Gagal Framing Terkait Bullying dan Bunuh Diri PPDS, Muncul Fitnah Terkait Pemalakan PPDS | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Foto: Istimewa

Gagal Framing Terkait Bullying dan Bunuh Diri PPDS, Muncul Fitnah Terkait Pemalakan PPDS

Ceknricek.com--Menteri kita yang satu ini terus saja berulah menebar hoaks dan fitnah lewat berbagai narasi terkait dokter, profesi dokter, dan terakhir juga tentang Pendidikan Profesi Dokter Spesialis (PPDS). Jejak digital narasi busuk sang menkes muncul di detikHealth, Minggu 29 Jan 2023, dengan menyalahkan IDI sebagai ‘biang kerok’ kurangnya produksi dokter, dan kegagalan distribusi dokter (Rapat Kerja BGS dengan Komisi IX DPR RI, Selasa 24 januari 2023), padahal semua itu adalah wajah buruk dari kegagalan tugas menkes untuk membuat perencanaan dan pemetaan terkait kebutuhan dokter di Indonesia. Pernyataan menkes bahwa pemerintah tidak memiliki kewenangan dalam mendistribusikan dokter adalah bohong/ hoaks/ fitnah. Berdasarkan UU No. 36/2014 tentang Nakes, pasal 13 dan 25, distribusi dokter berada di tangan pemerintah pusat dan Pemda, bukan IDI.

Narasi hoaks berikutnya, yang tidak pernah terbukti kebenarannya adalah tuduhan terkait ‘bisnis’ pengurusan STR dan SIP dokter yang bisa menghasilkan trillinan (Merdeka.com, 24 Maret 2023). Narasi yang juga muncul di media TikTok (@drtonysetiobudi) berjudul “Pemerasan terselubung di dunia kedokteran” jelas fitnah yang menyesatkan. Secara eksplisit BGS menuduh ada kepentingan OP (IDI) terkait biaya Rp 6 juta untuk satu STR, yang bila dikalikan 77 ribu jumlah dokter spesialis, menghasilkan 430 Miliar setiap tahun. Faktanya, pengurusan STR hanya berbiaya 300 ribu untuk lima tahun, yang dibayarkan kepada negara (bukan IDI) lewat KKI (sebuah institusi negara yang dilantik oleh Presiden). Jumlah uang sebesar 6 juta adalah akumulasi dari iuran keanggotaan organisasi profesi spesialis (IKABI, POGI, PAPDI, IDAI, dsb.) yang rata-rata besaran nya Rp 100 ribu setiap bulan (atau Rp 1,2 juta setahun, atau Rp 6 juta setiap 5 tahun).

Semua tuduhan di atas adalah fitnah keji yang ditujukan untuk merusak marwah dan kepercayaan masyarakat kepada dokter Indonesia. Dokter Indonesia tidak mungkin mengkhianati para pendahulunya yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari perjuangan bangsa ini sejak masa Sumpah Pemuda 1908, perjuangan mempertahankan kemerdekaan, hingga saat menghadapi Pandemi Covid-19 dengan korban mati ribuan dokter dan nakes lain.

Fitnah Keji terkait Bunuh Diri sebagai sebab Kematian Dr Aulia Risma Lestari

Terkait dengan meninggalnya dr. Aulia Risma Lestari (ARL), peserta didik PPDS Anestesi FK Undip, pada tgl 13/8/2024, menkes langsung merespon cepat dengan Surat No. TK. 02.02/D/44137/2024, tg 14/8/2024 yang ditandatangani dan dibawa langsung oleh dirjen Yankes, tentang Pemberhentian Program  Anestesi Undip di RS Dr.Kariadi, sehubungan dengan dugaan terjadinya perundungan, yang menyebabkan terjadinya bunuh diri pada salah satu peserta didik PPDS.

Bunuh diri adalah sebuah kejadian kematian yang tidak wajar, dan Kepolisian adalah pihak yang paling bertanggung-jawab untuk melakukan penyelidikan dan dari fakta-fakta yang ada tentang sebab kematian dan keterkaitannya dengan peristiwa bullying. Sampai dengan hari Jum’at 16/8/2024 Kapolrestabes Semarang menyatakan tidak ada bukti terkait perundungan dalam kematian dr. ARL. (https://youtu.be/8vwS3bkVfvo?si=WWAEMhH8ociykbet), dan sebelumnya hari Kamis tgl 15/8/2024 dari pihak keluarga, melalui pengacaranya membantah bahwa kematian dr. Aulia disebabkan oleh bunuh diri (https://www.detik.com/jateng/berita/d-7494074/keluarga-bantah-mahasiswi-kedokteran-undip-tewas-bunuh-diri). Bahkan terakhir,  kepolisian menyatakan bahwa sebab kematian dr.Aulia adalah pemakaian obat anti nyeri/ pelemas otot dengan dosis berlebih (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20240817173502-20-1134313/polisi-sebut-over-dosis-obat-suntik-di-kematian-dokter-muda-ppds-undip).

