Bohemian Rhapsody: Sebuah Deklarasi Freddie | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak

Bohemian Rhapsody: Sebuah Deklarasi Freddie

Oleh: Hendro Basuki

 

LIRIK Bohemian Rhapsody (BR) selalu menjadi bahan diskusi hangat.  Bukan hanya oleh para pecinta Queen, tetapi juga para pakar. Ada pakar musik, psikolog, agamawan, bahkan menarik di kalangan  pengamat gejala zaman. Mereka memperbincangkan satu lagu, yang partiturnya sangat jarang muncul ke permukaan. Sebuah lagu yang dikarang oleh seorang legenda, yang mungkin keindahanhya akan melewati zaman. Apalagi, pengarangnya telah tiada dengan segala kontroversi yang melekat.

Liriknya sulit diterka apa arti  sesungguhnya. Apakah lirik itu menggambarkan sebuah episode kehidupan yang gagal, terengah-engah, penuh penyesalan, penuh harapan, putus asa, atau apakah sedang mempertanyakan, ataukah lagu pembebasan. Yang pasti, lagu itu tidak bermakna tunggal. BR, seperti ledakan-ledakan dalam syair yang liar.

 Pada awalnya, Freddie Mercury yang bernama asli Faroukh Bulsara ini tidak yakin dengan lagu tersebut. Meski memiliki keunikan, tetapi Fredd, maupun rekan-rekannya tidak terlalu yakin akan daya jangkau lagu ini. Secara iseng, ia hanya memberikan  kepada seorang DJ Kenny Everet untuk didengarkan secara pribadi. Tetapi, Kenny bukan sekadar seorang DJ, tetapi ia adalah seorang yang berselera, memiliki telinga yang baik, rasa dan pikiran yang tidak biasa. Dilepaskanlah BR ke publik. Dan, reaksinya dahsyat. BR bertahan di urutan puncak selama 9 minggu. Koor yang direkam 120 voice dengan menggunakan recording 24 track, jelas bukan sebuah proyek yang main-main. Dan, akhirnya BR dinobatkan sebagai lagu favorit oleh Guiness Book of Record oleh lebih dari 31.000 reponden. Lagu  yang dirilis tahun 1975 ketika Queen mengeluarkan album “A Night at Opera”.

BR berkisah tentang Bohemian Grove (pembakaran anak) yang di dalamnya menghadirkan banyak sekali pertanyaan mengunggat. Setiap kematian yang belum waktunya, selalu mengundang tanya. Dalam kehidupan keseharian, seorang anak yang baik hati, berperilaku baik, terlihat bahagia, penuh senyum dan ramah kepada tetangganya, tiba-tiba meninggal dunia oleh sebuah sebab. Orang dengan segera akan menangisi kepergiaannya. Begitu cepatkah ? Kebaikannya belum habis, kenapa harus pergi ? Apa salahnya ? Kenapa Tuhan memanggilnya begitu cepat ? Kenapa ? Itu lingkungannya !

Tetapi, mungkin juga si anak baik itu bertanya kepada dirinya sendiri. Tuhan, ambillah segera. Aku sudah bosan. Aku sudah lelah! Tak ada yang memperhatikanku. Tak ada kasih sayang yang hinggap di pipiku. Ayolah Tuhan,ambillah segera agar kejemput rasa bahagia. Jika harus pergi sekarang, rasa letihku segera hilang. Atau aku segera pergi jauh dengan tak lagi menghadapi hal yang memuakkan. Tuhan, pijami aku kereta untuk pergi jauh. Jika perlu, sekarang juga ! Tidah usah menunggu esok.

Begitu lahirnya, begitu pula matinya, kata Ki Timbul Hadi Prayitno. Ketika manusia lahir, dia menangis dalam lengkingan yang panjang. Seolah ingin segera diberi kasih sayang. Diberi perhatian. Diberi susu segar. Segera minta baju kepada lingkungannya. Minta makan. Semua hanya dalam bahasa tangis. Apakah dia sedang lapar, haus, ngompol, buang hajat, ataukah merasa gerah karena kepanasan. Ia sedang meminta perhatian, dan karena itu, dia menangis.

Tetapi, lingkungan menyambutnya dengan senyuman, dan tertawa lepas. Masa penantian yang panjang akhirnya datang juga. Orang tuanya, kakek-neneknya, dan semuanya tertawa. Segera setelah kelahirannya, kenduri besar sebagai tanda syukur digelar. Bayi menangis, tetapi lingkungannya tertawa.

