Ceknricek.com--“Tidak seorangpun boleh tercederai saat mencari pertolongan” demikian menurut WHO terkait profesi kedokteran. Kedokteran adalah profesi yang menolong, pelayanan kepada pasien adalah kepedulian, bukan jual-beli mencari untung seperti seorang bankir yang mencari rente. Jadi patient safety tidak boleh dikorbankan atas nama pendidikan untuk pencapaian kompetensi. Di sisi lain, dokter harus selalu kompeten dengan selalu memperbaharui pengetahuan dan ketrampilannya demi penyelenggaraan praktek kedokteran yang mengutamakan patient safety.
Pendidikan Dokter Spesialis dan Subspesialis adalah bagian dari Pendidikan Tinggi yang selain tunduk pada ketentuan UU 12/2012, juga harus mengikuti semua standar-standar yang telah ditetapkan oleh Konsil Kedokteran (pra-UU 17/2023) dan tertuang dalam lembaran negara dalam bentuk Perkonsil. Setidaknya ada 38 bidang spesialisasi yang telah memenuhi semua standar terkait kompetensi, proses pencapaian kompetensi, RS Pendidikan, dosen, penjaminan mutu dan pemberian insentif bagi peserta didik, sampai pada Standar Praktek Profesi.
Dalam UU 29/2004 Pasal 6 jelas tertera bahwa KKI mempunyai fungsi Pengaturan, Pengesahan, Penetapan, serta Pembinaan dokter dan dokter gigi yang menjalankan praktek kedokteran dalam rangka meningkatkan Mutu Pelayanan Medis. Selain itu, kedudukan Kolegium Disiplin Ilmu (KDI) sebagai Lembaga Pengampu Disiplin Ilmu (Academic Body) ini penting demi mengampu pengembangan bidang ilmu terkait dan demi menghasilkan dokter spesialis dan subspesialis yang selain kompeten di bidangnya, juga memiliki etika profesi yang luhur dan selalu mengutamakan keselamatan pasien (Patient Safety), tiga hal penting terkait pendidikan dokter spesialis.
Semua standar-standar terkait Pendidikan Dokter Spesialis dan Subspesialis yang telah dirumuskan oleh masing-masing KDI dan telah ditetapkan sebagai Peraturan Konsil (Perkonsil) tersebut dimaksudkan untuk melindungi masyarakat luas dari layanan praktek dokter yang abal-abal, seolah menolong tapi sebenarnya cuma cari cuan, dan praktek pengobatan atau tindakan medis yang belum terbukti manfaatnya dan hanya berbasis testimoni ala Klinik Tong Fang atau Dukun Ponari.
Pendidikan Spesialis yang berlangsung saat ini sesungguhnya Hospital Based
Apapun namanya, Pendidikan Spesialis seperti yang kita miliki saat ini, telah melalui perjalanan Panjang dengan berbagai perbaikan selama lebih dari 50 tahun, dan saat ini memiliki lebih dari 16.000 peserta didik, dan telah bisa meluluskan 2700 dokter spesialis baru setiap tahun. Pendidikan model seperti saat ini semuanya dilakukan di RS Vertikal milik Kemenkes (atau milik Pemda Propinsi). Para pendidiknya semua adalah ASN baik Pemerintah Pusat (Kementerian Riset-Dikti atau Kemenkes), maupun Pemda Propinsi). Pendidikan PPDS ini disebut University Based karena menurut UU 12/2012, UU 29/2004, dan UU 20/2013, pengelolaan dan penjaminan mutunya berada dibawah Kementerian Riset-Dikti via Universitas. Peran Kolegium Disiplin Ilmu (KDI) juga jelas disebutkan dalam pelbagai aturan perundangan tersebut sebagaimana juga peran RS Pendidikan dan Peran Universitas.
