Ceknricek.com -- Belakangan ini viral di media sosial video yang menayangkan seorang siswa kejang-kejang kaku pada saat bermain gadget. Video pendek tersebut salah satunya diviralkan oleh akun Instagram @makassar_info. Viralnya video tersebut, membuat banyak orang beranggapan siswa tersebut mengalami kejang-kejang karena keranjingan game online.
Peristiwa itu terjadi pada seorang siswa kelas 11 SMA N 1 di Luwu Timur, Sulawesi Tengah. Palalloi, ayah siswa itu, sebagaimana dikutip Kompas, menjelaskan sang anak mengalami kejang-kejang bukan karena keranjingan gim. Putranya itu sakit akibat tidak sarapan sebelum berangkat ke sekolah. Peristiwa itu terjadi pada 10 September lalu.
Peristiwa siswa SMA Luwu yang viral itu tidak memberi penjelasan sedetail itu, sehingga tidak sedikit yang meyakini, akibat gim, bisa berakibat fatal.
Tragedi gim banyak terjadi di belahan dunia lain. Pada Senin (4/11) lalu, seorang remaja di Thailand tewas setelah main gim semalam suntuk. Tragedi ini menjadi pemberitaan media di Thailand dan sejumlah media di luar negeri. Korban adalah Piyawat Harikun (17) yang ditemukan tewas di meja komputernya di Udon Thani, Thailand.
Sumber: Tribunnews
Piyawat mengadu game online multiplayer dari PC di kamar rumahnya. Piyawat sering bergadang main game multiplayer. Makanan pun dia bawa ke dalam kamar. Orang tuanya bukan tidak khawatir. Ayahnya, Jaranwit, sudah memperingatkan berkali-kali.
Sang ayah menemukan Piyawat pada Senin sore. Dia terjatuh dengan kursinya, tubuhnya rebah ke atas PC yang ditaruh di lantai. Tim medis yang memeriksa menyebutkan korban tewas karena stroke akibat main gim sepanjang malam. Jaranwit mengakui anaknya kecanduan game online. Dia berpesan lewat media, agar para orangtua menjaga anak mereka agar tidak kecanduan game.
Penyakit
Pada 2018, WHO secara resmi menyatakan kecanduan gim adalah bentuk penyakit atau masalah kesehatan.
Di dunia ini ada 2,2 miliar orang yang bermain gim. Konon 1 dari 25 orang mengalami kecanduan gim. Diperkirakan ada hampir 90 juta orang di dunia yang mengalami kecanduan gim.
Bermain gim membuat otak mengeluarkan dopamine. Ini membuat orang ingin main dan main lagi. Bermain gim juga memberikan perasaan yang sama seperti ketika orang bermain judi.
Sumber: Medainside.com
Baca Juga: Hati-hati, Kecanduan Game Dianggap WHO Sebagai Penyakit
Gejala kecanduan gim, bisanya kehilangan minat untuk kehidupan sosial, merasa gelisah atau terganggu kalau tidak bisa bermain gim. Laki-laki berusia 18-24 tahun paling berisiko mengalami kecanduan gim.
Ketua Dewan Pembina Komnas Perlindungan Anak, Seto Mulyadi, mengingatkan kecanduan gim bisa berdampak buruk pada hubungan teman dan keluarga. Kebersamaan menjadi renggang karena waktu bersama menjadi berkurang. “Keterampilan sosial mereka berkurang sehingga sulit berhubungan dengan orang lain. Perilaku mereka menjadi kasar dan agresif karena terpengaruh oleh apa yang mereka lihat dan mainkan,” ujar Seto, suatu ketika.
Sumber: Tribunnews
Fenomena tingginya penderita gangguan mental akibat kecanduan game online, atau gaming disorder menggejala di berbagai belahan dunia seiring cepatnya perkembangan teknologi digital.
Di Indonesia, fakta tingginya penderita gaming disorder antara lain terlihat dari makin melonjaknya pasien anak-anak di rumah sakit jiwa sejumlah daerah. Di Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) dr Arif Zainudin Surakarta, misalnya, tiga tahun silam, pasien anak-anak akibat kecanduan gim rata-rata hanya satu orang tiap pekannya.
Saat ini, jumlah itu meningkat. Rata-rata setiap hari RSJD menerima satu hingga dua anak yang mengalami gaming disorder. Mulai tahun ajaran baru (Juli) hingga pertengahan Oktober lalu terdapat 35 anak yang dibawa ke RSJD Surakarta.
Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Provinsi Jawa Barat juga menerima ratusan anak pasien kecanduan gawai. Dari tahun 2016 setidaknya ada 209 pasien yang dirawat di RSJ di Cisarua, Kabupaten Bandung. Umur mereka berkisar antara 5-15 tahun. Selain kecanduan game, mereka juga bermain browsing internet atau aplikasi lain.
Sumber: Antara
Dua remaja di Kabupaten Bekasi, saat ini juga tengah dirawat di Yayasan Al Fajar Berseri Tambun Selatan lantaran kecanduan berat gim. Warga asal Cibitung, Bekasi, ini sudah satu tahun dirawat di sana. Dalam keseharian mereka hanya berdiam diri dan sesekali berinteraksi. Namun, dua pasien itu seketika bereaksi saat melihat telepon seluler. “Misal ada ponsel sedang i-charge, langsung direbut," kata Ketua Yayasan Al Fajar Berseri Tambun Selatan, Marsan Susanto seperti dikutip Okezone, Oktober lalu.
Umumnya penderita gangguan mental ini mengoperasikan gadget dari sejak bangun tidur hingga malam menjelang tidur kembali. Akibatnya, tidak jarang mereka pun bolos sekolah. "Buat makan saja mereka lupa. Lebih parah lagi, kalau dilarang, mereka mulai emosional," katanya.
Dari Kota Semarang sebanyak tiga anak harus menjalani terapi di Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD), Amino Gondohutomo, lantaran kecanduan bermain game hingga menderita gangguan jiwa.
Baca Juga: Bamsoet Minta Kominfo, Bareskim dan BSSN Kerjasama Awasi Game Online
Anak-anak yang harus menjalani terapi itu rata-rata berusia sembilan tahun. "Dua pasien benar-benar murni adiksi atau kecanduan gim. Satunya lagi didiagnosa gangguan jiwa karena main gim terus," ujar Psikiater RSJD Amino Gondohutomo, Hesti Anggriani, seperti dikutip Kompas, 19 Oktober lalu.
Hesti menuturkan ciri-ciri pasien yang mengalami kecanduan gim antara lain anak tersebut sangat sulit dikendalikan. "Anaknya tidak mau sekolah, harus dipaksa. Inginnya main game terus. Orangtua jadi kewalahan," paparnya.
Rumah sakit jiwa RSMM (Rumah Sakit Marzuki Mahdi) Kota Bogor pun demikian. Puluhan pasien anak dan remaja yang mengalami gangguan jiwa akibat kecanduan gadget di rawat di RS ini.
Sumber: Antara
Dokter spesialis kejiwaan anak dan remaja RSMM, dr Ira Safitri T. mengibaratkan gangguan kejiwaan akibat gadget ini sebagai fenomena gunung es. Menurut Ira, jumlah pasien setiap tahunnya meningkat. "Kalau selama 2019 itu kita tangani 10-15 pasien (akibat kecanduan gadget). Ada 3 orang yang sempat jalani rawat inap, tapi sekarang sudah pulang. Sampai sekarang, kita layani antara 2 sampai 3 orang (pasien akibat kecanduan gadget) yang rawat jalan setiap hari," katanya kepada detik.
Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa di RS Gading Pluit, Kelapa Gading Jakarta Utara, dr. Dharmawan AP, SPKJ, mengatakan, kecanduan game online masuk ke dalam kategori behaviour addiction. Yakni menunjukkan adiksi perilaku yang mekanismenya sama dengan orang yang kecanduan obat. “Kalau kecanduan obat itu, obatnya yang dirangsang. Tapi kalau ini (kecanduan game) perilaku yang dirangsang terus menerus ke pusat brain reward system yang terdiri dari system limbic, nucleus accumbent, serta VTA (ventral Tegmental Area),” katanya.
Ada beberapa ciri yang bisa dibaca dari anak yang mulai kecanduan game online. Di antaranya, anak akan bermain game lebih dari 30 jam dalam seminggu. Durasi waktu ini bahkan hampir menyamai orang bekerja yang rata-rata menghabiskan waktu 40 jam dalam seminggu. Mereka yang banyak menghabiskan waktunya untuk bermain game menjadi kurang produktif. Gejala lainnya, menjadi tidak bisa berkonsentrasi ketika bekerja maupun belajar. “Salah satu ciri ketergantungan dia tak bisa mengendalikan dirinya walau dia tahu itu tak bermanfaat tapi dia tetap melakukan itu,” paparnya.