Berbeda saat kematiannya. Ia merasa lega karena diantarkan pulang. Ia dengan senang hati melepaskan seluruh ikatan. Ikatan terhadap istri dan anak-anaknya. Melepaskan hartanya. Melepaskan sanak saudaranya. Atau mungkin juga melepaskan dari rasa sakit. Mungkin ia dengan sengaja dan punya kesempatan meminta ijin pulang. Tetapi juga mungkin tidak. Ia pergi bersama, atas nama ruh, jiwa, dan juga fisiknya. Jika ia pergi dengan tertawa, sebagian besar orang yakin, ia akan masuk surga. Jika ia pergi dengan murung, mungkin masih ada yang tertinggal di dunia.

Di saat dia pergi dengan tertawa, orang-orang menangisinya. Berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Rasa duka menggelanyut di mata dan dadanya. Menangisi sebuah kepergian yang tak mungkin lagi kembali, tetapi masih mungkin bertemu di kemudian. Seluruh duka ditumpahkan, bahkan sampai di pusara. Yang masih hidup membutuhkan waktu untuk mengirim doa, mengirimkan ayat-ayat, bahkan selalu menebar bunga. Kesedihan melekat sampai di ujung ubun-ubun. Bahkan, rasa ingin menemani pergi sering diwujudkan dalam sebuah ritual khusus.

Inikah Kehidupan Nyata ?

Dari mana, mau ke mana ? Dari surga kembali ke surga ? Ataukah dari dunia menuju surga? Dari ada menuju tiada, atau dari tiada kembali tiada ? Di sini tergantung sudut pandang. Jika kita menganggap bahwa hidup ini diawali dari tiada, lalu disentuh Tuhan lewat mekanisme kun fayakun, menjadi ada lalu kembali tiada. Kalau dipandang hanya dari sudutr keberadaan di dunia, maka di dunia dianggap ada, lalu menuju tiada. Yang sering diperbincangkan orang itu bukan kematiannya, tetapi lebih pada proses menuju kematiannya. Orang hidup pasti mati. Tetapi, bagaimana dengan proses menuju mati ? Bukan kematian yang digugat, tetapi lebih cara mati yang dipertanyakan. Proses menuju mati itulah yang secara jelas disesalkan Fredd dalam BR.

Is this the real life ? Is this just fantasy ?

Lalu adalah lirik yang begini; Ada kelahiran, ada kematian, bagaimana ? Percayalah pada Tuhan! Terkutuklah kalian, itu menguntungkanku. Kalian pikir bisa beri kesengsaraan padaku. Kalian pikir bisa beri merawatku kemudian menghancurkanku?.

Lalu di lirik yang lain, dengan penuh penyesalan meminta maaf kepada mama. Mama, ku telah membunuh ayahku Kutodong kepalanya. Kutarik pelatuk dan tewas. Mama, ku tak bermaksud membuatmu menangis. Bila aku tak kembali esok hari, lanjutkan seolah tak ada apa pun yang terjadi padaku…

Aku dibayangi masa laluku Apa yang kulakukan sungguh memalukan. Hempasan dan makian itu meremukkan jalan petunjuk, jalan petunjuk Astaga, itu yang saat ini sangat kubutuhkan. Tapi aku tak berdaya. Tak ada yang memahamiku. Bayang masa laluku selalu menghantuiku Aku telah membunuh tanpa merasa bersalah Ya Tuhan…Tolong ampuni aku ohh tidaak. Astaga, kenapa dosaku tak terampuni Setan telah menguasai hati dan jiwaku…

Apa aku normal? Apa terlalu bernafsu ? Terjebak dalam kehidupan abnormal tak bias kuhindari Aku di antara dunia yang luas ini Aku hanya manusia biasa Dan aku juga butuh ketenangan Aku mudah marah Aku mudah tenang Juga mudah senang dan sedih. Apa pun yang terjadi inilah jalanku. Mama, aku menyalahi kodratku membunuh kejantananku sebagai pria Mama, ini terus terulang….Aku akan pergi dengan kebohonganku Mama, sesungguhnya aku ingin normal Karena aku pun ada di dunia karena Engkau

BR gabungan adalah gabungan dari perasaan menyesal, pikiran waras, imajinasi, fantasi, dan juga masih berpikir tentang adanya harapan.  Mungkin karena sedemikian banyak yang ingin diungkapkan Fredd, maka jadilah lagu yang panjang, tetapi tidak melelahkan.

