Close Menu
CEK&RICEKCEK&RICEK
  • Home
  • Headline
  • Berita
    • AKTIVITAS PRESIDEN
    • AKTIVITAS KEPALA DAERAH
    • AKTIVITAS MENTERI
    • POLITIK
    • JURNALISTIK
    • BREAKING NEWS
    • LINGKUNGAN HIDUP
    • KESEHATAN
    • BISNIS INDUSTRI
    • EKONOMI & BISNIS
    • HUKUM
    • SOSIAL BUDAYA
    • INTERNASIONAL
    • OLAHRAGA
  • Pengetahuan
    • SOSOK
    • SEJARAH
    • BIOGRAFI
    • BUKU & LITERATUR
    • TEKNOLOGI & INOVASI
    • RISET & DUNIA KAMPUS
  • ENTERTAINMENT
    • FASHION & BEAUTY
    • FILM & MUSIK
    • SELEBRITI
    • KOMUNITAS
    • FOOD REVIEW
    • WISATA
    • DUNIA KESEHATAN
    • SENI & BUDAYA
    • PARENTING & KIDS
    • TIPS & TRIK
    • TEATER
  • Opini
Tentang Kami Kontak Kami
  • APP STORE
  • GOOGLE PLAY
Facebook X (Twitter) Instagram YouTube
CEK&RICEKCEK&RICEK
Trending:
  • Oppo Reno 14 & 14 Pro 5G Resmi Meluncur di Indonesia, Ini Spesifikasi dan Harganya
  • MK Tolak Uji Materi Syarat Capres-Cawapres Minimal S1
  • Kesal Terhadap Trump, Warga AS Akan Gelar Aksi Protes Besar Besaran
  • Erick Tohir Tanggapi Hasil Drawing Kualifikasi Piala Dunia 2026 Ronde 4
  • Hidup Hemat, Ini 30 Cara Frugal Living yang Bisa Diterapkan
Facebook X (Twitter) Instagram YouTube
  • Home
  • Headline
  • Berita
    • AKTIVITAS PRESIDEN
    • AKTIVITAS KEPALA DAERAH
    • AKTIVITAS MENTERI
    • POLITIK
    • JURNALISTIK
    • BREAKING NEWS
    • LINGKUNGAN HIDUP
    • KESEHATAN
    • BISNIS INDUSTRI
    • EKONOMI & BISNIS
    • HUKUM
    • SOSIAL BUDAYA
    • INTERNASIONAL
    • OLAHRAGA
  • Pengetahuan
    • SOSOK
    • SEJARAH
    • BIOGRAFI
    • BUKU & LITERATUR
    • TEKNOLOGI & INOVASI
    • RISET & DUNIA KAMPUS
  • ENTERTAINMENT
    • FASHION & BEAUTY
    • FILM & MUSIK
    • SELEBRITI
    • KOMUNITAS
    • FOOD REVIEW
    • WISATA
    • DUNIA KESEHATAN
    • SENI & BUDAYA
    • PARENTING & KIDS
    • TIPS & TRIK
    • TEATER
  • Opini
CEK&RICEKCEK&RICEK
  • Home
  • Headline
  • Berita
  • Pengetahuan
  • ENTERTAINMENT
  • Opini
Home»Opini
Opini

Tarekat Generasi Algoritma

Desember 13, 20245 Mins Read

Ceknricek.com–Alhamdulillah, lumayan banyak yang membaca tulisan saya —dan lebih penting lagi, berani menanggapi. Saya sudah siap disergap kritik seperti sufi yang hendak bertarung melawan ego sendiri. Tapi ternyata tanggapan pembaca ini justru menghidupkan diskusi. Dengan semangat tarekat ala “generasi algoritma,” mari kita telisik gagasan ini dengan sentuhan religi, tapi tetap tajam dan kritis.

Sebelum lanjut, saya perlu mengungkap kembali sekilas artikel esai saya berjudul Tarekat Pembangkit Jiwa Budaya. Ia membahas ide Yudi Latif tentang pentingnya membangkitkan kembali jiwa budaya yang telah mati akibat pengaruh materialisme dan krisis spiritual, yang menyebabkan keruntuhan Barat, sebagaimana diuraikan Oswald Spengler dalam The Decline of the West.

