75 Tahun: Jalan Panjang Putu Wijaya | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Tirto

75 Tahun: Jalan Panjang Putu Wijaya

Ceknricek.com -- "Cahaya di jendela seperti pernah kulihat puluhan tahun lalu, aku jadi bimbang benarkah kita yang memandang atau alam itu yang mengawasi kita." -Twitter Putu Wijaya

"Pelajaran mengarang bukan latihan cipoa, tetapi bengkel menata pikiran!" Kalimat cuitan dari tokoh Teroris Mental Putu Wijaya tersebut merupakan sebuah bukti nyata bagaimana dalam usianya yang sudah senja ia tetap aktif dan terus menulis meskipun ia sempat diserang stroke sejak 2013.

Jalan panjang lelaki yang tepat pada tanggal 11 April 2019 menginjak usia 75 tahun itu, telah menghasilkan 40 naskah dan novel, 1.000 cerpen, 18 skenario teater, 3 skenario film, serta karya lain, seperti artikel dan esai lepas.

Dalam acara seabad Kongres Kebudayaan Nasional yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 9 Desember 2018, Putu Wijaya menuai hasil dari apa yang telah dia lakukan sejak remaja. Ia bersama budayawan lain, D. Zawawi Imron, Ismiyono, dan Hubertus Sadirin, menerima penghargaan dari Presiden RI Joko Widodo.

Penghargaan KKI terhadap Karya da Kiprah Putu Wijaya, Sumber: Tirto

Awal Mula ‘Etsa’ Putu Wijaya

Putu Wijaya lahir di Puri Anom Tabanan, Tabanan, Bali, pada 11 April 1944. Ia adalah bungsu dari lima bersaudara seayah, dan dari tiga bersaudara seibu. Ia tinggal di kompleks perumahan besar, dihuni sekitar 200 orang, yang semua anggota keluarganya dekat maupun jauh, punya kebiasaan membaca.

Ayahnya, I Gusti Ngurah Raka, adalah seorang pensiunan punggawa yang keras dalam mendidik anak dan ibunya bernama Mekel Ermawati. Semula, ayahnya mengharapkan Putu jadi dokter. Namun, Putu lemah dalam ilmu pasti. Ia akrab dengan sejarah, bahasa, dan ilmu bumi.

Putu Wijaya pertama kali mengumumkan tulisannya saat ia masih SMP. Tulisannya yang berupa cerita pendek berjudul Etsa dimuat di harian Suluh Indonesia, Bali. Waktu SMA, ia sempat main drama dengan naskah Badak karangan Anton Chekov yang disutradarai oleh Kirjomulyo.

Ada kejadian menarik dari masa kecil Putu Wijaya. Dilansir dari liputan6, Putu Wijaya kecil pernah dimarahi gurunya lantaran menulis tentang musim semi saat ditugaskan untuk mengarang di sekolah. Sang guru menganggap di Indonesia tidak ada musim semi, dan menilai Putu Wijaya terlalu jauh berkhayal.

“Pada saat itu saya diam saja, saya tidak berani melawan karena dia guru,” begitu kata Putu Wijaya ketika menceritakan sepotong kisah masa kecilnya.

Dari Teater ke Teater

Setelah menyelesaikan SMA di Singaraja, Putu Wijaya melanjutkan ke Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada. Selain belajar di UGM, ia juga belajar selama tiga tahun di Akademi Seni Drama dan Film, juga satu tahun sempat belajar di Akademi Seni Rupa Indonesia. Minatnya pada drama terus berlanjut. Saat kuliah di Yogyakarta ia menulis, memainkan, dan menyutradarai drama bersama kelompok yang didirikannya.

Ia juga bergabung selama dua tahun dengan Bengkel Teater pimpinan Rendra. Setelah pindah ke Jakarta, ia bergabung dengan Teater Kecil yang didirikan oleh Arifin C. Noer, dan sempat sekali pentas bersama Teater Populer yang diampu oleh Teguh Karya. Pada tahun 1971, ia mendirikan Teater Mandiri.

Pementasan JPRUTT Karya Teater Mandiri, Sumber: Teater Mandiri

Dalam berkarya, Teater Mandiri terkenal dengan dua acuan atau pijakan, yakni “Bertolak Dari Yang Ada” yang bermakna “tak ada yang dapat menghentikan proses (kreatif), semua kelemahan diberdayakan menjadi kekuatan”, dan “Teror Mental” yang diartikan sebagai “kegoncangan pada jiwa yang membangkitkan seseorang (pemain atau penonton) berpikir kembali sehingga waspada, dan bangkit kesadaran baru”.

Menurut Putu Wijaya, dengan acuan “Bertolak Dari Yang Ada", semua kelemahan diberdayakan menjadi kekuatan sehingga tak ada yang tak dapat menghentikan proses. Proses menjadi sangat penting, lebih penting dari hasil. Para pendukung diajak belajar bekerja secara gotong-royong sebagai sebuah tim yang padu. Sebagaimana juga kehidupan, produk teater tidak pernah selesai, selalu berkembang dan tumbuh.

