Close Menu
CEK&RICEKCEK&RICEK
  • Home
  • Headline
  • Berita
    • AKTIVITAS PRESIDEN
    • AKTIVITAS KEPALA DAERAH
    • AKTIVITAS MENTERI
    • POLITIK
    • JURNALISTIK
    • BREAKING NEWS
    • LINGKUNGAN HIDUP
    • KESEHATAN
    • BISNIS INDUSTRI
    • EKONOMI & BISNIS
    • HUKUM
    • SOSIAL BUDAYA
    • INTERNASIONAL
    • OLAHRAGA
  • Pengetahuan
    • SOSOK
    • SEJARAH
    • BIOGRAFI
    • BUKU & LITERATUR
    • TEKNOLOGI & INOVASI
    • RISET & DUNIA KAMPUS
  • ENTERTAINMENT
    • FASHION & BEAUTY
    • FILM & MUSIK
    • SELEBRITI
    • KOMUNITAS
    • FOOD REVIEW
    • WISATA
    • DUNIA KESEHATAN
    • SENI & BUDAYA
    • PARENTING & KIDS
    • TIPS & TRIK
    • TEATER
  • Opini
Tentang Kami Kontak Kami
  • APP STORE
  • GOOGLE PLAY
Facebook X (Twitter) Instagram YouTube
CEK&RICEKCEK&RICEK
Trending:
  • Atiek CB Taklukkan Puncak Gunung Rinjani di Usia 62 Tahun
  • Aespa Akan Rilis Album Baru pada September 2025
  • Resmi! Luka Modric Gabung AC Milan
  • Pilkada Gado-Gado
  • Kuatnya MRC Selama ini Karena Diduga Dibekingi Jokowi
Facebook X (Twitter) Instagram YouTube
  • Home
  • Headline
  • Berita
    • AKTIVITAS PRESIDEN
    • AKTIVITAS KEPALA DAERAH
    • AKTIVITAS MENTERI
    • POLITIK
    • JURNALISTIK
    • BREAKING NEWS
    • LINGKUNGAN HIDUP
    • KESEHATAN
    • BISNIS INDUSTRI
    • EKONOMI & BISNIS
    • HUKUM
    • SOSIAL BUDAYA
    • INTERNASIONAL
    • OLAHRAGA
  • Pengetahuan
    • SOSOK
    • SEJARAH
    • BIOGRAFI
    • BUKU & LITERATUR
    • TEKNOLOGI & INOVASI
    • RISET & DUNIA KAMPUS
  • ENTERTAINMENT
    • FASHION & BEAUTY
    • FILM & MUSIK
    • SELEBRITI
    • KOMUNITAS
    • FOOD REVIEW
    • WISATA
    • DUNIA KESEHATAN
    • SENI & BUDAYA
    • PARENTING & KIDS
    • TIPS & TRIK
    • TEATER
  • Opini
CEK&RICEKCEK&RICEK
  • Home
  • Headline
  • Berita
  • Pengetahuan
  • ENTERTAINMENT
  • Opini
Home»Opini
Opini

Resiko dan Ancaman Bahaya bagi Masyarakat Luas, bila Kolegium dikangkangi Penguasa dan Kepentingan Korporasi

Mei 29, 20259 Mins Read

Kolegium kemenkes tidak dibentuk oleh komunitas ilmiah, melainkan kumpulan orang-orang yang terikat dibawah ketiak menkes, lewat proses yang tidak transparan dan tidak partisipatif, sehingga tidak memiliki legitimasi keilmuan.

Ceknricek.com–Pada tanggal 19-20 Mei lalu, ada Pernyataan Keprihatinan para Guru Besar FK di hampir seluruh Indonesia terkait upaya menkes mengambil alih sebuah Badan Pengampu Ilmu yang bernama Kolegium. Dalam banyak narasi di berbagai forum, menkes menuduh Kolegium, yang memang pembentukannya diinisiasi oleh Perhimpunan Dokter Spesialis, sebagai biang kerok pelbagai program layanan kesehatan, seperti kegagalan distribusi dokter, mahalnya biaya sekolah dokter spesialis, dan terbatasnya jumlah peserta didik sekolah spesialis.