 Apa aku normal ? Sebuah pertanyaan yang menunjukkan rasa tidak percaya diri ketika sudah merasa terjebak oleh perilaku yang tidak biasa. Sama halnya ketika seorang pemarah yang tiba-tiba sempat berpikir tentang kemarahannya. Apakah aku wajar ? Mulai ada kesadaran mempertanyakan kemarahannya. Demikian juga, Fredd merasa perlu untuk bertanya dengan kata, apa aku wajar ? Dalam hati kecil, Fredd menyadari ketidakwajaran itu, tetapi membungkusnya dengan mempertanyakan diri sendiri.

Apa terlalu bernafsu ? Hal yang sama diulangi dengan mempertanyakan kualitas diri, yang lalu diikuti dengan narasi kesadaran bahwa Fredd tersadar terjebak dalam kehidupan yang tidak normal. Penyesalan itu ditunjukkan dengan kalimat pemaaf bahwa dia hanyalah manusia biasa di tengah kekacauan dunia yang hingar bingar ini. Ini khas manusia yang penih penyesalan, tetapi pengakuannya seperti belum sepenuhnya tulus. Merasa lingkunganlah yang menjadikan dia seperti itu. Jadi, ketika Fredd menyalahkan diri sendiri, masih ada pihak lain yang disalahkan, yakni hingar bingar dunia.

Perasaan Terasing

Beberapa lirik juga memperlihatkan tentang kesepian. Sangat jelas, bahwa setiap kesepian bisa mengundang masalah. Kesepian bisa membuat tenang, rindu, tetapi juga bisa memancing marah dan terasing. Perasaan terasing ini sering melanda banyak sekali tokoh, atau artis, atau figur-figur populer. Bisa juga, perasaan terasing itu karena tumpukan kegalauan yang menyergap di perasaan, dan pikirannya. Galau, karena memikirkan tentang kehidupan keartisan, atau ketokohannya. Perasaan takut tidak populer akan menjadi pil yang mematikan. Michael Jackson juga banyak mengalami ketidaknormalan dan ketidakwajaran dalam kehidupannya.

Lalu dilanjutkan dengan narasi ketidakwajaran secara terbuka cdengan menyatakan penyesalan kepada Mama bahwa Fredd membunuh kejatanannya sendiri. Sementara dia menyadari bahwa dia lahir di dunia juga karena mamanya. Kalimat membunuh kejatanan sendiri adalah kesadaran yang luar biasa dalam dirinya. Kalimat ini lahir dengan kecerdasan yang tinggi, dengan memilih kalimat yang tidak sarkistik. Pendengar diminta untuk berpikir, apa maksud kalimat ini. Kenapa ia merelakan diri bertransformasi menjadi seorang gay, dan merelakan dirinya menjadi bukan seorang pria normal ?

Penyesalan kadangkala lahir dari ketakutan sesuatu. Orang yang secara terus menerus berbuat salah, pada akhirnya mentok dan berhenti berbuat salah karena menyadari kesalahannya. Tetapi bisa juga terjadi, seorang maling, perampok tiba-tiba berhenti dari perbuatan itu karena proses kesadaran dating lebih cepat. Tetapi, pada diri Fredd bisa jadi penyesalan dating terlambat ketika dirinya terjangkit virus HIV/AIDS. Dia sadar ada penyimpangan kejantanan, sadar hidup dalam lingkungan yang tidak biasa. Tidak wajar. Sadar sakitnya tidak atau belum bisa disembuhkan. Ketakutannya itu juga bisa menjadi penyakit tersendiri bagi dirinya. Bukan sekadar ketakutan terhadap virus tersebut.