Dalam pandangan Spengler, peradaban Barat telah memasuki fase senja karena kehilangan esensi spiritual yang menjadi inti budayanya. Krisis ini digambarkan sebagai sindrom Faustian—ambisi tak terbatas untuk menguasai alam dan moral—yang membawa kehancuran ekosistem, ketimpangan sosial, serta kemunduran makna hidup.

Diskusi tersebut kemudian dikaitkan dengan kondisi Indonesia, di mana moralitas bangsa berada pada titik nadir. Peradaban Indonesia yang dulu memiliki ‘ashabiyyah kuat berakar pada gotong royong dan spiritualitas kini terkikis oleh korupsi, fanatisme, perpecahan, judi online di mana-mana, dan kapitalisme.

Rekan diskusi saya, cendekiawan Yudi Latif, mengusulkan sebuah tarekat baru, yaitu komunitas spiritual yang mampu menjawab tantangan era modern. Tarekat ini dirancang tidak hanya untuk memperkuat dzikir dan latihan individu, tetapi juga membangun jiwa kolektif melalui pendekatan lintas agama, budaya, dan teknologi.

Dalam artikel tersebut, saya menawarkan refleksi mendalam tentang bagaimana Indonesia dapat menemukan kembali jiwa budayanya dengan membangun peradaban berbasis nilai luhur yang relevan di era digital. Gagasan ini memicu tanggapan pembaca, yang mengusulkan model tarekat baru yang lebih operasional, serta mendorong tarekat yang sudah ada untuk lebih dinamis dan kontekstual dalam menyelami keislaman khas Nusantara.

Tanggapan pertama menginginkan tarekat baru yang, katanya, harus terukur indikatornya. Saya membayangkan Syekh Abdul Qadir Jailani bangkit dari kubur, mendengar tarekat kini memerlukan key performance indicator (KPI). Sudah selesaikah wirid 10.000 kali dalam seminggu? Sudah cukupkan dzikir harian untuk mencapai target tahunan? Jangan-jangan tarekat masa depan akan memerlukan audit eksternal: apakah semua murid telah mencapai output spiritual yang sesuai dengan standar ISO 9001.

Yang lebih menarik, ia meminta tarekat baru ini “realistis dengan potensi dan situasi kekinian di Indonesia.” Bayangkan saja, tarekat zaman AI mungkin tak hanya menyuruh muridnya berkhalwat di gua, tapi juga mengunduh aplikasi meditasi. Istilah seperti holistik mencakup segala sektor dan aspek kehidupan membuat saya bertanya-tanya: apakah tarekat ini perlu cabang di startup, kantor pemerintahan, hingga mall? Kalau begitu, mungkin tarekat baru ini juga perlu pelatihan team building dan kursus komunikasi antar-generasi.

Namun, jangan salah sangka, gagasan ini punya daya tarik tersendiri. Indonesia memang memerlukan gerakan spiritual yang tak hanya menyepi, tapi juga membawa misi ke tengah masyarakat. Walaupun, mari kita hindari membayangkan tarekat yang terlalu sibuk dengan proposal business plan.

Tanggapan kedua lebih menggigit: mengingatkan kita agar tarekat yang sudah ada di Indonesia menggali “api Islam” Nusantara. Saya teringat pepatah, “Jangan hanya menjaga abu, tapi kobarkan apinya.” Persoalannya, bagaimana membakar semangat spiritualitas dalam dunia yang lebih tertarik menyalakan filter TikTok daripada lampu masjid?

Pembaca ini juga mengkritik loyalitas buta dalam tarekat, yang katanya membuat mereka “mandek.” Mungkin, ini sindiran halus untuk tarekat-tarekat yang lebih sibuk menjaga tradisi daripada menghadapi realitas. Bayangkan sebuah tarekat yang mengadakan musyawarah untuk memutuskan apakah berdzikir sambil scrolling Instagram itu halal. Tapi di sini ada poin serius: tarekat baru memang harus menyesuaikan diri dengan zaman tanpa kehilangan inti spiritualnya.

Mari kita lanjutkan imajinasi ini: sebuah tarekat masa kini dengan platform digital. Anggotanya tidak hanya berdzikir, tapi juga memproduksi konten edukasi di YouTube, misalnya. Mereka memiliki dashboard untuk mengukur tingkat spiritualitas: berapa banyak amal baik yang tercatat setiap hari, diimbangi dengan waktu screen time.