Jadi apapun sebutannya, Pendidikan Dokter Spesialis dan Subspesialis yang ada saat ini hampir 100% berupa proses magang di RS Pendidikan (yang semuanya adalah RS Vertikal Kemenkes). Pendidikan ini dikelola bersama secara tripartite oleh Pemerintah (diwakili oleh Kemenristek-Dikti dan Kemenkes) bersama Profesi yang diwakili oleh Kolegium, dan sepenuhnya dikontrol dan diawasi oleh Lembaga Negara yaitu Konsil Kedokteran (pra-UU 17/2023). Bahwa Pendidikan ini berbayar mahal (ada SPI dan UKT) serta peserta didiknya tidak digaji adalah karena negara belum sepenuhnya hadir memenuhi kewajibannya. UU 20/2013 Pasal 31 jelas menyebutkan hak peserta didik untuk memperoleh gaji, tapi faktanya selama lebih dari 10 tahun RS Vertikal selalu berkelit dan ingkar janji dengan berbagai alasan, dalam memenuhi kewajiban ini.
Jadi sesungguhnya (de facto) model Pendidikan PPDS yang ada saat ini semuanya berbasis RS Pendidikan (hospital based), tetapi tidak disebut sebagai hospital based melainkan dianggap university based hanya karena kehendak UU yang mengaturnya (de jure). Lalu mengapa dengan narasi yang terus di ulang-ulang, menkes menyatakan bahwa Pendidikan Spesialis yang benar, sebagaimana di banyak negara lain, haruslah berbasis Rumah Sakit. Apakah ada yang berbeda antara istilah hospital based menurut menkes dengan model saat ini yang de facto juga hospital based.
Jawabnya mudah dan jelas, persoalannya bukan terletak pada soal Hospital Based atau University Based. Antara Pendidikan Spesialis saat ini dengan model yang digagas menkes, perbedaannya terletak pada fakta bahwa semua prodi spesialis tersebut tidak dikelola oleh kemenkes, artinya tidak berada di bawah kekuasaan menkes. Semua ke 125 Prodi Spesialis yang de facto hospital based tersebut adalah milik negara yang dikelola oleh Kementerian Ristek dan Dikti di 23 PTN, kecuali 1 (prodi Radiologi di UPH).
Bagi kita semua yang buta politik-pun mudah memahami bahwa menkes benar-benar bernafsu untuk menguasai Pendidikan Spesialis dengan seluruh lembaga kontrol mutu lulusannya (Konsil dan Kolegium) demi bisa mengatur Kompetensi Dokter dan Dokter Spesialis sesuai kebutuhan pasar, dimana urusan Kompetensi, Etika Profesi, dan Keselamatan Pasien bisa dilupakan demi pasar/ bisnis kesehatan, dengan orang sakit sebagai obyeknya, betapa seram dan mengerikan.
Nafsu Besar menkes menguasai Pendidikan Spesialis, Untuk kepentingan Si(apa)?
Kalau seorang menkes yang tupoksinya (sesuai Perpres 161/2024) bukan mengelola pendidikan, tiba-tiba berkoar-koar bahwa model Pendidikan Spesialis yang existing ini salah karena berbayar dan peserta didiknya tidak digaji, maksudnya mau nyalahin peraturan UU-nya? Atau nyalahin pemerintah/ DPR yang buat aturan itu? Atau nyalahin peserta didiknya? Kalau menkes bilang model pendidikan spesialis yang benar itu harus berbasis Rumah Sakit, padahal semua program PPDS saat ini semua sudah berlangsung dan berbasis di RS Vertikal, jadi de facto semuanya sudah Hospital Based, maka patut dipertanyakan adanya ‘agenda busuk’ apa, demi kepentingan apa, atau untuk kepentingan siapa koar-koar menkes tersebut?
Sejak awal pembahasan RUU Kesehatan Omnibus di tahun 2022, secara terstruktur, sistematis, dan masif, menkes menebar hoaks melalui medsos maupun Surat Edaran, termasuk tuduhan pemerasan dalam IDI (Merdeka.com 24 Maret 2023), di depan DPR menyatakan IDI sebagai biang kerok kegalalan distribusi dokter (DetikHealth, Minggu 29 jan.2023), termasuk orkestrasi dan amplifikasi isu Bullying dan isu Depresi pada Pendidikan Spesialis (Kompas 15 April 2024). Semuanya adalah bagian dari agenda busuk yang bertujuan meruntuhkan kepercayaan publik pada model PPDS/ Pendidikan spesialis yang berlangsung saat ini.