Dr Phineas Parkhurst Quimby pada seratus tahun yang lalu mengajarkan tentang kebenaran psikologis, bahwa jika Anda mempercayai sesuatu, hal itu akan terwujudkan, entah Anda secara sadar memikirkannya atau tidak. Ketakutan Fredd ini berkembang suatu keyakinan bahwa penyakitnya tak bisa disembuhkan, dan karena itu dia melakukan deklarasi penuh penyesalan. Rasa takut sebenarnya tidak memiliki kekuatan karena tidak ada prinsip yang mendasari penyakit. Ada prinsip kesehatan, tetapi tidak ada prinsip penyakit. Ada prinsip kelimpahan, tetapi tidak ada prinsip kemiskinan. Ada prinsip kejujuran, tetapi tidak ada prinsip kebohongan. Ada prinsip matematika, tetapi tidak ada prinsip kekeliruan. Ada prinsip keindahan, tetapi tidak ada prinsip keburukan. Fredd mungkin sekali menyadari bahwa penyesalanlah yang kemudian mendorongnya masih memiliki harapan, termasuk terus berkarya.

Atau, secara batin Fredd memulai membangun kepercayaan diri dengan terus menstimuli kekuatan pikiran dan fisiknya. Dengan penyesalan dari rasa bersalah, maka sekarang kekuatan penyembuh akan bekerja jika tidak menyembuhkan, maka ia bisa mengurangi rasa sakit, ikut mengendalikan rasa sakit, dan siapa tahu di ujungnya akan sembuh. Rasa sesalnya itu telah menumbuhkan rasa tidak takut menghadapi kenyataan, dank arena itu secara meyakinakan Fredd mengatakan…akan terus berkarya !

Fredd juga menunjukkan kemampuan pengendalian diri yang hebat setelah menyadari dirinya terkena virus yang mematikan itu. Ia tidak berada dalam fase “kebutaan spiritual”. Seorang yang disebut “buta” secara spiritual dan mental ketika ia membenci, merasa sakit hati, atau itu melihat orang lain. Fredd tidak merasa harus membenci orang atau lingkungan yang membuatnya demikian, tidak pula sakit hati atas apa yang dideritanya, dan tidak pula membenci dengan kemudian secara sengaja menyebarkan penyakitnya ke orang lain. Fredd telah melakukan introspeksi total dengan keberanian melakukan deklarasi yang luar biasa itu. Dan karena itu, ia mungkin akan lebih tenang, dan mekayakan batinnya.

Dengan deklarasi itu, sangat mungkin Fredd merasakan keluar dari kecemasan yang menghantui, membebaskannya dari kekhawatiran, dan juga melemahkan ketakutan. Seperti dikatakan Dr Hans Selye dari Institute of Experimental Medicine and Surgery Montreal University, kecemasan, kekhawatiran, dan ketakutan bisa mengakibatkan tekan destruktif. Jika stress karena ketiga hal tersebut berkelanjutan, maka kelenjar adrenal berubah warna dari warna kuning menjadi coklat, perut dipenuhi borok, dan daya tahan tubuh terhadap hawa panas dan dingin  serta semua jenis penyakit cenderung menurun, dan jika seseorang yang seperti itu tidak tertolong, maka jika ia tidak meninggal  karena infeksi, ia kemungkinan akan meninggal karena penyakit jantung, peredaran darah, atau ginjal yang saat ini merupakan pembunuh manusia yang paling ganas. (The Mind in Healing, Rolf Alexander, hlm 64). Dengan melakukan deklarasi tersebut, Fredd setidaknya telah berusaha mengurangi ketegangan, dan secara pas diekspresikan ke dalam narasi yang sedemikian apik.

Imajinasi BR

Fredd menumpahkan seluruh kekuatan pikiran, imajinasi, perasaan, dan kemampuan bermusiknya pada lirik-lirik BR sedemikian rumit. Beberapa pianis mengatakan, komposisi BR sedemikian rumit, dan hanya mereka yang Begawan saja yang bisa memainkan sesuai dengan “perasaan” lagu itu.  Jika kita memperhatikan aksi panggung Queen ketika Fredd menyanyikan lagu itu, ia seperti sedang meditasi. Tidak ada tawa sama sekali, ia tumpahnya seluruh energinya ke dalam tuts-tuts piano.

Barangkali ia tengah menyadari apa yang selalu dikatakan Napoleon Bonarparte, “ imajinasi itu menguasai dunia”. Atau seperti dikatakan seorang pengkhotbah dunia yang sangat terkenal Henry Ward Beecher, “ pikiran tanpa imajinasi bagaikan observatorium tanpa teleskop.’’ Akhirnya, seperti yang kita saksikan dan dengarkan, BR memberikan “segalanya, imajinasi menciptakan keindahan, keadilan, kebahagiaan, kedahsyatan yang membuat hampir semua orang terkesima”.