Tapi tentu, ini semua adalah hiperbola. Pesan utama dari tanggapan pembaca tetap valid: tarekat harus relevan dengan tantangan zaman. Mereka harus mampu menghidupkan semangat spiritualitas yang sejati, bukan hanya sebagai ritual kosong, tetapi sebagai daya pendorong untuk menghadapi sindrom Faustian yang telah merusak banyak peradaban.

Jika pembaca pertama menganggap ini tugas kolektif, saya setuju, tapi dengan catatan. Tarekat baru, atau apa pun bentuknya, tidak akan lahir dari sekadar rapat atau diskusi panjang di grup WhatsApp. Tarekat baru memerlukan keberanian: untuk menggali nilai lama, memadukannya dengan pendekatan baru, dan —seperti kata Spengler— membangkitkan “jiwa budaya” dari reruntuhan modernitas.

Jadi, mari kita lihat siapa yang siap memulai tarekat baru ini. Apakah para pemuda milenial yang gemar berdzikir di depan layar laptop? Atau justru para kyai dan mursyid yang, meski sudah sepuh, tetap memahami bahwa zaman terus bergerak maju? Yang jelas, tarekat baru tidak bisa hanya menjadi konsep akademis. Ia harus menjadi gerakan nyata —seperti secangkir kopi yang membangunkan jiwa budaya yang sudah mati suri.

Dan jika Anda bertanya, siapakah yang bersedia memimpin tarekat semacam itu? Tentu saja ada, selama Anda menyediakan kopi tanpa batas untuk para muridnya. Karena, di tengah badai modernitas ini, kita semua butuh sedikit lebih banyak kafein untuk bertahan.

Cak AT – Ahmadie Thaha

Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 13/12/2024

Penulis: Cek&Ricek.com

Editor: Cek&Ricek.com

algoritma generasimuda tarekat
Share. Facebook Twitter Telegram WhatsApp

Related Posts

Gaza dalam Kesaksian Jean-Pierre Filiu: Tak Lagi Dikenali (2/5)

Ketika Jin Bikin Gara-Gara

Gaza dalam Kesaksian Jean-Pierre Filiu: Menembus Batas (1/5)

Pilkada Gado-Gado

Kuatnya MRC Selama ini Karena Diduga Dibekingi Jokowi

Sajak Empat Baris dalam Amplop Cokelat

Add A Comment

Tinggalkan BalasanBatalkan balasan

Sedang Tren

Oppo Reno 14 & 14 Pro 5G Resmi Meluncur di Indonesia, Ini Spesifikasi dan Harganya

Oppo resmi meluncurkan dua HP terbarunya di Indonesia, yaitu Reno 14 5G dan Reno 14 Pro 5G, pada Rabu (17/7/25).

MK Tolak Uji Materi Syarat Capres-Cawapres Minimal S1

Juli 17, 2025

Kesal Terhadap Trump, Warga AS Akan Gelar Aksi Protes Besar Besaran

Juli 17, 2025

Erick Tohir Tanggapi Hasil Drawing Kualifikasi Piala Dunia 2026 Ronde 4

Juli 17, 2025

Hidup Hemat, Ini 30 Cara Frugal Living yang Bisa Diterapkan

Juli 17, 2025

Eksepsi Nikita Mirzani Ditolak Hakim

Juli 17, 2025

Dari Masa ke Masa Pemeran Lois Lane di Film Superman

Juli 17, 2025

Ini Kata Kapolri soal Kematian Janggal Diplomat Kemlu

Juli 17, 2025
logo

Graha C&R, Jalan Penyelesaian Tomang IV Blok 85/21, Kav DKI Meruya Ilir, Jakarta Barat. redaksi@ceknricek.com | (021) 5859328

CEK & RICEK
Telah diverifikasi oleh Dewan Pers
Sertifikat Nomor
575/DP-Verifikasi/K/X/2020

Facebook X (Twitter) Instagram YouTube
  • Headline
  • Berita
  • Pengetahuan
  • ENTERTAINMENT
  • Opini
© 2017-2025 Ceknricek.com Company. All rights reserved.

Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.