Berbagai narasi para buzzer -pun muncul susul-menyusul, bahwa model PPDS yang sekarang itu buruk dan tidak beradab, penuh dengan bullying, dan banyak peserta didik yang depresi, serta ada eksploitasi PPDS sebagai tenaga kerja gratis di RS (yang belakangan terbukti bahwa pelakunya ternyata adalah RS Vertikal kemenkes). Semua image buruk tsb. sengaja diorkestrasi dan diamplifikasi, dijadikan alat legitimasi perlunya model Pendidikan PPDS baru yang juga berbasis RS, tetapi pemilik program, pendidik/ dosen-nya, penyusun standar pendidikan, kurikulum dan kompetensi, serta lembaga kontrol dan penjaminan mutu lulusan-nya, semuanya adalah para pesuruh menkes yang sepenuhnya berada di bawah ketiak kekuasaan menkes.
Kualitas layanan medik spesialistik bagi masyarakat penerima layanan kesehatan, akan dipengaruhi oleh reliabilitas dari standar pendidikan, standar kompetensi dan proses pencapaian kompetensi, serta standar praktek profesi. Bila semua standar-standar tersebut di atas diragukan (tidak reliable) akibat dari lembaga kontrol kompetensi yang tidak mandiri bahkan Konsil dan Kolegiumnya adalah para pesuruh menkes, sebagaimana model hospital based bentukan menkes ini, maka persoalan terkait Kompetensi, Etika Profesi, sampai Patient Safety, semuanya bisa diabaikan demi menyesuaikan dengan kepentingan lain yang lebih besar.
PP 28/2024 dan Permenkes 12/2024 telah memastikan bahwa lembaga penyusun standar kompetensi (Kolegium), lembaga pendidik kompetensi (Program Studi), sampai lembaga pengawas penerapan kompetensi (Konsil Kedokteran), semuanya benar-benar berada di bawah ketiak kekuasaan menkes, termasuk (nantinya) institusi Pendidikan Tenaga Medis (Named) dan Tenaga Kesehatan (Nakes). Tujuan utama menguasai pendidikan Named dan Nakes agar bisa diliberalisasi demi kepentingan investasi, memproduksi dokter dan dokter spesialis sebanyak-banyaknya bak produksi mobil dan motor demi memenuhi kebutuhan pasar, sebagaimana RS dan Layanan Kesehatan, sebagai bagian dari Industri Kesehatan Global.
Rakyat Banyak akan jadi Korban dari Liberalisasi Pendidikan dokter dan Industrialisasi Layanan Kesehatan
Kalau semuanya diserahkan pada mekanisme pasar, pertanyaan penting setelah itu adalah dimana peran dan tanggung-jawab konstitusi kehadiran negara dalam memenuhi hak kesehatan rakyat miskin? Dalam UU No. 39-2009 ditegaskan bahwa setiap orang punya hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan dan memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau.
Benarkah menkes memfasilitasi agar setiap orang, atau cuma segelintir orang kaya saja, untuk akses pada layanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau? Kehadiran RS Asing yang mewah dan canggih seperti RS Aspen di Depok (Depok.tribunnews.com, 20-6-2023), Sanur Medical International Complex yang mewah di Bali, serta pembangunan sebanyak 30 RS Tiongkok yang ditandatangani menkes di Chengdu (https://youtu.be/sNYnt_NxdPY) sehari setelah UU 17-2023 disahkan, semua itu untuk siapa? “Semua itu untuk Wisata Kesehatan” kata Erick Tohir dan Airlangga Hartarto. Jadi jelas bukan untuk 180 juta peserta BPJS klas 3, yang kalau sakit hanya butuh diobati segera, bukan harus menunggu untuk rawat inap 6-12 bulan, dan bukan untuk Wisata Kesehatan.
