Reaksi Jumud Pemerintah
Ceknricek.com -- Tapi, Pemerintahan Jokowi seperti belum akan berubah paradigma. Terobsesi pada pertumbuhan ekonomi dan investasi sejak periode pertama, Pemerintahan Jokowi cenderung menanggapi wabah corona dari pertimbangan ekonomi ketimbang perspektif kesehatan masyarakat.
Pada awal pandemi pemerintah menerbitkan “Pandemic Bond” dengan motif utama membiayai stimulus dunia usaha agar ekonomi cepat pulih dari perlambatan dan kemunduran (“Recovery Bond”). Istilah ini belakangan dikemas menjadi "Pemulihan Ekonomi Nasional", tapi prinsip dasarnya sama.
Jangan terkecoh oleh istilah teknis keuangan. Bond adalah obligasi atau surat utang. Kasarnya pemerintah berutang, lalu uangnya dibagi-bagikan kepada pengusaha lewat perbankan, yang totalnya diperkirakan mencapai lebih dari Rp 650 trilyun.
Stimulus ini lebih banyak diberikan kepada usaha besar, swasta maupun BUMN. Stimulus untuk usaha kecil-menengah hanya Rp 120 trilyun (kurang dari 20%), dan mungkin hanya puluhan trilyun yang secara riil sampai ke penerima manfaat.
Ini mengingatkan kita pada “Skandal Bail-out Bank Century” pada Krisis 2008 dan “Skandal BLBI” pada Krisis 1998. Pemerintah cenderung menyalamatkan yang besar, para pengusaha elit.
Menyusul Krisis 1998, atas saran IMF dan Bank Dunia, pemerintah menerbitkan obligasi rekap (sekali lagi utang). Utang dipakai untuk menyuntik bank-bank sakit, baik milik pemerintah maupun milik para konglomerat raksasa seperti Lippo, BCA dan Sinar Mas.
Obligasi rekap berjasa memulihkan ekonomi, tapi juga di sisi lain memicu ketimpangan. Pada akhir Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, indeks gini Indonesia mencapai nilai tertinggi, artinya ketimpangan ekonomi terburuk sepanjang sejarah negeri ini.
Alih-alih mengoreksi penguasaan ekonomi oleh segelintir orang di era Orde Baru, obligasi rekap justru memulihkan dan memperkuat konsentrasi kapital.
Obligasi rekap berjasa memulihkan ekonomi konglomerat. Mereka yang nyaris bangkrut pada awal reformasi, kini kembali menjadi raksasa yang makin digdaya dan makin menggurita.
Rakyat Mensubsidi Konglomerat
Audit BPK pada tahun 2000 menunjukkan 95% dana obligasi rekap diselewengkan dari tujuan awal menyelamatkan bank. Hanya 5% yang dipakai secara tepat, sementara selebihnya dipakai untuk ekspansi bisnis para konglomerat serta gaji besar direksi dan komisaris bank-bank negara.
Ketika pemerintah berutang, siapa yang membayar? Siapa lagi kalau bukan publik atau warga negara, alias kita semua.
Total obligasi rekap yang diterbitkan pemerintah pada awal reformasi senilai Rp 430 triliun. Tapi, pemerintah harus membayar bunga sebesar Rp 600 triliun. Keseluruhan menjadi Rp 1.000 triliun lebih. Dan pemerintah masih harus membayar itu sampai sekarang, 20 tahun kemudian.
Obligasi rekap sering disebut “rekayasa keuangan” yang cuma ada di atas kertas. Tapi, dampaknya sangat nyata bagi masyarakat. Setiap tahun pemerintah harus menyisihkan ratusan triliun dari APBN untuk membayar utang itu, antara lain dengan menyunat subsidi rakyat dan anggaran sosial yang vital seperti kesehatan.
Buruknya sistem jaminan dan layanan kesehatan jelas memperlemah kapasitas negeri kita untuk menghadapi wabah seperti corona. Bahkan di masa normal, kita masih kedodoran menangani penyakit “tradisional” seperti TBC, malaria dan demam berdarah.