Benarkah semua narasi menkes tersebut? Atau sebagaiman biasa, menkes ini selalu melempar isu tanpa data yang benar alias hoaks, dan menebar tuduhan palsu yang cenderung fitnah terkait profesi kesehatan, bahkan tentang ilmu kedokteran. Mari kita coba telaah persoalan ini dengan kepala dingin dan hati yang terbuka.

Kolegium adalah sebuah badan ‘pengampu Ilmu’ dari setiap bidang ilmu kedokteran, ada Kolegium Ilmu Bedah, Kolegium Ilmu Mata, Kolegium Ilmu Kebidanan-Kandungan, dsb. Tugas Kolegium adalah menentukan dan ‘menjaga’ Standar Pendidikan dan Standar Kompetensi. Standar Pendidikan maknanya siapa yang boleh jadi guru, apa saja yang mesti diajarkan, tahapan penguasaan ilmu dan cara belajarnya, sekolahnya/ RS Pendidikannya harus punya fasilitas dan pasien apa saja, lamanya masa studi, dan bersama pemilik sekolah (Universitas) menyelenggarakan ujian sebelum para peserta didik dinyatakan lulus sebagai spesialis.

Anggota Badan Ilmiah Profesi atau Kolegium dipilih dari mereka yang paling mumpuni dalam urusan Ilmu dan Pendidikan ilmu tersebut, yaitu para Guru Besar Ilmu tersebut dan para Pengelola Sekolah Spesialis. Ketua Kolegium bukan dipilih oleh para anggota perhimpunan spesialis, melainkan dipilih dari dan oleh para kepala sekolah/ pengelola program studi spesialis, sama sekali tidak dibentuk oleh IDI atau, apalagi ditunjuk oleh ketua IDI.

Tanpa Kolegium yang Independen, masyarakat jadi korban layanan kesehatan di bawah standar, dan layanan kesehatan yang mengancam jiwa karena standar kompetensi yang tidak terpenuhi .

Apa sih yang dimaksud dengan kompetensi? Kompetensi adalah batas minimal pengetahuan dan ketrampilan saat ilmu tersebut dipraktekkan pada pasien. Saat saya meresepkan obat, saya mesti tahu itu obat untuk apa, tidak boleh diberikan dalam situasi apa, efek samping obat, dan bagaimana mencegah dan mengatasi bila terjadi efek samping.

Kompetensi bukan sekedar pernah melakukan, bisa melakukan atau bahkan berpengalaman melakukan. Andai tukang parkir RS atau menkes saya ajak ikut operasi perdarahan otak atau operasi Sesar (SC), tiga kali seminggu selama 6 bulan, pasti mereka akan trampil melakukan operasi tersebut. Apakah ketrampilan itu bisa disebut kompetensi ? Jawabnya jelas tidak, karena baik si tukang parkir atau menkes tidak bisa mengambil keputusan siapa yang mesti dioperasi dan siapa yang tidak perlu operasi, dan juga tidak tahu bagaimana mengatasi kalau terjadi komplikasi, misalnya perdarahan yang tidak mau berhenti, ususnya lengket/ robek, atau kandung kemihnya ikut teriris secara tidak sengaja.

Tidak hanya sampai disitu, semuanya harus dilaksanakan dalam bingkai Etika Profesi (kedokteran itu menolong, bukan transaksi bisnis, atau jual beli penyakit dengan jasa mengobati), dengan tetap mengutamakan Patient Safety. Calon spesialis bedah mesti belajar dari pasien sungguhan, tapi tidak boleh terjadi pasien menjadi cacat saat operasi karena alasan dokternya baru belajar. Setiap tindakan medik mulai dari meresepkan obat, merawat luka di UGD, menolong persalinan, sampai operasi Bedah Mikro Otak yang komplek, harus dilandasi dengan kompetensi. Bukan sekedar trampil mengiris perut dan mengeluarkan bayi bak bongkar pasang mesin mobil, yang cukup dengan pelatihan tiga bulan di Balai Latihan Kerja (BLK).

Tanpa Kolegium yang independen, rakyat akan jadi korban pengobatan yang belum terbukti manfaatnya tapi berbayar mahal, dan uji coba obat yang melanggar etika riset pada manusia.

