Close Menu
CEK&RICEKCEK&RICEK
  • Home
  • Headline
  • Berita
    • AKTIVITAS PRESIDEN
    • AKTIVITAS KEPALA DAERAH
    • AKTIVITAS MENTERI
    • POLITIK
    • JURNALISTIK
    • BREAKING NEWS
    • LINGKUNGAN HIDUP
    • KESEHATAN
    • BISNIS INDUSTRI
    • EKONOMI & BISNIS
    • HUKUM
    • SOSIAL BUDAYA
    • INTERNASIONAL
    • OLAHRAGA
  • Pengetahuan
    • SOSOK
    • SEJARAH
    • BIOGRAFI
    • BUKU & LITERATUR
    • TEKNOLOGI & INOVASI
    • RISET & DUNIA KAMPUS
  • ENTERTAINMENT
    • FASHION & BEAUTY
    • FILM & MUSIK
    • SELEBRITI
    • KOMUNITAS
    • FOOD REVIEW
    • WISATA
    • DUNIA KESEHATAN
    • SENI & BUDAYA
    • PARENTING & KIDS
    • TIPS & TRIK
    • TEATER
  • Opini
Tentang Kami Kontak Kami
  • APP STORE
  • GOOGLE PLAY
Facebook X (Twitter) Instagram YouTube
CEK&RICEKCEK&RICEK
Trending:
  • Indonesia Lolos ke Semifinal Piala AFF U-23
  • Justin Bieber Posting Papan Reklame di Jakarta, Fans Geger
  • Jaksa Belum Siap, Sidang Fariz RM Ditunda
  • Main Padel, Mata Arie Untung Cedera Kena Bola
  • Kembali Jalani Pengobatan Kanker di Penang, Vidi Aldiano Ucap Ini
Facebook X (Twitter) Instagram YouTube
  • Home
  • Headline
  • Berita
    • AKTIVITAS PRESIDEN
    • AKTIVITAS KEPALA DAERAH
    • AKTIVITAS MENTERI
    • POLITIK
    • JURNALISTIK
    • BREAKING NEWS
    • LINGKUNGAN HIDUP
    • KESEHATAN
    • BISNIS INDUSTRI
    • EKONOMI & BISNIS
    • HUKUM
    • SOSIAL BUDAYA
    • INTERNASIONAL
    • OLAHRAGA
  • Pengetahuan
    • SOSOK
    • SEJARAH
    • BIOGRAFI
    • BUKU & LITERATUR
    • TEKNOLOGI & INOVASI
    • RISET & DUNIA KAMPUS
  • ENTERTAINMENT
    • FASHION & BEAUTY
    • FILM & MUSIK
    • SELEBRITI
    • KOMUNITAS
    • FOOD REVIEW
    • WISATA
    • DUNIA KESEHATAN
    • SENI & BUDAYA
    • PARENTING & KIDS
    • TIPS & TRIK
    • TEATER
  • Opini
CEK&RICEKCEK&RICEK
  • Home
  • Headline
  • Berita
  • Pengetahuan
  • ENTERTAINMENT
  • Opini
Home»Opini
Opini

Pentingnya Adaptasi bagi Dokter dan Dokter Spesialis Diaspora

Agustus 22, 20235 Mins Read

Ceknricek.com–Saat seorang pasien dewasa datang dengan kelemahan kedua tungkai yang semakin lama semakin berat disertai nyeri di tulang punggungnya, dokter menemukan adanya kerusakan pada tulang punggungnya. Di negara maju penyebab paling sering (80%) adalah adanya tumor anak sebar (metastase) yang berasal dari keganasan/ kanker di organ tubuh lain seperti Paru dan Prostat (pada pria), kelenjar gondok, Usus Besar, atau dari saluran reproduksi Wanita (kanker indung telur atau leher Rahim). Oleh karenanya dokter harus melakukan anamnesa (pertanyaan terarah terkait anatomi dan fungsi dari organ tubuh yang dicurigai) dan dilanjutkan dengan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk memastikan dari mana asal anak sebar kanker tersebut, seperti foto rontgen Paru, USG perut dan kelenjar Tiroid/ Gondok, dan pemeriksaan petanda kanker (tumor marker) dalam darah.