Sumber: Republika

Sedangkan “Teror Mental” dimaksudkan untuk membuat seseorang berpikir kembali, sehingga waspada. Bagi Teater Mandiri, tontonan tidak semata-mata bertujuan untuk menghibur.

Bahwa tontonan memiliki fungsi menghibur memang dimanfaatkan. Namun, yang hendak dikejar adalah mengguncang batin sehingga tercipta pengalaman spiritual. Diharapkan, baik dalam diri penonton maupun para pendukung pementasan, akan bangkit kesadaran baru. Teater dalam berbagai aspeknya dikembangkan secara maksimal untuk membentuk jati diri.

Melukis Untuk Tetap Berkarya

Setelah mengalami stroke dan keluar dari rumah sakit tahun 2013, tangan Putu Wijaya tidak bisa digunakan untuk menulis lagi di komputer. Namun, lagi-lagi semangat untuk tetap merawat keadan untuk tetap berkarya ia lakukan dengan melukis. Dilansir dari tirto, ia sangat sedih karena tidak bisa menulis seperti dahulu, tapi keterbatasan tersebut dialihkan ke hobi melukisnya sejak kecil.

”Kebetulan saya juga suka melukis sejak kecil. Selama sakit itu, saya sempat pameran di Bentara Budaya Jakarta, pada 2014. Juga menerbitkan buku esai. Dan kita memainkan tiga drama sekaligus di Salihara.” Saat tulisan ini terbit, (8/16) Putu menulis menggunakan BlackBerry hanya dengan satu tangan.

Sebuah perhelatan yang dinisiasi Institut Nalar Jatinangor dan Second House pun sempat menyelenggarakan pembukaan acara bertajuk "Putu Wijaya: Bertolak dari yang Ada" serta memamerkan beberapa lukisan karya Putu Wijaya “Menghadirkan yang Meminta Ada", 1 Maret 2019, di Gedung YPK/PPK, Jalan Naripan, Bandung.

Pameran Bertolak Dari yang Ada, Sumber: Kumparan

Perhelatan yang menghadirkan pameran lukisan, arsip, poster pementasan, pertunjukan teater dan seminar itu mengeksplorasi beragam pemikiran dari Putu Wijaya yang telah mendarmabaktikan dirinya di dunia seni selama 74 tahun. Dalam acara tersebut, Putu pun kemudian memaparkan persoalan yang dialaminya saat sakit sampai akhirnya dia kembali teringat apa yang telah dialami pada waktu lalu.

"Bertolak Dari Yang Ada, saya ingin mengatakan bukan pasrah, bukan menyerah, dan bukan seadanya. Bertolak Dari Yang Ada adalah menerima apa yang ada dalam cermin. Apa yang ada itu kemudian mendorong kita  untuk bekerja, mencari, berkreasi, dengan kreativitas tidak ada yang tidak mungkin," ungkap Putu yang selalu mengajak pengunjung agar tidak terjebak dengan keterbatasan dalam hal apapun.

Sumber: Kumparan

Sebagai seorang dramawan, ia telah mementaskan puluhan lakon di dalam maupun di luar negeri, beberapa diantaranya mementaskan naskah Gerr (Geez), dan Aum (Roar) di Madison, Connecticut dan di LaMaMa, New York City, dan pada 1991 membawa Teater Mandiri dengan pertunjukkan Yel keliling Amerika. Puluhan penghargaan ia raih atas karya sastra dan skenario sinetron.

Cerita pendek karangannya kerap mengisi kolom pada Harian Kompas dan Sinar Harapan. Novel-novel karyanya sering muncul di majalah Kartini, Femina, dan Horison. Sebagai penulis skenario, ia telah dua kali meraih piala Citra di Festival Film Indonesia (FFI), untuk Per4w4n Desa (1980), dan Kembang Kertas (1985).

Sebagai seorang penulis fiksi sudah banyak buku yang dihasilkannya. Di antaranya, yang banyak diperbincangkan adalah Bila Malam Bertambah Malam, Stasiun, Telegram, Pabrik, Keok, Tiba-Tiba Malam, Sobat, dan Nyali. Sejumlah karyanya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda, Inggris, Rusia, Perancis, Jepang, Arab dan Thai.

Semangat seorang Putu Wjaya seharusnya menjadi bahan bakar tersendiri untuk generasi baru (milenial) dalam melakukan apa yang menjadi terbaik untuk dirinya dan masyarakat sekitar. Sosok lelaki yang identik dengan topi Pet-nya tersebut merupakan teladan yang penuh kerendah-hatian dan inspirasi yang tidak bisa dituliskan hanya dalam selembar kertas.

Selamat ulang tahun Putu Wijaya. Semoga sehat dan berkah selalu.



Berita Terkait