Cerita Dokter Amira Beli Alat Tes dan Anti Virus Sendiri di Luar Negeri | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Sumber: Istimewa

Cerita Dokter Amira Beli Alat Tes dan Anti Virus Sendiri di Luar Negeri

Ceknricek.com –Penanganan kondisi pasien corona yang lambat,membuat dokter Amira geregetan. Inilah yang membuatnya memutuskan untuk bergerak cepat membuat riset mandiri dibawah naungan HILMI. Bermodal dari kantong sendiri, ia membeli alat SWAB dari Korea Selatan dan obat anti virus dari Rusia, untuk riset pribadinya.

Rusia dan Korsel dijadikan rujukan karena kedua negara tersebut bisa memprediksi angka kejadian Covid-19 dan menekannya seminimal mungkin, sejak virus ini merebak dari Januari 2020. Tidak tanggung-tanggung, milyaran uang dikeluarkan dokter Amira.  Untuk alat SWAB seharga 38 USD per kit, dokter Amira membeli 1800 test kit. Alat ini diklaim oleh Korsel mampu mendeteksi antigen dengan tingkat akurasi 100% dengan waktu pemeriksaan hanya 10 menit.

Foto: Istimewa

Menurut dokter Amira,Indonesia masih mengandalkan pemeriksaan PCR yang  cukup mahal dan hasilnya pun harus menunggu sekian hari karena harus dikirim ke pusat dulu.  Inilah yang  menyebabkan angka kematian pengidap Covid-19 cukup tinggi. Sedangkan untuk anti virus dari Rusia, dokter Amira memesan 500 boks, dengan harga satu boks  40 USD. Obat anti virus TZV ini lebih efektif dibandingkan dengan Oseltamivir atau Tamiflu. Berdasar riset, efek samping  TZV  juga lebih sedikit dibanding Tamiflu.

Rencananya, dokter Amira akan mendatangi beberapa rumah sakit dan puskesmas untuk melakukan riset ini dan melakukan pemeriksaan secara gratis yang diperuntukkan untuk pasien suspect Covid-19. 

Foto: Istimewa

Saat dihubungi Minggu (5/4/2020) malam, dokter yang memiliki banyak teman di Korea Selatan dan Rusia ini menjelaskan keputusannya. Menurut dokter Amira, selama ini pemerintah melakukan tes cepat lewat darah dengan akurasi yang masih rendah. Semisal melakukan rapid test untuk seseorang yang baru saja melakukan kontak dengan pasien yang positif. Kemungkinan  besar hasil dari rapid ini adalah negatif karena anti bodi yang  terbentuk harus menunggu minimal selama 4 hingga 7 hari.

“Inilah kesalahan yang sering ditemukan di lapangan. Kalau misalnya sudah suspect, terus datang ke rumah sakit, dilakukan rapid tes,  positif, kemudian dirujuk ke rumah sakit untuk SWAB atau PCR. Saat ini berapa lama pasien harus menunggu hingga hasil tes keluar? Kadang suspect sudah keburu meninggal, baru hasil test keluar. Bahkan untuk pasien yang tidak terlalu parah, hanya disuruh pulang dan melakukan isolasi diri di rumah tanpa memahami kondisi keuangan mereka,”kata dokter Amira.

Kondisi ini juga yang membuat dokter Amira berusaha semampunya untuk mencegah penularan lebih lanjut dengan pembagian sembako dan uang bagi masyarakat positif Covid-19 yang tidak mampu. Juga penyemprotan desinfectan gratis di wilayah yang terkena isolasi karena pencegahan memang harus dilakukan secara komprehensif.

Curiga Penularan Lewat Udara

Kegundahan dokter Amira sebetulnya sudah sejak awal ketika pemerintah mengumumkan ditemukannya pengidap Covid-19. Saat itu banyak beredar informasi, virus corona tidak menular lewat udara. Namun informasi teman-temannya di China, mereka selalu menganjurkan jika keluar rumah harus pakai topi, kacamata, masker dan sarung tangan.

“Sarung tangan nggak harus yang mahal. Cukup sarung tangan plastik yang biasa digunakan untuk memasak. Kan kita nggak tahu habis pegang apa terus terpapar,”kata dokter Amira.

Topi dikatakan dokter Amira agar virus tidak menempel di rambut. Semua barang-barang itu harus dicuci setelah sampai di rumah. Maka jalan satu-satunya agar tidak terinfeksi virus corona adalah tetap di rumah saja, jika tak ada kepentingan yang sangat mendesak. Dari informasi ini, dokter Amira menduga, penularan corona bisa melalui udara.

Foto: Istimewa

Dokter Amira menambahkan, dari riset yang dikeluarkan oleh Lydia Bourouiba dari JAMA (Journal of the American Medical Association) yang dipublikasikan tanggal 26 Maret lalu, dikatakan jika droplet dari pasien yang positif bisa bergerak sejauh 2 meter dan droplet dari pasien positif yang batuk dan bersin bisa terlempar sejauh 7-8 meter. Begitupun dengan penelitian di Jepang yang membuktikan droplet bisa bertahan sekian jam di udara.