Bodoh itu boleh kok, tapi jangan dipamerkan di hadapan publik, ini terkait sebuah stupid comment seorang pejabat tinggi kemenkes di depan forum akademik. Saat memberikan sambutan di kampus UMY, Kasihan, Bantul, tg 20-8-2024 (https://www.detik.com), dirjen Nakes manyatakan “ Karena kurang dokter, lebih dari 2 juta penduduk Indonesia berobat ke LN setiap tahun”. Yang kurang dokter itu pasti Tidak di Perkotaan, dan semua yang berobat ke LN pasti orang kota, jadi ini adalah pernyataan
Bagaimana dengan rencana pinjaman Bank Dunia sebesar 3,9 miliar Dolar, atau 61 triliun Rupiah ditargetkan untuk pengadaan alat kesehatan guna memperkuat RSUD dalam penanganan penyakit katastrofik seperti kanker, jantung, dan ginjal (https://www.rri.co.id/pusat-pemberitaan/kesehatan/434452/kemenkes-terima-pinjaman-rp61-triliun-dari-bank-dunia). Bukannya tidak boleh mikirin penyakit katastrofik, tapi angka balita stunting di tahun 2023 saja cuma bisa turun 0,1%, padahal anggarannya cukup besar, belum lagi posisi Indonesia yang menduduki juara 1 untuk Scabies/ Kudis, juara 2 untuk TBC, dan juara 3 untuk Kusta. Dokter-nya yang salah, atau leadership menkesnya yang patut dipertanyakan? Apalagi bila ternyata untuk pinjaman Bank Dunia tersebut ada persyaratan terkait pemberian STR/ ijin praktek untuk dokter WNA (The World Bank, Report No. PD000020), yang menggambarkan adanya intervensi Global.
Untuk pengadaan Cath Lab tahun 2023 (200 unit) di RSUD kabupaten/ Kota saja, belum dilaporkan berapa persen yang sudah diinstal tapi tidak ada dokternya yang memiliki kompetensi untuk pasang Ring Jantung? Berapa persen yang sudah diinstal tapi tidak mendapatkan rekomendasi operasional dari BPJS setempat, karena RS nya tipe C/ D atau ada sebab lain. Padahal terkait biaya pemeliharaan dan operasional satu Unit Cath Lab, efisiensi akan tercapai bila ada setidaknya 20 pasien/ bulan.
Bagaimana bisa efisien bila faktor pembiayaan menjadi kendala. Di RS Vertikal di Semarang, dari 60 pasien pecah aneurisma otak setiap tahun, setidaknya 30 pasien perlu dilakukan Coiling Aneurisma agar jangan mati. Tetapi RS hanya menyediakan 12 coil (untuk 3-4 orang pasien) setiap tahun, selebihnya adalah Seleksi Alam. Di Medan, RSU Adam Malik hanya membolehkan operasi Coiling Aneurisma untuk 2 (dua) pasien setiap bulan.
Kalau 40% tempat tidur RS pemerintah boleh dijadikan lahan bisnis mencari revenue sebagai konsekuensi Perpres 59/2024 tentang Kelas Rawat Inap Standar/KRIS (untuk pasien BPJS hanya 60%), bagaimana dengan sulitnya akses rawat inap bagi lebih dari 180 juta penduduk peserta BPJS Klas 3? Tanpa KRIS saja, saat semua tempat tidur bisa diisi pasien BPJS sesuai kelasnya, antrean masuk di RS rujukan sudah mencapai 6-12 bulan. Pada hari ini, Senin 13/11/2024, jumlah antrean pasien Bedah Saraf yang perlu rawat inap di RS Vertikal di Semarang mencapai 1076 orang, bukan karena dokter spesialis yang kurang, tapi karena tempat tidur/ bed yang tidak tersedia.