Masyarakat menjadi tertarik pada pengobatan ala klinik Tong Fang atau dukun Ponari, hanya karena testimoni pejabat atau tokoh masyarakat. Bahkan terjadi pembiaran layanan pengobatan (tanpa bukti medis akan manfaatnya) tersebut dibiarkan terus berlangsung karena nilai bisnisnya mencapai puluhan sampai ratusan milyar setiap bulannya. Contohnya adalah terapi cuci otak (brainwash), dan suntik stem cell untuk 1000 macam penyakit, yang secara terang-terangan dipraktekkan di beberapa RS Pemerintah dan Swasta, tanpa ada peringatan/ teguran dari otoritas kesehatan.

Saat awal pandemi, ada kasus Kalung Anti Covid yang dimotori oleh Kementerian Pertanian, dan ada uji coba Obat Covid Kerjasama antara BIN, TNI-AD, dan Unair yang dihentikan oleh BPOM, karena proses riset yang tidak sesuai standar. Puncak pelanggaran etika terkait riset obat adalah uji klinik fase 2 Vaksin Nusantara, yang data uji klinik fase 1-nya di RS Kariadi ternyata dipalsukan. Saat itu peneliti dan para pendukungnya mengandalkan testimoni para petinggi Senayan, tetapi suara para akademisi dan Guru Besar yang menentang pelbagai riset palsu tersebut dipojokkan oleh narasi para buzzer sebagai tidak nasionalis dan tidak mendukung karya anak bangsa. Tanpa ada kolegium yang independen, negeri ini bisa jadi belantara riset dan uji coba obat pada manusia yang membahayakan rakyat banyak.

Tanpa Kolegium yang independen, ada potensi berulangnya tragedi kemanusiaan dalam Sejarah perkembangan Ilmu Kedokteran

Beberapa peristiwa tragedi kemanusiaan pernah kita lalui sebagai akibat hilangnya independensi Kolegium Kedokteran. Antara tahun 1925-1940, para dokter di Jerman (di bawah cenkeraman kekuasaan politik Adolf Hitler), melakukan berbagai Riset/ Penelitian Biomedik dan Genetik yang melanggar martabat kemanusiaan, memanfaatkan para tahanan di Kamp Konsentrasi sebagai manusia coba. Paska perang, para dokter ini diadili dalam pengadilan Nurenberg, yang akhirnya menghasilkan Kode Nurenberg (cikal bakal Deklarasi Helsinki tentang Etika Riset yang melibatkan subjek manusia).

Amerika-pun tidak luput dari skandal pelanggaran HAM berat pada kasus Tuskegee Siphylis Study (1932-1972). Kucuran dana besar Korporasi melandasi dilakukannya sebuah riset oleh para dokter, yang menjadikan sebuah komunitas Afro-Amerika miskin di desa Tuskegee, sebagai ‘hewan coba’ dengan imbalan uang dan sembako. Sebanyak 399 pria sengaja ditulari infeksi Sifilis, dan tidak diberikan pengobatan, demi mempelajari efek kerusakan organ tubuh akibat infeksi dari tahun ke tahun. Peserta uji-coba samasekali tidak diberitahu tujuan penelitian, dan bagi yang bersedia diotopsi saat meninggal akan dapat bonus finansial. Riset ini berakhir dengan 128 kematian dan sisanya menderita cacat. Riset yang melanggar etika kedokteran ini akhirnya terbongkar oleh tulisan Jean Heller, jurnalis dari Associated Press, yang menimbulkan kemarahan besar seluruh manusia beradab, di The Washington Star (25 Juli 1972) dan The New York Times (26 Juli 1972). Peristiwa serupa dalam skala yang lebih kecil pernah juga terjadi di Jepang dan beberapa negara lain.

Kedua peristiwa di atas menggambarkan betapa pengaruh kekuasaan dan dana korporasi/ kepentingan bisnis mudah sekali menjerumuskan para akademisi dan professional medis, untuk menggunakan keahlian dan pengetahuannya dengan cara yang tidak sesuai dengan etika dan moral kemanusiaan.