Kondisi ini tidak ditunjang dengan kedisplinan pemakaian masker. Padahal di Korsel, setiap orang yang keluar rumah wajib pakai masker.Jika ketahuan melanggar,maka polisi akan menangkapnya. Hal itu untuk meminimalkan potensi penularan.

Foto: Istimewa

“Semua informasi itu sudah saya share. Tapi karena teman sejawat banyak yang hanya mengandalkan aturan yang dikeluarkan  WHO dan CDC,  mereka tidak mempercayai. Sementara teman-teman dokter saya di luar negeri selalu bilang, Indonesia itu sudah sangat mengkhawatirkan sebenarnya. Saya kalau nggak terikat sumpah dokter lebih baik ngungsi keluar negeri dulu deh,”tegas dokter Amira.

Vitamin C Dosis Tinggi

Hal yang juga menjadi perhatian dokter Amira adalah treatment vitamin C dosis tinggi pada pengidap Covid-19, agar mereka tidak jatuh ke fase yang sangat membutuhkan ventilator. Dokter Amira mendapatkan protokol penanganan pengidap Covid-19 dari China dengan injeksi vitamin C dosis tinggi. Di sana ada riset, dari 168 pasien yang diberi ventilator dibagi dua grup. Pertama dikasih vitamin C dosis tinggi. Grup kedua tidak diberikan.

“Ternyata di grup yang tidak diinjeksi vitamin C dosis tinggi ditemukan adanya angka kematian.Sementara untuk pasien yang dilakukan injeksi vit C dosis tinggi 24g/12 jam dengan 12 g/6 jam tidak ditemukan angka kematian sama sekali. Hal ini dikarenakan injeksi vit C dosis tinggi mampu mencegah pembentukan cairan di alveoli paru  sehingga fungsi paru-paru dapat segera pulih dan ventilator pun dapat segera dilepas kurang dari 7 hari," urai dokter Amira.

Foto: Istimewa

Ia lantas memberi saran ke teman-temannya, bagi pengidap Covid-19 yang sudah dikasih ventilator agar diberi vitamin C injeksi dosis tinggi. Tapi saran tersebut kurang disetujui oleh dokter-dokter senior di awal Covid-19 merebak di Indonesia. Alasannya, karena injeksi vitamin C dosis tinggi dikhawatirkan bisa membuat gagal ginjal dan efek-efek  lainnya.

Padahal menurut teman-teman sejawatnya di Korsel, sebagian besar kematian karena Covid-19 karena gagal nafas bukan dikarenakan gagal ginjal dan penyakit penyerta lainnya. Bahkan dokter di Malaysia berani melakukan injeksi vit C dalam dosis 50gr yang diberikan secara bolus untuk pasien dengan kondisi sesak parah dan hasilnya sangat memuaskan.

Baca Juga : Virus Corona Makin Merajalela, AS Pesimis

“Jadi mending sebelum dipakai ventilator, berilah injeksi vitamin C dosis tinggi. Ini untuk mengurangi penggunaan ventilator. Sekarang khan ketersediaan ventilator minim dan cukup mahal?”ujar dokter Amira.

Ia pernah cerita soal ini ke temannya, dan diviralkan di sosial media. Beberapa hari kemudian muncul protap penanganan pengidap Covid-19 dengan vitamin C 400 mg. Dokter Amira sempat kaget, karena vit C dapat dikatakan high dose itu untuk dosis diatas 10.000 mg. Kemudian ia sampaikan lagi ke temannya, dan diviralkan lagi. Berselang tak lama,ada perubahan standar pengobatan menjadi 16gr.

Baca Juga : PM Inggris Dilarikan ke Rumah Sakit

Karena penasaran, dokter Amira kemudian menanyakan temannya yang bertugas di Rumah Sakit dadakan di Wisma Atlet, Jakarta. Ia kaget, mendengar informasi di RS Wisma Atlet justru belum didukung injeksi vitamin C. Hanya disupport dalam bentuk vit C tablet.  “Selang sehari saya menanyakan hal tersebut esoknya saya mendengar pasien wanita usia 23 tahun meninggal karena gagal nafas.Sungguh miris membaca berita tersebut,”katanya.

Begitupun rumah sakit di Surabaya, milik salah satu BUMN yang nota bene dibawah pengawasan pemerintah langsung. Di sana juga tidak tersedia injeksi vitamin C dosis tinggi maupun obat antivirus apapun. Hanya antibiotik dan kloroquin.

“Jadi banyak saya temukan di lapangan jika teman-teman dikasih protap pengobatan Covid-19 ,tapi obatnya nggak ada. Kalau sudah begini terus kita mau ngomong apa?Ibarat tentara disuruh perang, tapi senjatanya nggak ada,”kata dokter Amira, yang berjanji akan membuka semua data setelah hasil risetnya terkumpul semua.

BACA JUGA: Cek POLITIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini



Berita Terkait