Kecakapan menciptakan gambaran disebut imajinasi. Kecakapan ini adalah kecakapan utama pikiran dan memiliki kuasa untuk memproyeksikan dan melengkapi gagasan Fredd tentang sesuatu yang mungkin tak terjangkau oleh musisi lain. Imajinasi adalah instrument hebat  yang digunakan oleh ilmuwan, seniman, penyair, pematung, fisikawan, arsitek, dan mungkin juga penganut mistisisme. Ketika orang rata-rata mengatakan, “ini sulit dan tidak bisa dilakukan,” orang yang imajinatif mengatakan, “ Baik. Ini sudah selesai!”

Suatu ketika saya pernah bertemu dengan seorang pelancong lokal yang sudah sepuh di Solo. Ia adalah seorang pensiunan guru yang bersama rekan-rekannya sedang menikmati sore di depan Keraton Kesunanan Solo. Orang tua ini berceritera secara menakjubkan seolah-olah sedang menelanjangi bangunan fisik keraton dan lingkungannya. Berbicara tentang kayu-kayu jati yang melingkupi seluruh keraton, batu-batu bata yang tersusun rapi, lalu mengamati menara di keraton yang seolah membawa saya ke masa lalu Kota Solo. Dia bisa bercerita tentang Solo masa lalu, hanya dengan memandangi keraton. Seluruhnya menjadi hidup dalam imajinasinya. Diam-diam saya teringat penuturan sejarawan Prancis, Denys Lombard dalam  buku Nusa Jawa: Silang Budaya. 1996

Dalam pikirannya, tergambar Solo masa lalu, bagaimana membawa kayu jati dari pedalaman di hutan kawasan Wonogiri, lalu bagaimana para tukang melakukan revolusi bangunan dari bahan batu ke bahan kayu, bagaimana menghadapkan bangunan, bagaimana hubungan keraton dengan Gunung Merapi, dan Laut Selatan. Semua tergambar dengan imajinatif yang luar biasa.  Seperti pula John Bunyan, dari dalam penjara menulis mahakarya besar; Pilgrim’s Progress. Ini pengarang yang lihai menggunakan ketrampilan imajinatifnya untuk menciptakan tokoh-tokoh, seperti iman, pendeta dan Kristen. Semua karakter dalam tokoh itu hasil dari imajinasi, tetapi suasana hati, perasaan, kepercayaan, sikap, kapasitas manusia semuanya akan hidup di hati manusia.

Mesir kuno bisa direkonstruksi juga karena imajinatif para arkeolog, dan paleontology yang begitu lama berkutat mempelajari kuburan-kuburan kuno di sana. Dengan persepsi imajinatif, mereka bisa merekonstruksi Mesir kuno ke dalam adegan-adegan peradaban yang seperti kita kenal sekarang. Bagaimana orang Mesir kuno membangun pyramid, spinx, dan lain-lain, termasuk bagaimana heiroglif disusun.Meski pun diakui, seperti kata Peter L Berger, bahwa membangun pyramid seperti itu memperjelas jumlah korban manusia.

Imajinasi Fredd dalam BR juga menunjukkan kerumitan yang tinggi. Dengan awal rasa tidak percaya diri ketika mulai memperkenalkan BR, Fredd mungkin merasa, bahwa pasar belum mau menerimanya dengan segera. Kenapa ? Karena BR melampui batas-batas kewajaran sebuah komposisi pada saat itu, selain liriknya terlalu panjang.  Dan akhirnya juga terjawab, bahwa ketidakyakinan Fredd ternyata tidak terjadi. Malahan sebaliknya, pasar menyambutnya dengan gegap gempita. Itulah, kenapa imajinatif itu sering disebut sebagai “Ruang Kerja Tuhan”.

Pengalaman Plus Sensitivitas

Denyut dalam nada BR terasakan bahwa semua itu adalah pengalaman dan pengetahuan Fredd. Tetapi keduanya saja tidaklah cukup, karena mesti orang berpengalaman belum tentu bisa membuat komposisi seperti BR. Membutuhkan apa yang disebut para pakar psikologi sebagai sensitivitas.

