Menang Praperadilan, Edward Tetap Dijerat | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak

Menang Praperadilan, Edward Tetap Dijerat

Ceknricek.com - MALANG benar nasib Edward Seky Soeryadjaya. Putera sulung Mendiang William Soeryadjaya, konglomerat pendiri Astra Group itu, seyogianya sudah menghirup udara bebas. Sejak tanggal 23 April lalu, setelah gugatan praperadilannya diterima Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. “Tapi, ini benar-benar gila. Hakim Pengadilan Tipikor hari ini menolak eksepsi kami. Memerintahkan perkara dilanjutkan dan Edward tetap ditahan,” kata Atilah Repatiarti Soeryadjaya, isteri Edward kepada ceknricek.com Rabu sore, usai mengikuti proses persidangan pengadilan Tipikor.

Sosialita, penari, koreografer tari sekaligus produser atraksi kesenian yang karya tarinya “Matah Ati” (2010) sempat dipuji para pecinta seni tari itu, tampak seperti mau menangis menerima vonis itu. Maklum, Edward, suaminya, pada 23 Mei lalu, baru berulang tahun ke-70 di tahanan, dan sudah  sekitar 7 bulan lamanya meringkuk di rumah tahanan Kejagung di Gedung Bundar. Pilu hatinya, “karena belakangan ini Edward sering sakit-sakitan.”Makanya, setelah vonis bebas praperadilan jatuh, pasangan yang cukup dikenal para sosialita Indonesia itu, berharap mereka bisa segera berkumpul kembali bersama keluarga di rumah.

Apa lacur, jaksa penuntut ternyata mengabaikan vonis hakim praperadilan. Perkara diteruskan dan Edward tetap dibawa ke rumah tahanan.

Perkara dilanjutkan, pasangan ini kembali berharap mereka akan dapat menaklukan kengototan jaksa penuntut di pengadillan. Tapi, itulah. Putusan hakim Tipikor menolak eksepsi Edward, benar-benar menusuk hati Bandara Raden Ayu (BRA) Atilah, cucu puteri keraton yang kini berusia 57 tahun itu. “Kok bisa hakim mengabaikan vonis hakim. Hukum apa ini,” keluh, cucu KGPAA Sri Mangkunegara VII, Surakarta itu, menahan tangis.

Bambang Hartono, penasihat hukum Edward, mengatakan vonis majelis hakim Tipikor itu benar-benar aneh dan janggal. “Perkara diteruskan pengadilan tanpa Sprindik (Surat Perintah Dimulainya Penyidikan) baru. Jadi jaksa  meneruskan gugatan perkara dengan Sprindik lama, yang sudah dibatalkan hakim Praperadilan di Jakarta Selatan,” katanya.

Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Rabu siang (6/6) menjatuhkan vonis: menolak semua eksepsi terdakwa Edward  Soeryadjaya dan meminta sidang pokok perkara korupsi itu dilanjutkan pada tanggal 27 Juni 2018.

Vonis itu dengan demikian mengabaikan sama sekali putusan praperadilan PN Jakarta Selatan pada 23 April lalu, atas tersangka Edward Soeryadjaya, Dirut PT Ortus yang dituduh jaksa terlibat dalam perkara korupsi pengelolaan dana pensiun PT Pertamina.

PN Jakarta Selatan sebelumnya menyatakan, semua tuduhan jaksa gugur demi hukum. Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (Sprindik) yang diterbitkan jaksa terhadap Edward dalam kasus itu juga dinyatakan batal. “Mestinya klien saya, Pak Edward sudah langsung bebas sesuai vonis hakim,” kata Bambang Hartono pengacara Edward kepada ceknricek.com.

Tapi, Kejaksaan Agung menafikan vonis hakim praperadilan itu. Edward tetap ditahan dan perkaranya dilanjutkan sejak 2 Mei lalu. “Saya sempat protes dan walk out pada sidang pertama. Tapi, pengadilan jalan terus,” keluh Bambang Hartono.

Pada sidang berikutnya, cerita Bambang, Ketua Majelis Hakim Tipikor Soenarso malah menegaskan, jika penasihat hukum terdakwa tetap menolak persidangan, silakan terdakwa mencari penasihat hukum lain.

Apa boleh, terdakwa dan pengacaranya pun terpaksa mengikuti proses peradilan Tipikor itu.

Inilah yang amat disesali para praktisi hukum termasuk beberapa anggota Komisi III DPR. “Ini praktik dan kasus penegakan hukum yang buruk. Dilakukan oleh para penegak hukum, baik Kejaksaan Agung juga Pengadilan Tipikor," kritik Pengacara Maqdir Ismail.

Maqdir menambahkan, sepengetahuan dia, “ini kasus kedua, jaksa dan pengadilan Tipikor mengabaikan putusan praperadilan. Tahun 2013, dia pernah menangani hampir sama. Kliennya Bachtiar Abdullah Fatah, pegawai perusahaan Chevron, dituduh korupsi oleh Kejaksaan Agung. Dia mengajukan prapengadilan di Jakarta Selatan. Akhirnya, PN Jakarta Selatan juga memenangkan kliennya di praperadilan. Tapi, Kejaksaan Agung ngotot meneruskan perkara itu. Hakim kemudian menjatuhkan hukum 4 tahun penjara. “Tapi, setelah hampir menyelesaikan hukumannya, Mahkamah Agung mengabulkan PK yang kami ajukan,” tambah Maqdir.

