Ceknricek.com -- Prof. Edward Omar Sharif Hiariej menyebut tim kuasa hukum Prabowo-Sandiaga mencampuradukkan sengketa pemilu dengan perselisihan hasil pemilu. Prof Eddy--begitu Edward Omar Sharif Hiariej akrab disapa--mengatakan gugatan yang diajukan tim 02 itu bukanlah kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK).
"Pasal 24 C UUD 1945 juncto Pasal 74 dan Pasal 75 UU MK sebagai derivat kewenangan MK yang terdapat dalam konstitusi secara jelas dan terang menyatakan bahwa kewenangan MK terhadap kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU dan hasil penghitungan yang benar menurut pemohon, dengan demikian secara mutatis mutandis, fundamentum petendi yang dikonstruksikan kuasa hukum pemohon seharusnya hanya berkaitan dengan hasil penghitungan suara," kata Prof Eddy saat menyampaikan paparannya dalam sidang di MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Jumat (21/6).
Prof. Eddy, yang dihadirkan oleh tim kuasa hukum Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin, kemudian menyinggung soal isi gugatan yang disusun tim hukum 02. Menurut dia, isi gugatan itu seharusnya disampaikan ke Bawaslu, bukan MK.
"Kuasa hukum pemohon dalam fundamentum petendi lebih banyak menunjukkan pelanggaran-pelanggaran pemilu seperti penyalahgunaan APBN atau program kerja pemerintah, ketidaknetralan aparatur, seperti polisi dan intelijen, penyalahgunaan birokrasi dan BUMN, pembatasan kebebasan media dan pers, serta diskriminasi pada penegakan hukum pada hakikatnya adalah pelanggaran pemilu yang berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 seharusnya dilaporkan pada Bawaslu," kata Prof. Eddy.

Barulah setelahnya Bawaslu, masih menurut Prof. Eddy, akan menentukan apakah dugaan pelanggaran pemilu itu adalah pelanggaran administrasi, sengketa administrasi, atau pidana pemilu. Setelah itu, Bawaslu akan meneruskannya ke DKPP, KPU, peradilan umum, atau Peradilan Tata Usaha Negara.
Prof. Eddy juga menyinggung soal penggunaan putusan MK terhadap hasil Pilkada dalam mengajukan gugatan di MK saat ini. Menurutnya, hal itu tidak sejalan dengan asas nit agit exemplum litem quo lite resolvit.
"Kuasa hukum pemohon secara kasatmata mencampuradukkan antara sengketa pemilu dengan perselisihan hasil pemilu, dengan catatan itu pun kalau sengketa pemilu dapat didalilkan dan dapat dibuktikan secara sah dan meyakinkan," ucap Prof. Eddy.
"Fundamentum petendi yang digunakan kuasa hukum pemohon berasal dari putusan MK perselisihan pilkada MK tentang perselisihan pilkada dan bukan hasil pemilu sehingga rendah tingkat komparasinya. Dalam konteks ini, kiranya kuasa hukum pemohon perlu memahami suatu asas yang cukup mendasar yang berbunyi nit agit exemplum litem quo lite resolvit, artinya menyelesaikan perkara dengan mengambil contoh perkara lain sama halnya dengan tidak menyelesaikan perkara tersebut," imbuhnya.
Prof. Eddy menyebut hakim bersifat otonom yang tidak terikat dengan putusan hakim sebelumnya. Tiap perkara, disebut Prof. Eddy, mempunyai sifat dan karakteristik yang didasarkan pada fakta yang berbeda.
"Judicandum est legibus non exemplis, artinya putusan harus dibuat berdasarkan hukum bukan berdasarkan contoh," katanya.