Terkait kematian Dr. ARL ini, sejak hari pertama, menkes telah mengambil alih secara paksa tugas institusi Kepolisian dan Kejaksaan, dengan menyatakan kematian Dr ARL sebagai tindakan bunuh diri, dan tanpa dukungan fakta atau bukti sudah memastikan bunuh diri ini akibat perundungan. Akibat dari tuduhan tanpa bukti yang terlanjur tersebar secara liar dengan dukungan para buzzer, dibutuhkan Kambing Hitam yang harus ada untuk mendukung fitnah keji tersebut. Permintaan dirjen yankes yang memaksa harus adanya PPDS senior sebagai ‘pelaku bullying’ (yang faktanya memang tidak ditemukan oleh pihak penyidik), tentu saja ditolak oleh Dekan FK Undip.

Akibat dari penolakan tersebut, selain bertindak sebagai Polisi dan Jaksa, menkes juga merangkap tugas sebagai Hakim yang memutus soal Benar atau Salah dan menjatuhkan Hukuman. Hukuman yang dijatuhkan, selain menghentikan kegiatan pembelajaran pada Prodi Spesialis Anestesi FK Undip di RS Kariadi, juga tindakan intimidasi berupa pemberhentian tanpa alasan (mulai Rabu 28/8/2024), aktivitas Dekan FK Undip selaku dokter pemberi layanan bidang Bedah Onkologi di RS Kariadi (menghentikan pelayanan medis spesialistik tanpa alasan).

RS Vertikal sebagai BUMN Kesehatan, Orang Sakit jadi Obyek Bisnis dan PPDS bagai Budak

Sebagaimana diketahui bersama, sebagai BUMN Kesehatan, semua RS Vertikal diwajibkan untuk meningkatkan revenue sebagaimana BUMN tambang dan Perbankan. RS Vertikal bukan sebagai kepanjangan tangan negara untuk memenuhi kewajiban konstitusional berupa kesehatan bagi rakyat, melainkan sebagai lembaga bisnis dengan orang sakit sebagai objek bisnisnya. Akibat dari kebijakan yang salah ini, RS Vertikal terus menambah jumlah layanan, dengan pengadaan banyak alat-alat canggih, tanpa memperhatikan penambahan jumlah dokter, nakes, dan SDM lainnya.

Karena sumber pendapatan RS terbesar adalah Kamar Bedah, maka demi meningkatkan revenue sesuai tuntutan menkes, terbitlah Surat Edaran Dirut RS Kariadi No. HK.02.03/1.1/ 7206/2021), tentang jam operasional Kamar Bedah selama 24 jam. RS Kariadi adalah RS Pendidikan bagi 1055 PPDS Undip. Sebagaimana di RS Vertikal lainnya, PPDS adalah tenaga kerja gratis alias budak, yang jam kerja dan beban kerja mudah dieksploitasi mengikuti aturan operasional RS.

Hal ini berimbas pada banyaknya tugas tambahan para budak PPDS yang semua berada di RS Vertikal hampir 24 jam setiap hari, merangkap sebagai portir pengantar pasien ke ruangan, sebagai petugas farmasi yang mengurusi obat bagi pasien, dan yang paling parah karena menyita waktu adalah sebagai petugas administrasi yang wajib melengkapi rekam medis data pasien, demi kepentingan RS Vertikal. Di Indonesia, saat ini ada sekitar 16.000 budak PPDS yang jadi bagian tak terpisahkan dalam operasional Industri Layanan Kesehatan di RS Vertikal.

Selain tidak digaji, para PPDS ini juga tidak menerima fasilitas/ tunjangan apapun untuk diri dan keluarganya, karena statusnya bukan pegawai RS. Meski demikian, mereka masih harus keluar uang untuk makan dan minum selama bekerja, bahkan makin diperas oleh RS dengan keharusan bayar parkir motor/ mobil karena memakai lahan RS Vertikal milik Kemenkes. Bisa dikatakan ini adalah eksploitasi dan perbudakan modern, atas nama Pendidikan dan Pelayanan Kesehatan, yang berpuluh tahun terjadi di RS Vertikal dan didiamkan oleh pemilik RS (baca: menkes). Borok yang tidak pantas  terjadi dalam masyarakat beradab inilah yang hendak ditutup-tutupi oleh si pemilik semua RS Vertikal demi bisa meneruskan karir Menteri di kabinet berikutnya.

Tuduhan tanpa bukti dan Fitnah yang semakin keji terkait Pemalakan 20- 40 juta/ bulan

Setelah gagal membuktikan kematian Dr. ARL sebagai Bunuh Diri akibat mengalami bullying, menkes semakin brutal dan membabi buta dengan tuduhan dan fitnah yang semakin keji (dan sekaligus juga menggelikan) tentang terjadinya pemalakan sebesar 40 juta/ bulan (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20240901154454-12-1139902/kemenkes-dokter-risma-ppds-undip-dipalak-senior-rp40-juta-per-bulan). Mari kita telaah secara seksama tuduhan ini, karena menkes ini punya tupoksi sampingan yaitu menuduh tanpa bukti alias memfitnah, contohnya tentang 430 M pertahun yang dihasilkan IDI dari bisnis pengurusan STR dan SIP (Merdeka.com., 24 Maret 2023).