Sedikit ilustrasi, di abad pertengahan rumus utama untuk pengetahuan adalah Pengetahuan = Kitab Suci x Logika. Ketika manusia berimajinasi apakah bumi itu kotak atau bundar, mereka diilhami oleh beberapa ayat dalam kitab suci.  Tuhan  bisa “memegang ujung-ujung Bumi, dan orang-orang fasik dikebaskan darinya” (Ayub 38:13). Jika demikian, beberapa manusia menafsir, ada beberapa ujung yang mana Tuhan bisa “memegang”nya. Bisa jadi, bumi berbentuk pergi datar. Tetapi, ada juga yang menolak tafsir tersebut, dan meminta perhatian pada Yesaya 40:22, Tuhan bertahta di atas lingkaran Bumi”. Nah, berarti imajinasi manusia mengantarkan pada pendapat bahwa bumi itu bulat.

Lalu, revolusi pengetahuan melakukan eksplorasi atas pendapat tersebut. Benarkah bumi itu bulat ?. Muncul rumus baru bahwa Pengetahuan = Data empiris x matematika. Jika kita ingin menetapkan bahwa bumi itu bulat, maka maka perlu dikumpulkan data empiris yang relevan, misalnya mengamati matahari, bulan, planet-planet lain, lalu didekati dengan ilmu trigonometeri untuk menyimpulkan bukan hanya tentang bentuk bumi, tetapi juga seluruh struktur sistem tata surya. Lalu, ekspedisi ramai-ramai ke bulan dimulai kemudian.

Perkembangan humanisme kemudian menawarkan konsep lain dari pengetahuan, yakni bahwa pengetahuan = pngalaman x sensitivitas. Sebenarnya pengalaman adalah kumpulan dari data empiris bertahun-tahun, bahkan mungkin juga dari pelaku lain di luar dirinya. Misalnya, pengalaman orang lain menaklukkan kutub yang berlapiskan es juga merupakan data empiris. Pengalaman adalah fenomena subyektif yang terdiri atas unsur sensasi, emosi, dan pikiran. Sedangkan sensitivitas adalah, membiarkan ketiganya itu mempengaruhi yang akhirnya membolehkan untuk mengubah pandangan-pandangan, perilaku, bahkan kepribadian. Dan, akhirnya pengalaman plus sensitivitas saling membangun siklus yang tak pernah berhenti.

Nah, dalam melihat BR tentu tak bisa lepas dari pengalaman dan sentivitas Fredd. Jika Fredd tidak mengalami apa pun, maka dia tidak punya sensitivitas. Dan, Fredd tidak mengembangkan sensitivitas jika tidak men galami beragam pengalaman. Tentu saja, sensitivitas bukan kemahiran tanpa bentuk yang bisa lahir dari buku-buku pustaka, atau mendengarkan kuliah. Sensitivitas merupakan ketrampilan praktis yang bisa menjadi matang dengan menerapkannya dalam praktik terus menerus. Maka lewat BR, Fredd mungkin ingin seperti yang selalu dikatakan Wilhelm van Humboldt, yang mempraktikkan tujuan dari eksistensi adalah penyulingan seluas mungkin pengalaman kehidupan menjadi kebijaksanaan.

Membaca BR harus utuh, yang tidak bisa dipotong bait demi bait, karena sebuah karya adalah sebuah kesatuan. Seperti kita membaca buku, tidak bisa hanya dengan halaman pertama, kita menarik kesimpulan. Dan, Fredd bukan penganjur LGBT karena secara tegas dia menyadari dan melakukan penyesalan atas apa yang dilakukan. Justru sebaliknya, menjadi kaca benggala bagi kita semua. Menyadari keberadaan, menyesali kesalahan, meminta maaf atas kekeliruan, tetap semangat masa depan, dan mengolah harapan adalah pelajaran penting yang didapat dari BR ini.

Awal hdupnya normal, dan menikah dengan Mary Austin meski  akhirnya Fredd membuat pengakuan bahwa dia lebih menyukai sesama jenis. Kecintaan terhadap Mary tak lekang meski ia mulai hidup sebagai seorang gay, dan karena itu ia membelikan rumah tak jauh dari apartemennya agar setiap saat bisa melihatnya. Cinta telah mengikatnya, tetapi lingkungan membentuknya. Kita semua bisa belajar dari kisah ini. (*)

Penulis adalah wartawan, tinggal di Semarang.


Tulisan dan makna dalam kolom di luar tanggung jawab redaksi ceknricek.com

 

 

 

 

 

 

 

 



Berita Terkait