Hukum sepertinya jadi tak memberi keadilan pada pencari keadilan. Malah, karena ketidakjelasan penerapan di lapangan, hukum jadi terasa mengabaikan hak asasi manusia para pencari keadilan.

Begitulah kesimpulan beberapa praktisi hukum, menyorot kasus yang  terjadi pada Pegusaha Edward Soeryadjaya. Itu semua, tak ayal, memunculkan persepsi terjadinya “pelanggaran hukum yang disengaja. “ Maqdir lantang mengatakan, “yang kini terjadi bukan insiden atau musibah hukum. Ini sebuah kesengajaan untuk melecehkan Hukum Acara Pidana,” tukasnya.

Eksepsi dalam perkara Tipikor, menurut Advokat dan Konsultan Hukum Bahrul Ilmi Yakup, memang jarang digubris oleh hakim. Dalam perkara Tipikor hakim hampir pasti  menafikan aspek prosedural berdasarkan hukum acara. “Dengan alasan perkara Tipikor bersifat extra ordinary crime (kejahatan luar biasa). Makanya, dalam mengadili kasus Tipikor hakim tingkat pertama dan banding hampir tidak ada yang membebaskan terdakwa dalam 10 tahun terakhir. Bahkan, ada hakim sampai menangis karena harus menghukum terdakwa yang menurut keyakinannya sebenarnya tidak bersalah,” sambung Bahrul.

Ia menambahkan dalam mengadili perkara Tipikor, hakim  sering kehilangan nurani dan obyektifitas karena politik hukum pemerintah yang menjadikan Tipikor sebagai extra ordinary crime.”Sebutan extra ordinary crime senantiasa menjadi tameng hakim dalam bertindak tidak obyektif ketika mengadili perkara tipikor.

Hakim, tambah Kandidat Doktor Hukum Tata Negara itu seharusnya berani menegakkan keadilan yang berdasarkan hukum yang obyektif.

Kepada wartawan, Jaksa Agung HM Prasetyo mengatakan perkara yang melilit Edward jelas perkara korupsi yang dilakukan secara konspiratif. ”Kan sebelumnya sudah ada yang divonis terbukti korupsi. Yaitu Dirut Dana Pensiun Pertamina,” katanya.

Dia menambahkan, buat Kejagung, malah aneh, dalam kasus pertama, terdakwanya (pembeli saham) dihukum karena terbukti korupsi, kok, terdakwa (penjual saham) bisa dibebaskan praperadilan.

Perkara yang menjerat Edward, disebut jaksa penuntut sebagai perkara korupsi yang merugikan keuangan negara sekitar Rp 599,2 milyar.

Edward Soeryadjaya‎ disangkakan melanggar Pasal 2 ayat 1, Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Edward sebagai pemilik PT Sugih Energy, Tbk (SUGI) pada tahun 2013-2015 dituduh telah bekerjasama mengatur jual beli saham dengan Dirut PT Dana Pensiun (Dapen) Pertamina Muhammad Kemal Helmy. Melalui perantaraan PT Millenium Danatama Sekuritas, PT Dapen Pertamina pada tahun 2013-2015 membeli 2 milyar lembar saham SUGI. Satu saham dihargakan Rp 260. Walhasil,

PT Dapen pun mengeluarkan dana sebesar Rp 601 milyar. Tapi, belakangan, harga saham SUGI terus merosot turun. Sampai  batas hanya bernilai Rp 50 per lembar. Inilah yang kemudian memicu munculnya tuduhan “ada permainan” dalam transaksi tersebut. Seperti kemudian ditudingkan Jaksa Agung Prasetyo sebagai “konspirasi korupsi.”

Pengacara Maqdir Ismail tidak sependapat dengan Jaksa Agung. Dia menilai, kasus Edward itu sebenarnya adalah perkara perdata yang dikriminalisasikan.

“Belakangan ini aparat hukum kita memang cenderung suka menjadikan perkara yang sebenarnya bobotnya lebih perdata dijadikan pidana korupsi. “Karena dengan begitu perkaranya jadi terasa lebih bobot dan menarik perhatian, “ katanya.

Praktik buruk mengkorupsikan perkara perdata ini harus dihentikan. "Ini perkara perdata. Selesaikan secara perdata. Saya ingin mengingatkam para penegak hukum pada aturan dan praktik “prejudicial geschil”, ujar Maqdir Ismail. Yaitu, praktik mendahulukan atau menyelesaikan lebih dulu perkara perdata. Baru setelah itu lanjut ke pidana.

Tapi, dalam kasus Edward tampaknya perkara sudah sulit untuk ditarik jadi perdata. “Satu-satunya jalan bagi Edward,  tambah Maqdir, “berjuang sekuatnya di depan hakim untuk membuktikan tak ada bukti korupsi dalam kasus itu.”



Berita Terkait