Akan tetapi di Indonesia, kerusakan tulang belakang sehingga berakibat pada kelemahan kedua tungkai, 50% disebabkan oleh infeksi TBC, artinya seorang dokter di Indonesia harus terlebih dahulu memulai anamnesa dan melakukan berbagai pemeriksaan penunjang untuk memastikan ada tidaknya infeksi maupun riwayat infeksi TBC pada pasien tersebut. Ini adalah sebuah contoh paling sederhana dari kompleksitas terkait gejala yang sama (kelemahan kedua tungkai) dengan sebab yang berbeda terkait perbedaan sosial ekonomi dan demografi. Perbedaan seperti ini terjadi pada banyak macam penyakit pada hampir semua bidang ilmu spesialis.

Belum lagi kalau bicara tentang perbedaan pemahaman dan persepsi masyarakat terhadap penyakit tertentu, yang amat dipengaruhi oleh budaya lokal. Menjelaskan kasus yang diduga (belum pasti) disebabkan oleh infeksi HIV-AIDS secara tidak hati-hati dan dengan tanpa memperhatikan budaya setempat bisa berakibat terjadinya kesalah-pahaman dan kemarahan keluarga pasien kepada si dokter.Kebetulan penulis adalah spesialis bedah saraf lulusan pendidikan spesialis luar negeri yang kemudian menjalani adaptasi spesialis di Unpad selama 1 tahun.

Saat ini sebagai bagian dari pimpinan Kolegium Bedah Saraf juga telah mengelola program adaptasi spesialis Bedah Saraf bagi beberapa adaptan lulusan luar negeri. Lamanya program adaptasi ini ditentukan oleh Kolegium setelah mempelajari Log Book (buku catatan semua kasus yang pernah ditangani oleh calon adaptan), informasi terkait institusi pendidikan spesialisnya di luar negeri, serta hasil wawancara. Setidaknya ada 2 spesialis bedah saraf diaspora yang telah menjalani adaptasi selama masing-masing 2 (dua) tahun di Unair. Apakah pengurusan proses adaptasi ini sulit, berbelit, atau malah dipersulit? Jawabannya adalah tidak ada yang sulit asal semua syarat yang diperlukan ada dan terpenuhi.

Pengalaman lain adalah saat Kemkes menitipkan seorang spesialis bedah saraf diaspora calon adaptan, yang menyelesaikan pendidikan dokter dan spesialisnya di luar negeri (LN), bahkan ybs sudah berpraktek spesialis di negeri tersebut. Kebetulan saat itu kami sedang melakukan Ujian Kompetensi Nasional Kolegium Bedah Saraf. Nilai Batas Lulus kami tetapkan di angka 70, dan dari 26 peserta ada 2 (dua) peserta yang tidak lulus, yaitu seorang peserta lokal (nilai 68) dan si calon adaptan itu (nilai 41). Ini adalah sebuah bukti yang amat obyektif bahwa tidak semua dokter spesialis diaspora lulusan LN itu lebih pandai atau setidaknya setara dengan spesialis lokal. Bahkan ini bisa menggambarkan kalau kualitas pendidikan spesialis di LN tidak selalu lebih baik dari program studi spesialis di Indonesia. 

“Pendidikan dokter bukanlah sekedar upaya memberikan pengetahuan dan keterampilan bagi peserta didik, tapi lebih dari itu pendidikan dokter harus memberikan banyak pengalaman yang nantinya akan menciptakan perilaku dan harapan kebaikan bagi masyarakat, negara, dan bangsa” demikian ungkap Abraham Flexner. Sebagaimana juga sering disampaikan oleh guru besar UI, prof. Menaldi Rasmin, Sp P (K), bahwa pekerjaan dokter bukan sekedar upaya untuk menolong dan menyembuhkan penyakit pasien, tapi lebih dari itu yaitu menolong manusia yang sakit itu.

Hubungan pasien-dokter bersifat unik, yang memfasilitasi pertukaran ilmu pengetahuan di satu sisi, dan perawatan pasien di sisi lain, dalam sebuah bingkai etika dan kepercayaan. Pasien sakit Asma dengan penyebab faktor genetik yang sama akan memiliki manifestasi klinik/ fenotip/ gejala yang berbeda-beda dan dipengaruhi oleh lingkungan setempat serta butuh penanganan yang tidak selalu sama. Setidaknya seorang peserta didik harus pernah melihat sendiri berbagai kasus Asma dengan variasi fenotip yang berbeda-beda ini.

