Ceknricek.com -- Penerbitan Omnibus Law, atau UU Cipta Kerja, didasarkan pada asumsi-asumsi pembangunan yang keliru. UU tersebut mengasumsikan bahwa kita hanya bisa membangun negeri dengan mendatangkan investasi, yang pada gilirannya diharapkan menumbuhkan ekonomi dan memperluas lapangan kerja.
Jarang dipahami bahwa investasi tidak datang cuma-cuma. Dia menuntut pemerintah melonggarkan aturan, yakni melakukan deregulasi dan mendorong liberalisasi ekonomi. Itu akan melucuti peran negara dalam melindungi rakyat dan kelestarian alam.
Kita mengalami liberalisasi besar pada era-SBY, dan liberalisasi lebih agresif lagi pada era-Jokowi. Di era terakhir ini, Omnibus Law digoalkan dengan segala cara, seraya menutup mata terhadap potensi dampaknya bagi alam dan harmoni sosial.
Model pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan telah dikritik sejak dasawarsa 1980-an. Model itu justru memicu ketimpangan, serta merusak alam yang pada gilirannya mempercepat proses pemiskinan warga yang kurang beruntung.
Tapi, adakah alternatif lain dari pembangunan yang merusak seperti itu? Bisakah kita membangun tanpa bertumpu pada investasi besar? Apakah mungkin membangun ekonomi tanpa merusak alam dan harmoni sosial?
Saya bisa mengatakan ada. Di bawah ini renungan saya tentang solusi dan alternatif dari konsep ekonomi ala Omnibus Law. Sebagian paparan di sini sudah saya tulis untuk Jurnal Prisma edisi Agustus lalu: Membumikan Pancasila lewat Ekonomi Biru, dan beberapa posting di facebook.
Ini juga jawaban saya untuk beberapa komentar yang mengatakan saya cuma bisa mengkritik tapi tidak menawarkan solusi.
Saya mulai dari paparan problem, lalu nanti diikuti solusinya.
Krisis Yang Tertunda
Bahkan sebelum wabah corona merebak, sudah banyak analisis yang meramalkan dunia akan menghadapi krisis ekonomi-keuangan besar yang merupakan siklus 10-tahunan. Krisis sebelumnya terjadi pada 1988 (Black Monday), 1998 (Krisis Asia) dan 2008 (Krisis Mortgage).
Semua krisis itu memperluas pengangguran dan kemiskinan, yang pada gilirannya membawa dampak multi-dimensi: sosial, budaya, pangan, kesehatan dan keamanan.
Memang tidak terjadi krisis besar pada 2018. Namun sejumlah pengamat menyatakan krisis akan datang juga, meski terlambat, yakni pada tahun 2020-2021 ini.
Corona, yang kini datang tiba-tiba, tak hanya mempercepat realisasi krisis tadi, tapi juga memicu dampak yang jauh lebih luas dan mendalam. Keluasan dan kedalaman krisis ini bahkan belum sepenuhnya bisa kita takar.
Yang pasti, krisis kali ini lebih dahsyat dari Krisis 1998 dan Krisis 2008. IMF sendiri menyebut ancaman krisis ekonomi kali ini yang terburuk sejak “Great Depression" pada 1930-an, ketika dunia dilanda problem kronis pengangguran, kemiskinan dan kelaparan.
Corona: Tragedi dan Berkah
Wabah Corona memaksa kita untuk tinggal di rumah dan mengurangi mobilitas. Juga memaksa kita lebih peduli pada hal-hal dasar dalam hidup, seperti cuci tangan demi kebersihan, tentang kesehatan dan ketercukupan pangan.
Corona bahkan memaksa orang merenungkan hal yang lebih mendasar tentang aspek hakiki dari agama, tentang spiritualitas; ketika orang justru dilarang pergi ke masjid atau gereja; ketika ibadah haji/umroh atau misa Paskah ditiadakan.
Di sisi lain, wabah corona sebaliknya membawa berkah bagi alam: berkurangnya polusi dan pencemaran, turunnya emisi karbon, pulihnya kembali lapisan ozon, serta kemunculan kembali satwa-satwa liar di sungai, kebun dan laut, ketika manusia mengurung diri dalam rumah.
Di samping membawa tragedi, setiap krisis memberi kita peluang untuk introspeksi dan koreksi. Makin besar krisis, makin mendasar koreksi yang harus dilakukan.
Sudah seharusnya, krisis kali ini juga memicu renungan jauh lebih mendalam tentang sistem ekonomi dan arah kebijakan pembangunan. Tidak hanya di tingkat daerah dan negara, tapi juga di tingkat global.
Kegagalan kita merumuskan arah pembangunan dan kebijakan baru, tak hanya akan memperparah risiko krisis di masa mendatang, tapi juga kemampuan dan daya tahan kita dalam menghadapi krisis dunia yang kian serius (bersambung)
Baca juga: Omnibus Law Dalam Pemerintahan Omnipotent
Baca juga: MAHKAMAH KONSTITUSI