Penanganan Perilaku
Penanganan anak-anak yang kecanduan gim berbeda antara satu dengan lainnya. Hal tersebut disesuaikan dengan gejala yang muncul. Langkah awal yang dilakukan adalah mengatasi dulu ke arah gangguan emosi. Gangguan emosi itu antara lain marah, tidak bisa tidur, atau tidak mau makan. Untuk mengatasi gangguan emosi, maka diberikan obat farmakoterapi. Obat ini bertujuan menyeimbangkan cairan otak (neurotransmitter). Setelah terjadi keseimbangan, obat diturunkan dan terapi perilaku dimaksimalkan.
Dalam terapi perilaku, anak yang kecanduan gim akan diarahkan harus melakukan kegiatan setelah pulang sekolah. Misalnya jika sebelumnya pulang sekolah langsung memegang ponsel, saat ini mulai dibatasi.
Pembatasan misalnya, ponsel hanya bisa digunakan untuk mengerjakan tugas dari sekolah. Sedangkan di lingkungan keluarga diharapkan pada jam-jam tertentu semuanya tidak memegang gadget. Tak kalah penting adalah orang tua harus introspeksi apakah juga kecanduan gadget atau tidak. Gejala yang dapat dilihat adalah setiap lima menit mengecek ponsel. Orang tua memiliki peran besar dalam mengontrol penggunaan ponsel.
Sumber: Kompas
Psikolog klinis Liza M Djaprie mengaku pernah menangani pasien yang kecanduan gadget sampai mogok sekolah dan kuliah. "Ada yang kecanduan main PS (play station) dan dipotong uang jajannya. Akhirnya dia malah mencuri uang orang tuanya untuk bisa main PS atau pergi ke warnet," kata Liza seperti diktuip Tribun. Dia menganalogikan kecanduan gadget seperti ada kabel yang korsleting di otak.
Psikolog klinis dan forensik Kasandra Putranto menilai adiksi gadget tidak semata-mata disebabkan kebiasaan main gadget semata, tetapi juga karena profil psikologis sang anak. Misalnya saja anak yang tidak bahagia, kurang gerak, dan cara berpikir kaku. Kondisi ini membuat anak semakin rentan terpapar efek negatif gadget.
Andrew Ryan Samuel mantan penggila game yang kini menjadi penulis mengakui dirinya dahulu bermain game 12 jam dalam sehari. Andrew makin jarang berinteraksi sosial di dunia nyata. Berat badannya juga menurun dari angka 93 menuju 85 kilogram. Belum lagi nilainya di sekolah yang menurun karena ngegim hingga larut malam, padahal Andrew akan mengikuti ujian kala itu.
“Hal itu mengganggu kehidupan saya,” akunya. Saat menjadi penggila gim dia berusia 14 tahun. Andrew bahkan pernah bergabung dalam komunitas game, dan kemampuanya diakui anggota lain dalam menyusun taktik permainan mengalahkan lawan.
Sumber: Istimewa
Lantas, kenapa penulis buku "The Trigger to Everything" ini bisa lepas dari pengaruh game? Pemicunya, kata dia, pengin pindah dari zona nyaman karena dulu punya teman yang suka ngerokok dan bisa berhenti. “Dia aja bisa, kok saya yang sudah kecanduan gim ini enggak?" tukasnya dalam seminar "Bagaimana Mengatasi Efek Negatif Kecanduan Game" di Jakarta belum lama ini.
Menurut lelaki kelahiran 2002 ini, anak seolah ditarik oleh dua kubu berbeda. "Orangtua serasa sedang tarik tambang dengan developer game. Di tengah ada anak, di kiri orangtuanya, dan di kanan ada developer game dari dunia maya,” terangnya. Memang betul, anak bisa saja menangis karena tidak ada jaringan internet untuk bermain. Tetapi, faktor utamanya adalah lingkungan si anak.
Anak dari pasangan orangtua yang tidak akur, lanjut dia, lebih gampang kecanduan gim. “Karena anak merasa kesepian dan beralih ke dunia maya. Di sana, mereka mendapat perhatian dan apresiasi lebih karena berkomunikasi dengan pemain lain."
BACA JUGA: Cek OLAHRAGA, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.
Editor: Farid R Iskandar