Adaptasi adalah sebuah proses ‘pembiasaan’ pada berbagai variasi dan jumlah kasus yang tidak sama untuk setiap wilayah geografis. Faktor budaya lokal juga mempengaruhi aspek sikap dan pemahaman masyarakat dan pendekatan dokter dalam menjelaskan penyakit-penyakit tertentu seperti soal HIV-AIDS tersebut di atas. Selain itu, adaptasi juga diperlukan untuk menambah pengalaman penanganan kasus-kasus yang banyak di Indonesia tapi jarang ditemukan di negeri tempat adaptan menjalani pendidikan spesialisnya.

Jadi terlalu picik dan dungu kalau seorang petinggi dan penentu kebijakan terkait proses adaptasi spesialis menganggap tidak diperlukan lagi adaptasi bagi diaspora yang sudah dinyatakan lulus pendidikan spesialis atau sudah ber praktek spesialis di luar negeri. Apalagi bagi tenaga kesehatan/ dokter spesialis WNA yang sama sekali tidak mengerti budaya dan kearifan lokal, lebih parah lagi kalau kemampuan berbahasa Indonesia tidak diperlukan saat ybs. mulai bekerja.

Korban dari kebijakan ini tentu masyarakat penerima layanan kesehatan, karena setidaknya ada empat prinsip dasar etika profesi dalam penyelenggaraan praktik kedokteran yaitu 1. Memaksimalkan ikhtiar untuk mencapai kebaikan; 2. Meminimalkan dan menghindari bahaya; 3. Menghormati hak pasien untuk memilih; dan 4. Keadilan. Semuanya demi melindungi rakyat dari praktek dokter abal-abal, dokter yang diragukan kompetensinya, dan praktek pengobatan yang belum didasarkan atas bukti medis melainkan atas dasar testimoni pejabat semata. Semua prinsip-prinsip dasar ini telah tertuang dalam lafal sumpah dokter dan Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki) yang selama lebih dari 70 tahun dikawal dan dijaga baik baik oleh sebuah organisasi profesi terbesar dan tertua yaitu Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

 #Zainal Muttaqin, MD., Ph.D, praktisi medis, mantan adaptan pendidikan spesialis luar negeri

Penulis: Cek&Ricek.com

Editor: Cek&Ricek.com

Adaptasi dokter kesehatan
Share. Facebook Twitter Telegram WhatsApp

Related Posts

Pesantren Digital

Gaza dalam Kesaksian Jean-Pierre Filiu: Kata Dibungkam (5/5)

Gaza dalam Kesaksian Jean-Pierre Filiu: Ikatan Sosial Runtuh (4/5)

Pendelegasian Wilayah Udara Ex FIR Singapura dalam Perspektif Ilmu Politik

Gaza dalam Kesaksian Jean-Pierre Filiu: Geng Abu Shabab (3/5)

Gaza dalam Kesaksian Jean-Pierre Filiu: Tak Lagi Dikenali (2/5)

Add A Comment
Leave A Reply Cancel Reply


Sedang Tren

Indonesia Lolos ke Semifinal Piala AFF U-23

Timnas Indonesia U-23 lolos ke semifinal ASEAN U-23 Mandiri Cup 2025 atau Piala AFF U-23.

Justin Bieber Posting Papan Reklame di Jakarta, Fans Geger

Juli 21, 2025

Jaksa Belum Siap, Sidang Fariz RM Ditunda

Juli 21, 2025

Main Padel, Mata Arie Untung Cedera Kena Bola

Juli 21, 2025

Kembali Jalani Pengobatan Kanker di Penang, Vidi Aldiano Ucap Ini

Juli 21, 2025

Pengakuan DJ Panda Sudah Bertanggung Jawab soal Kehamilan Erika Carlina

Juli 21, 2025

Kontroversi Harga Donat Pinkan Mambo

Juli 21, 2025

Vadel Badjideh Sempat Beli Obat Aborsi

Juli 21, 2025
logo

Graha C&R, Jalan Penyelesaian Tomang IV Blok 85/21, Kav DKI Meruya Ilir, Jakarta Barat. redaksi@ceknricek.com | (021) 5859328

CEK & RICEK
Telah diverifikasi oleh Dewan Pers
Sertifikat Nomor
575/DP-Verifikasi/K/X/2020

Facebook X (Twitter) Instagram YouTube
  • Headline
  • Berita
  • Pengetahuan
  • ENTERTAINMENT
  • Opini
© 2017-2025 Ceknricek.com Company. All rights reserved.

Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.