Konsil dan Kolegium Dikuasai, Kompetensi, Etika Profesi, dan Patient Safety bisa diatur sesuai kebutuhan investasi Pemilik Modal
Setiap tindakan medis/ pengobatan yang dilakukan seorang dokter harus dilandasi oleh body of knowledge terkait indikasi (keadaan yang mengharuskan dilakukannya tindakan/ pengobatan tsb.), kontra indikasi (keadaan yang tidak memperbolehkan dilakukannya tindakan/ pengobatan tsb.), komplikasi (penyulit atau masalah baru yang bisa timbul akibat dari tindakan/ pengobatan tsb.), serta bagaimana mencegah/ menghidari terjadinya komplikasi serta cara mengatasi bila komplikasi itu benar-benar terjadi.
Untuk dianggap kompeten melakukan tindakan pasang ring jantung, selain ketrampilan tangan, pelaku harus menguasai body of knowledge terkait dengan pasang ring jantung, artinya hanya dokter spesialis Jantung (Sp JP) dan Subspesialis Jantung (Sp PD-KKV) saja yang boleh belajar ketrampilan tsb. Pemahaman menkes tentang kompetensi, yang menganggap pasang Ring jantung sekedar ketrampilan vokasi yang bisa dipelajari ala pelatihan montir di BLK, jelas salah dan amat berbahaya. Harapan agar dokter umum dengan pelatihan 6 bulan bisa dianggap kompeten untuk Pasang Ring Jantung harus ditolak demi keselamatan pasien. Oleh menkes, hal ini dianggap sebagai hambatan program operasionalisasi lebih dari 200 Cath Lab di banyak RSUD akibat kurangnya dokter Sp JP Konsultan Intervensi.
Hal yang sama terjadi ketika Kolegium Bedah Saraf menolak permintaan menkes agar diberikan kompetensi untuk Klipping Aneurisma Otak kepada 20 dokter Sp BS peserta pelatihan Klipping Aneurisma selama 2 hari. Persoalan kompetensi yang tidak memadai juga dihadapi oleh banyak dokter dan Bidan Puskesmas yang tiba-tiba memperoleh pembagian lebih dari 10.000 alat USG tanpa persiapan SDM yang kompeten. Selain banyak alat yang mangkrak karena tidak adanya tenaga yang kompeten, juga banyak kasus tindakan diagnostik dengan alat USG tersebut tidak dibayar oleh BPJS karena tidak dilakukan oleh SDM yang kompeten. Di sisi lain ada keluhan dari perhimpunan Spesialis Kebidanan (POGI) di sebuah Propinsi, yang menyatakan bahwa Diagnosa dengan alat USG pada pasien-pasien yang dirujuk, ternyata 60% tidak tepat alias salah.
Demi untuk menghindari semua hambatan terkait kompetensi sebagaimana contoh tersebut di atas, menkes bernafsu untuk menguasai semuanya, mulai dari lembaga penyusun standar kompetensi, lembaga yang mengajarkan kompetensi, sampai lembaga pengawas penerapan kompetensi. Penguasaan menkes atas semua lembaga tersebut di atas akan menjadikan layanan kesehatan tidak lagi berorientasi humanis untuk keselamatan pasien, tapi sebagai alat bisnis mencari mencari untung sebuah Industri RS. Layanan kesehatan akan jadi hutan rimba uji coba obat baru dan tindakan pengobatan baru yang hanya berbasis testimoni pejabat, tanpa adanya Evidence Based Medicine (yang tidak mungkin dipraktekkan di negara maju lainnya).
Tidak terbayangkan kalau semua tindakan dokter dan Nakes di masyarakat, mulai dari menuliskan resep, menjahit luka, menolong persalinan, sampai melakukan tindakan operasi yang komplek tidak lagi didasarkan atas Kompetensi yang terstandarisasi, dan selama ini dijaga dengan penuh tanggung jawab oleh masing-masing Kolegium. Kompetensi, Etika Profesi, dan Pasien Safety bukan lagi menjadi bagian penting, bahkan dianggap sebagai penghalang dalam sebuah Industri kesehatan Global. Naudhubillahi Min Dzalik.
#Zainal Muttaqin, Pengampu Pendidikan Dokter dan Dokter Spesialis, Guru Besar FK Undip
Editor: Ariful Hakim