Kolegium dirampok menkes lewat PP 28/2004, Permenkes 12/2024, dan Kebohongan Publik

Pada PP No. 28/2024 Pasal 1 Butir 44, Kolegium adalah Kumpulan Ahli dari setiap disiplin Ilmu Kesehatan …..yang menjalankan tugas dan fungsi secara independen dan merupakan alat kelengkapan Konsil. Tapi pada Pasal 707 tertulis, Kolegium dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenang harus berkoordinasi dengan menkes dalam rangka menjamin kesesuaian dengan kebijakan yang ditetapkan menkes. Dalam hal pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang tidak sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh menkes, menkes dapat melakukan penyesuaian pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang. Jadi menkes bisa melakukan intervensi pada kolegium kapan saja.

Selain itu, UU 17/2023 pasal 272 ayat 4 menyatakan bahwa keanggotaan kolegium berasal dari Guru Besar dan Ahli Bidang Kesehatan. Syarat ini jadi lenyap (dihilangkan) pada PMK 12/2024 tentang mekanisme seleksi anggota dan ketua Kolegium Kesehatan Indonesia dan penetapan ketua Kolegium Bidang Ilmu. Oleh karena itu, secara logika sederhana dan akal sehat, Kolegium yang dibentuk atas dasar PP No.28/2024, dan PMK 12/2024 bukanlah sebuah Lembaga Ilmiah, alias Kolegium Palsu karena tidak mandiri, sepenuhnya di bawah ketiak menkes, dan penuh dengan conflict of interest.

Dalam sebuah unggahan IG, menkes mengatakan “Ketua Kolegium dipilih dari suara terbanyak dalam proses voting oleh Anggota Organisasi Profesi (OP) Spesialis” (https://www.instagram.com/reel/DBGhsllS7D6/?igsh=MWs4MHI1b2tqN-nYzbw==). Padahal banyak yang dipilih bukan dari suara terbanyak, bahkan ada orang yang samasekali tidak ikut pemilihan misalnya kolegium Obs-Gin dan Orthopedi (Dr Ivan Sini, SpOG tidak ikut seleksi, tidak punya pengalaman di Institusi Pendidikan, tapi ditunjuk jadi ketua kolegium karena teman menkes).

Terkait proses pemilihan lewat voting ala Indonesian Idol, selain proses yang tidak transparan, pemilihnya siapapun anggota OP Spesialis tanpa verifikasi, jumlah pemilih samasekali tidak proporsional (Spesialis Anak/ IDAI anggotanya 5600 orang dan yang ikut voting 120 orang, Spesialis Bedah/ PABI anggotanya hampir 6000 orang, yang ikut voting 600 orang, situasi serupa terjadi di banyak kolegium). Kalau ini terjadi pada pemilu, pasti hasilnya sudah dianulir oleh Mahkamah Konstitusi. Menkes juga menunjuk bawahannya langsung, Dirut RSCM sebagai Ketua Kolegium Bedah, dan Dirmed RSCM sebagai Ketua Kolegium Jantung, sungguh kocak banget.

Kesimpulan

Kolegium kemenkes tidak dibentuk oleh komunitas ilmiah, melainkan kumpulan orang-orang yang terikat dibawah ketiak menkes, lewat proses yang tidak transparan dan tidak partisipatif, sehingga tidak memiliki legitimasi keilmuan. Kolegium Kesehatan Indonesia layaknya sebuah produk cacat yang terbungkus legalitas yang dipaksakan, tapi tanpa ruh keilmuan, tidak lahir dari komunitas akademik, melainkan hasil rekayasa politik penguasa, demi menguasai dan menyempurnakan kontrol atas seluruh tatakelola tenaga medis dan tenaga kesehatan.

Penggunaan instrumen kekuasaan secara ugal-ugalan ini gambaran kegugupan seorang pejabat publik yang telah kehabisan dalih, melanjutkan upaya membegal lembaga ilmu dari tangan pemilknya yang sah. Apalagi di kemenkes hanya sang Juragan yang boleh bersuara, sisanya cukup jadi pembisik, penjilat dan pembebek. Pembungkaman atas kritik dan perbedaan pendapat yang pernah dialami oleh Prof. Zainal Sp BS, Prof Menaldi Sp P, Prof Budi Santosa SpOG, Dr Piprim Sp A, Dr Hikari Sp A, Dr Fitri Sp A, dan Dr Rizky Sp A ini, bila tidak dilawan, akan terus berulang dan menyasar siapapun yang berdiri tegak mempertahankan nurani profesi.

Berangkat dari ketinggian etik dan keilmuan, patut kita renungi suara jernih Prof Menaldi Rasmin, Guru Besar FKUI yang disegani dan salah seorang arsitek terbentuknya Konsil Kedokteran tahun 2004 : “ Tidak ada Argumentasi Akademik yang mampu menjelaskan, mengapa negara boleh mengambil alih dan mendikte sebuah lembaga ilmiah, Academic Body, yang seharusnya independent, berbasis kebenaran sains, dan tanpa konflik kepentingan”.

“Kehadiran Kolegium versi menkes adalah bentuk kerusakan/ penyakit sistemik yang akan berujung pada degradasi Sistem Pendidikan Kedokteran, yang selama 175 tahun dibangun oleh para founding father bangsa ini”.

“Kolegium harus lahir dari Profesi, tidak ada satupun di atasnya yang boleh mengatur apalagi menguasai”.  

Gerakan Keprihatinan serta teriakan 363 orang Gurubesar FK dari hampir semua PTN pada Peringatan Hari Kebangkitan Nasional, tanggal 20 Mei yang lalu adalah puncak kekecewaan sekaligus kemarahan dari para Akademisi dan pengelola Institusi Pendidikan Dokter dan Dokter Spesialis. Ini bukan sekedar protes simbolik, tapi peringatan, Ketika Kolegium Tidak lagi independen, Ketika Pendidikan dilepaskan dari Keilmuan, maka Keselamatan Publik ikut terancam, karena Pendidikan Kedokteran adalah Amanah Kemanusiaan. Tidak ada argumentasi akademik yang mampu menjelaskan mengapa negara boleh mengambil alih sebuah ‘Academic Body’ yang seharusnya independen, berbasis bukti sain, tanpa konflik kepentingan. Pernyataan sikap para Gurubesar dan segenap Civitas Akademika FK, serta IDI Wilayah di pelbagai daerah tersebut bukanlah perlawanan reaktif, tapi Cermin Konsistensi terhadap Nilai-nilai Luhur Profesi dan Integritas Ilmu.

#Zainal Muttaqin, Pengampu Pendidikan Spesialis (30 th), Clinical Professor Kagoshima University, dan Gurubesar Universitas Diponegoro

Penulis: Cek&Ricek.com

Editor: Cek&Ricek.com

#kedokteran #Menkes dokter kemenkes kesehatan kolegium
Share. Facebook Twitter Telegram WhatsApp

Related Posts

Pilkada Gado-Gado

Kuatnya MRC Selama ini Karena Diduga Dibekingi Jokowi

Sajak Empat Baris dalam Amplop Cokelat

Noda Sejarah yang Perlu Ditulis Ulang

Nasution yang Pernah Kukenal

Oleh Ahmadie Thaha

Korupsi Dibilang Rezeki

Add A Comment
Leave A Reply Cancel Reply

Sedang Tren

Atiek CB Taklukkan Puncak Gunung Rinjani di Usia 62 Tahun

Ceknricek.com — Penyanyi legendaris Atiek CB kembali jadi sorotan publik. Di usianya yang menginjak 62…

Aespa Akan Rilis Album Baru pada September 2025

Juli 15, 2025

Resmi! Luka Modric Gabung AC Milan

Juli 15, 2025

Pilkada Gado-Gado

Juli 15, 2025

Kuatnya MRC Selama ini Karena Diduga Dibekingi Jokowi

Juli 15, 2025

Riza Chalid Dicekal ke Luar Negeri Usai Ditetapkan Jadi Tersangka

Juli 15, 2025

Prabowo Hadiri Peringatan Bastille Day 2025 di Paris

Juli 15, 2025

Sajak Empat Baris dalam Amplop Cokelat

Juli 15, 2025
logo

Graha C&R, Jalan Penyelesaian Tomang IV Blok 85/21, Kav DKI Meruya Ilir, Jakarta Barat. redaksi@ceknricek.com | (021) 5859328

CEK & RICEK
Telah diverifikasi oleh Dewan Pers
Sertifikat Nomor
575/DP-Verifikasi/K/X/2020

Facebook X (Twitter) Instagram YouTube
  • Headline
  • Berita
  • Pengetahuan
  • ENTERTAINMENT
  • Opini
© 2017-2025 Ceknricek.com Company. All rights reserved.

Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.