Spesialis Anestesi bertugas mengelola tindakan bius dan mendampingi semua dokter yang melakukan pembedahan (Spesialis Bedah, Bedah Saraf, Bedah Tulang, Bedah Jantung, Bedah Onkologi, Bedah Digestif, Bedah Anak, Obstetri dan Ginekologi, Mata, dan THT). Di RS Kariadi, tersedia sebanyak 16 Kamar Bedah Terprogram, 2 Kamar Bedah Emergensi, dan 4 Kamar Bedah Day Surgery (operasi yang tanpa rawat inap), jadi total ada 22 Kamar Bedah dengan total 120-140 tindakan operasi setiap hari. Belum lagi tanggung-jawab mengawasi lebih dari 40 pasien ICU, menerima pasien UGD dengan kegawatan tinggi (Label Merah), pasien anak yang perlu foto MRI, serta pasien- pasien yang akan menjalani terapi Radiasi (Radioterapi).

Pekerjaan para dokter bedah dan anestesi di kamar bedah tidak mungkin ditentukan iramanya sebagaimana kerja seorang bankir dengan istirahat makan atau ‘ngopi’ jam 12.00-13.00 siang. Saat selesai operasi dan menunggu shift operasi berikutnya, dokter bedah sudah bisa pergi untuk menyelesaikan tugas lain di Poli Rawat Jalan misalnya, tapi para PPDS anestesi didampingi para mentor-nya harus bekerja keras untuk memulihkan kesadaran pasiennya sebelum dikirim ke Ruang Rawat Inap atau ke ICU. Setelah itu sudah ada shift operasi berikutnya oleh dokter bedah yang lain. Akibatnya, PPDS Anestesi sama sekali tidak punya waktu untuk meninggalkan pasien yang sedang diawasinya, di kamar bedah maupun di ruang pemulihan, sekedar untuk makan-pun susah, apalagi beristirahat, apalagi dengan operasional kamar bedah 24 jam.

Kebutuhan mereka di RS a.l. makan (m. siang dan m. malam) selama dipekerjakan di RS Vertikal (sedang RS tidak menanggung biaya makan minum mereka), kebutuhan lain dalam proses pembelajaran seperti berlangganan Jurnal Ilmiah, fotokopi artikel ilmiah, mengikuti kegiatan seminar ilmiah Anestesi, termasuk kegiatan rekreasi bersama, dan pemeliharaan kebersihan kamar jaga untuk 8-10 orang setiap hari. Untuk memenuhi dan mengelola kebutuhan terkait akomodasi mereka di RS, para PPDS ini bersepakat mengatur sendiri pengelolaan keuangan mereka secara bersama (untuk sebanyak 84 orang PPDS), dengan seorang penanggung jawab setiap angkatan. Mereka juga bersepakat bahwa biaya pemenuhan kebutuhan sebanyak 84 PPDS ini menjadi tanggung-jawab angkatan yang paling baru, untuk selama 1 Semester saja. Semester berikutnya akan ada peserta didik baru yang masuk sebanyak 10-14 orang yang akan mengambil alih tanggung-jawab itu, demikian seterusnya.

Kebetulan sekali Dr ARL adalah salah seorang penanggung jawab angkatan yang mengumpulkan uang dari angkatannya sebanyak 10 orang. Untuk biaya makan sebanyak 80-90 orang setiap hari saja,  jumlahnya bisa 1 juta atau 30 juta/ bulan.  Jadi Dr ARL, dan juga penanggung jawab angkatan yang lain, bertugas mengumpulkan uang sekitar 30-40 juta setiap bulan (dari semua anggota PPDS angkatannya) hanya selama SATU SEMESTER saja, untuk kemudian tugas ini digantikan oleh PPDS baru yang masuk semester berikutnya. Kalau kita mau memahami hal ini secara runut, kesepakatan ini cukup Fair, dan Egaliter, dan Adil, karena di saat ada anggota Angkatan yang secara finansial kurang mampu, maka itu menjadi tanggung-jawab bersama dalam kelompok, dan kewajiban ini pupus saat ada Angkatan baru yang masuk.

Hanya pikiran picik yang dipenuhi sikap prejudice dan waham curiga saja, apalagi seorang menkes yang seumur hidup tidak pernah merasakan Pendidikan Dokter, dan sama sekali tidak akan pernah mengerti hakikat Etika Profesi Kedokteran, yang dengan pikiran sesat (Logical Fallacy)-nya tiba-tiba menuduh ini sebagai bentuk Pemalakan, sungguh orang ini patut dikasihani.

#Zainal Muttaqin, Pengampu Pendidikan Dokter Spesialis, Guru Besar FK Universitas Diponegoro


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait