Donald Trump resmi merilis lebih dari 230.000 halaman dokumen terkait tokoh hak-hak sipil legendaris, Martin Luther King Jr.
Ceknricek.com — Pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump resmi merilis lebih dari 230.000 halaman dokumen terkait tokoh hak-hak sipil legendaris, Martin Luther King Jr.
Dokumen tersebut mencakup catatan pengawasan oleh FBI dan memo internal dari berbagai lembaga intelijen yang sebelumnya telah diblokir publikasinya sejak 1977 oleh perintah pengadilan.
Langkah ini menuai reaksi beragam, terutama dari keluarga Martin Luther King Jr. Dua anak mendiang tokoh tersebut, Martin Luther King III dan Bernice King, mengecam rilis dokumen itu, menyebutnya sebagai potensi penyalahgunaan warisan sang ayah.
“Kami meminta mereka yang terlibat dalam perilisan berkas-berkas ini untuk melakukannya dengan empati, pengendalian diri, dan rasa hormat atas duka yang terus dialami keluarga kami,” ujar mereka dalam pernyataan resmi, seperti dimuat BBC pada Selasa (22/7/25).
Mereka juga menegaskan pentingnya konteks historis dalam membaca dokumen-dokumen tersebut.
“Semasa hidup ayah kami, beliau tanpa henti menjadi sasaran kampanye disinformasi dan pengawasan yang invasif, predatoris, dan sangat meresahkan yang diatur oleh J. Edgar Hoover melalui Biro Investigasi Federal,” bunyi pernyataan keluarga.
Pernyataan itu menyebut pengawasan tersebut telah merampas martabat dan kebebasan warga negaradari Martin Luther King Jr., dan mengingatkan publik bahwa pada 1999, sebuah juri dalam gugatan perdata menyatakan bahwa pembunuhan King merupakan hasil dari konspirasi besar, bukan hanya aksi tunggal dari seorang pria bersenjata rasis.
Namun, tidak semua anggota keluarga King mengecam langkah tersebut. Alveda King, keponakan Martin Luther King Jr., justru menyambut positif keputusan pemerintah.
“Saya berterima kasih kepada Presiden Trump dan DNI Gabbard atas pemenuhan janji transparansi mereka,” ujarnya.
“Sementara kita terus berduka atas kematiannya, deklasifikasi dan penerbitan dokumen-dokumen ini merupakan langkah bersejarah menuju kebenaran yang layak diterima rakyat Amerika,” tambahnya.
Rilis dokumen ini merupakan bagian dari perintah Presiden Trump pada Januari lalu yang menginstruksikan deklasifikasi catatan terkait pembunuhan Martin Luther King Jr., John F. Kennedy, dan Robert F. Kennedy.
Kantor Direktur Intelijen Nasional (DNI) menyebut dokumen-dokumen itu telah tersimpan berdebu di berbagai fasilitas pemerintah federal selama beberapa dekade, hingga hari ini.
Dalam siaran pers, DNI menyebut bahwa dokumen mencakup memo internal FBI dan catatan CIA yang belum pernah diketahui sebelumnya mengenai penyelidikan terhadap pembunuhan King.
Proses deklasifikasi ini dikoordinasikan dengan FBI, Departemen Kehakiman, Arsip Nasional, dan CIA.
Jaksa Agung AS Pamela Bondi mengatakan bahwa tindakan ini adalah bagian dari komitmen terhadap kebenaran historis.
“Rakyat Amerika berhak mendapatkan jawaban beberapa dekade setelah pembunuhan mengerikan salah satu pemimpin besar bangsa kita,” tegasnya.
Meski begitu, sejumlah pihak melihat rilis ini sebagai taktik politik. Tokoh hak-hak sipil Rev. Al Sharpton menyebutnya sebagai upaya putus asa untuk mengalihkan perhatian dari isu sensitif lain yang membelit Trump.
“Pengungkapan berkas-berkas King adalah upaya untuk mengalihkan perhatian dari badai api yang melanda Trump atas berkas-berkas Epstein dan terbongkarnya kredibilitasnya oleh publik,” kata Sharpton.
Seperti diketahui, Donald Trump tengah mendapat sorotan atas transparansi dokumen yang berkaitan dengan Jeffrey Epstein, pelaku kejahatan seksual berpengaruh yang tewas di penjara pada 2019 dalam kasus yang hingga kini masih menyisakan pertanyaan publik.
Martin Luther King Jr., pendeta Baptis dan simbol perjuangan kesetaraan ras di Amerika, ditembak mati pada 4 April 1968 di Memphis, Tennessee, saat berusia 39 tahun.
James Earl Ray, seorang kriminal berulang, mengaku bersalah atas pembunuhan tersebut dan dijatuhi hukuman 99 tahun penjara. Namun kemudian ia menarik pengakuannya dan mengklaim telah dijebak oleh konspirator tak dikenal.
Ray sempat kabur ke luar negeri sebelum akhirnya diekstradisi dan dipenjara hingga akhir hayatnya pada 1998.
Meski pengadilan berulang kali menguatkan pengakuan bersalahnya, misteri seputar siapa sebenarnya di balik pembunuhan King terus menjadi bahan investigasi dan perdebatan, termasuk dalam dokumen yang baru saja dirilis ini.