini yang masih pekat merenungi: jika simbol kebangsaan tak lagi menggetarkan jiwa muda, jangan salahkan mereka. Mungkin kita perlu menciptakan simbol yang bukan cuma digaungkan, tapi dirasakan seperti Jolly Roger bekerja di hati penggemarnya. Hanya saja, bantu mereka memahami bahwa kebebasan itu tak selamanya identik dengan bajak laut. Kadangkala, kebebasan lebih bijak apabila diiringi rasa cinta dan tanggung jawab terhadap bendera negara yang sesungguhnya. Bagaimana pendapat Anda?
*) Frasa ini lebih dimaknai permainan kata (wordplay) yang menggambarkan filosofi:
Pencarian akan One Piece bukan sekadar harta, tapi simbol kesatuan, kebebasan, dan akhirnya perdamaian. Pesan tersiratnya: “Jika kita menjadi satu kesatuan (One Piece), maka kita bisa mencapai satu perdamaian (Peace One).”
*) Greg Teguh Santoso, doctor of Knowledge Management and Organizational Communication, pemikir merdekanya