Douwes Dekker Sosok yang Mengutuk Kolonialisme | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto : readingmultatuli.co

Douwes Dekker Sosok yang Mengutuk Kolonialisme

Ceknricek.com Eduard Douwes Dekker alias  Multatuli - dalam bahasa latin berarti “aku sudah banyak menderita” - adalah manusia yang tenggelam dalam sejarah hitam putih Indonesia. Ia lahir tepat pada hari ini (2 Maret 1820) 199 tahun yang lalu di Amsterdam, Belanda.

Di Brussel, Belgia, tahun 1859 di dalam sebuah kamar kecil yang sempit ia menulis. Ia meradang, menggugat ketidakadilan antar sesama manusia. Tiga dasawarsa kemudian roman tulisan tersebut “Max Havelaar, of de Koffie-veilingen der nederlandsche Handelsmaatschappij” (Max Havelaar atau Pelelangan Kopi Perusahaan dagang Belanda) membawa efek luar biasa bagi kesadaran politik etis di Belanda dan pemantik awal nasionalisme di Indonesia. 


Roman Politik Satir

Belum genap umur 19 tahun Dekker muda ikut kapal Dorothea yang dinahkodai ayahnya menuju Hindia Belanda. Tahun 1839 ia tiba di Hindia Belanda dan memutuskan tidak mau kembali pulang ke Eropa. Di tahun ketika Douwes Dekker datang ke Hindia Belanda Gubernur Jenderal Johannes graaf van den Bosch sedang mewajibkan sistem tanam paksa (1830-1870). Karena sistem tatanan masyarakat kolonial membawa dampak rasial dalam tataran birokrasi, lalu dimulailah awal kariernya sebagai orang Eropa, bermula dari juru tulis, komis, dan pada 1842 diangkat sebagai kontrolir di Natal, Tapanuli, Sumatra Utara. 

 

Sempat dipindahkan ke Padang, dan di sana ia menjadi pegawai bermasalah karena ceroboh dalam mengelola kas pemerintah kolonial, ia akhirnya diskors. Di fase inilah ia menderita kemiskinan dan menulis lalu jadi pelariannya.

Sumber : Goodreads

Tahun 1856, setelah beberapa kali dipindahkan di berbagai tempat, Douwes Dekker dipindahkan ke Lebak dengan jabatan sebagai Asisten Residen. Di tempat inilah nilai kemanusiaan atau humanisme seorang Multatuli dalam melihat kolonialisme bangkit yang kelak akan menginspirasinya dalam menulis Max Havelaar.  Di mana sistem tanam paksa yang diwajibkan oleh pemerintah Belanda terhadap petani masih dihisap oleh sejumlah bangsawan elite perantara birokrasi kolonial, yakni Bupati Lebak. 

 

Sebenarnya apa yang terjadi di Lebak ini oleh Douwes Dekker dilaporkan kepada atasannya, namun tidak seperti yang ia harapkan, laporan tersebut malahan tidak ditindaklanjuti, dan  ia dipindahkan ke Ngawi.


Politik Etis dan Bumerang Bagi Belanda

Sebelum bukunya (Max Havelaar) terbit Douwes Dekker mengirim secarik surat untuk Raja Willem III, penguasa negeri Belanda. 

“Apakah yang mulia tahu ada 30 juta lebih rakyat di Hindia yang disiksa atas nama yang mulia?” kata Multatuli dalam suratnya. Raja tak bergeming.

Namun, ibarat sebuah batu yang dilemparkan ke dalam air yang akhirnya menimbulkan gelombang yang makin besar, lambat laun romannya yang telah terbit membuat segelintir orang Belanda menyerang kebijakan pemerintahan kolonial Belanda di Hindia Belanda. Robert Fruin, terinspirasi dari Max Havellar  membuat sebuah artikel tentang kewajiban Belanda untuk meningkatkan kualitas hidup warga jajahan. Tulisan Fruin akhirnya mempengaruhi tokoh-tokoh Belanda di Hindia Belanda yang menggagas politik etis seperti Van Deventer dan Pieter Brooshooft. Van Deventer menulis artikel di media yang sama dengan Fruin, De Gids tahun 1899, dengan judul “Een Eerschuld” (Utang Budi).


Cikal Bakal Nasionalisme

Perlahan namun pasti akibat gerakan kaum etis menyuarakan keadilan di Hindia Belanda, pada Januari 1901, Ratu Wilhelmina mengesahkan politik etis sebagai kebijakan resmi pemerintah Belanda di Hindia Belanda. Program itu terdiri dari tiga proyek: pengairan, pendidikan, dan pemerataan jumlah penduduk penduduk.


Meskipun pada awalnya dalam salah satu bidang, yakni pendidikan hanya menciptakan insinyur, dokter, dan sekelompok tenaga ahli di perkebunan  milik  Belanda. Namun, pada akhirnya ia mampu mencetak kelompok baru dalam masyarakat Hindia Belanda yang akhirnya akan menggerakkan kesadaran nasionalisme, diantaranya Soekarno. Kartini pun memuji  Multatuli sebagai penulis jenial pembela bumiputra. Selain itu di dalam sebuah wawancara, Pramoedya Ananta Toer sastrawan pengarang Tetralogi Pulau Buru mengatakan bahwa seorang politikus yang tidak mengenal Multatuli, pseudoname (Eduard Douwes Dekker) maka ia tidak mengenal humanisme. 

Sumber : Patung Multatuli di Belanda ; historia.id

Tahun  1887 pada tanggal 19 Februari Douwes Dekker meninggal di German, sementara itu pada tanggal 11 Februari 2018 di Rangkasbitung, Lebak, Banten untuk menghormati Multatuli, Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya dan Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid meresmikan Museum Multatuli sebagai upaya meluruskan sejarah yang masih  rasis dan egosentris.



Berita Terkait