Ceknricek.com - Jamaah korban First Travel (FT) terus berupaya meminta uangnya kembali, meski Pengadilan Negeri Depok, Jawa Barat, telah memvonis bos FT, Andhika Surachman (vonis 20 tahun penjara), Anniesa Hasibuan (18 tahun), dan Kiki Hasibuan (18 tahun).
Berbagai upaya dilakukan korban FT. Senin (4/6), sebanyak 13 orang korban menemui Ombudsman RI, meminta fatwa hukum dari Mahkamah Agung, dan mengajukan permohonan kompensasi dan restitusi melalui Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Upaya ini mereka lakukan, karena dalam keputusan PN Depok, yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Sobandi, Rabu (30/5), aset FT disita untuk dirampas oleh negara. “Keputusan pengadilan ini malah menguntungkan negara, sedangkan jamaah yang telah mengeluarkan uang tidak sedikit, justru dirugikan, dan tidak mendapatkan apa-apa,” ujar Suroto, salah seorang korban kepada ceknricek.com, Senin (4/6).
Kepada Ombudsman, Kuasa Hukum Korban First Travel, TM Lutfhi Yazid, SH, LLM, juga mempersoalkan hal tersebut. Menurutnyya, aset-aset FT yang disita tersebut bukan hasil korupsi sehingga harus dirampas untuk negara. “Aset-aset FT itu kan dibeli dari uang jamaah,” kata Lutfhi.
Berdasarkan Pasal 39 juncto 46 (2) KUHAP, lanjut Lutfhi, barang sitaan hasil kejahatan memang dapat dirampas negara. Namun timbul persoalan, aset-aset FT itu berasal dari dana jamaah. “Bagi calon jamaah, uang yang mereka stor harus dikembalikan. Kan tragis, calon jamaah mengumpulkan uang dengan jerih payah, namun mereka tidak mendapatkan dananya kembali,” ujar Luthfi.
Menurut Luthfi, apabila dalam proses penyitaan ada aset yang dianggap milik pihak ketiga, maka hal demikian harus dijelaskan atau diklarifikasi dalam sebuah persidangan, harus jelas underlying agreement-nya. Misalnya, berapa piutangnya dan berapa harga yang disepakati untuk pelunasan hutang.
“Mengalihkan aset barang sita haruslah dengan putusan pengadilan. Jika tidak, maka itu namanya pengalihan sepihak dan ilegal,” tegas Luthfi.
Dalam penjelasan Pasal 46 KUHAP, disebutkan bahwa untuk pengembalian aset harus memperhatikan segi kemanusiaan, dengan mengutamakan yang menjadi sumber kehidupan. Ini artinya jika ada aset sitaan yang akan dikembalikan, maka yang harus diutamakan adalah korban.
Seperti diketahui, korban FT berjumlah 63 ribu orang dengan nilai kerugian lebih Rp 900 milyar. Ketika Dirut FT Andhika Surachman ditangkap, polisi menyita sejumlah rumah mewah, kantor, beberapa mobil mewah, antara lain Hummer, Toyota Vellfire, dan Mitshubisi Pajero.
Dalam persidangan, Wawan Ardianto, pengacara FT, memperkirakan aset FT bernilai Rp 200 milyar. Wawan meminta aset-aset tersebut dilelang atau dijual, dan dana yang terkumpul dikembalikan kepada korban. Pernyataan serupa dikemukan kuasa hukum lainnya, Muhammad Akbar, yang menyebutkan aset First Travel mencapai Rp 300 milyar.
Menurut Luthfi, informasi tentang perkembangan kasus FT, termasuk aset yang disita, haruslah disampaikan kepada korban sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 ayat 1 f UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Dalam konteks inilah, kata Lutfhi, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dapat melakukan “intervensi” untuk menyelamatkan asset First Travel, karena LPSK juga mempunyai yurisdiksi untuk melindungi harta korban kejahatan.
“Kasihan para korban FT, mereka mengumpulkan uang untuk umroh, namun mereka tidak mendapatkan kembali uangnya,” kata Luthfi.