Cerita Kolosal Pngkhianatan
BLBI dan obligasi rekap adalah cerita tentang pesta-pora para elit di atas beban rakyat kebanyakan. Sebuah cerita kolosal mencederai rasa keadilan, yang terlalu busuk dan memalukan bahkan untuk dijadikan pelajaran di sekolah-sekolah ekonomi.
Ironisnya, kebijakan elitis itu bahkan diulangi, meski dalam skala jauh lebih kecil. Ketika terjadi lagi krisis pada 2008, uang rakyat dipakai untuk mensubsidi pemilik Bank Century.
Dan kebijakan ugal-ugalan itu sepertinya sedang diulangi lagi sekarang di tengah wabah corona, ketika pemerintah menerbitkan kebijakan “Pemulihan Ekonomi Nasional”.
Menteri Keuangan Sri Mulyani, mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia, mengatakan penyaluran stimulus kali ini akan prudent, tepat sasaran dan sesuai aturan. Tapi, jika benar begitu, mengapa Presiden Jokowi harus mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) untuk mendukung tanpa syarat kebijakan pemulihan ekonomi akibat corona?
Salah satu isi terpenting Perppu Nomor 1 Tahun 2020 adalah membebaskan para pelaksana dan pembuat kebijakan dari kemungkinan tuntutan hukum.
Itu seperti memberi blanko kosong kepada penguasa untuk kemungkinan menyalahgunakan dalih “memulihkan ekonomi” demi kepentingan pribadi, kelompok maupun kepentingan para kroni.
DUA TEORI SARAT MITOS
Kebijakan stimulus ekonomi seperti itu tidak khas Indonesia. Menyusul krisis 2008, Pemerintah Amerika juga memakai dana publik untuk mensubsidi lembaga-lembaga keuangan, di samping membebaskan pajak perusahaan-perusahaan besar. Pada dasarnya menyelamatkan para konglomerat dan Wall Street.
Tidak hanya elitis, kebijakan itu juga sebenarnya mengkhianati konsep dasar kapitalisme sendiri yang tidak membenarkan negara campur-tangan dalam urusan swasta (privat).
Campur-tangan negara dijustifikasi lewat teori “too big to fail”, bahwa perusahaan swasta tertentu, khususnya perbankan, begitu besar dan saling terkait sedemikian rupa sehingga jika mereka ambruk akan menyeret runtuh ekonomi negara. Itu sebabnya, pemerintah harus membantu dan menyelamatkan mereka.
Kebijakan itu juga sering diperkuat oleh argumen teori “trickle-down effects”, jargon ekonomi sejak 1970-an, yang percaya bahwa jika kita membantu yang besar-besar, bantuan itu pada akhirnya akan menetes ke yang kecil-kecil, yang akhirnya menguntungkan masyarakat secara keseluruhan.
Beberapa kajian mutakhir mengungkapkan bahwa “trickle-down” cuma mitos ekonomi, sementara dampak negatifnya tak bisa diabaikan.
Dua teori itu bertanggungjawab atas munculnya anggapan semu bahwa kelangsungan hidup para konglomerat identik dengan kepentingan negara, yang pada kenyataannya cuma menjustifikasi kolusi antara politisi dan pengusaha kroni.
Kebijakan tadi juga jelas memicu moral hazard karena memanjakan para bankir serta pemilik bank. Di sisi lain kuat mencerminkan bias-keuangan seraya mengabaikan problem riil kemiskinan dan ketimpangan.
Di Amerika sepuluh tahun setelah bail-out, Presiden Barack Obama menyatakan bahwa negerinya menghadapi problem ketimpangan dan kemiskinan yang makin kronis, di tengah buruknya sistem kesehatan akibat komersialisasi industri asuransi, farmasi dan rumah sakit swasta.
Fakta bahwa kini Amerika menderita salah satu kematian terbanyak akibat wabah corona benar-benar membuktikan kekhawatiran Obama beberapa tahun lalu. Dibumbui oleh konflik politik, corona seperti tengah menghancurkan berkeping-keping “The American Dream” yang pernah menjadi sumber kecemburuan orang seisi planet. (bersambung)
Baca juga: Alternatif dari Omnibus Law (1)