Gagalnya Program Kesehatan Dasar untuk Rakyat Akibat dari Stupid Leadership | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Istimewa

Gagalnya Program Kesehatan Dasar untuk Rakyat Akibat dari Stupid Leadership

Ceknricek.com--Pendidikan dokter dan dokter spesialis bertujuan menghasilkan manusia yang memiliki kompetensi berlandaskan pengetahuan kedokteran yang cukup (body of knowledge) serta memiliki landasan etika dan profesionalitas dalam mengaplikasikan ilmunya.

Untuk itu maka disusun sebuah standar pendidikan dokter dan standar pendidikan dokter spesialis setiap bidang ilmu. Semua standar pendidikan yang mencakup standar kompetensi, standar profesi, dan standar praktek profesi ini disusun secara mandiri (independen) oleh Kolegium Bidang Ilmu dan telah disahkan oleh Konsil Kedokteran dan diundangkan oleh Negara.

Yang dimaksud dengan Kompetensi bukanlah sekedar bisa melakukan atau bahkan berpengalaman melakukan suatu tindakan medik. Seumpama saya ajak tukang parkir RS untuk ikut membantu operasi perdarahan otak pasien kecelakaan lalu-lintas, tiga kali seminggu selama 6 bulan, tentu dia akan trampil dan bisa melakukan operasi itu sendiri.

Apakah ketrampilan melakukan operasi ini bisa disebut kompetensi? Bahkan bila dirjen yankes yang jelas seorang dokter diajak operasi pasang ring jantung tiga kali seminggu selama 6 bulan, tentu dijamin akan mahir melakukan tindakan tersebut. Tapi apakah ketrampilan itu layak disebut sebagai Kompetensi?

Di dalam setiap tindakan medik ada indikasi, kontra indikasi, potensi komplikasi, dan bagaimana mencegah serta mengatasi komplikasi tsb. Terkait dengan tindakan stenting (pasang ring jantung), maka semua pengetahuan tsb. merupakan ‘body of knowledge’ yang dimiliki hanya oleh Spesialis Jantung. Jadi hanya spesialis jantung sajalah yang bisa dan boleh belajar untuk kemudian dinyatakan kompeten pasang ring Jantung, demi terjaganya keselamatan pasien yang memerlukan pertolongan.

Tentu ini berbeda dan tidak bisa disamakan dengan kompetensi sebagai seorang bankir yang bisa dipelajari bahkan oleh orang yang tanpa punya dasar pengetahuan dan pendidikan ekonomi sekalipun. Program Kesehatan dipimpin orang yang cuma merasa bisa dan merasa kompeten Pantaslah bila berbagai persoalan pelayanan kesehatan di negeri ini bukannya makin baik tapi semakin amburadul, setidaknya dalam kurun waktu 5 tahun terakhir ini.

Semua ini terjadi karena dikelola oleh pimpinan yang hanya merasa tahu, merasa berpengalaman, dan merasa kompeten dalam menyelesaikan berbagai persoalan kesehatan dasar. Tanpa kompetensi yang benar dan memadai, maka setiap keputusan dan tindakan dalam mengatasi masalah yang timbul hanya berlandaskan pikiran sesat alis Logical Fallacy.

Yang paling memalukan adalah kegagalan menkes dalam memenuhi target-target layanan Kesehatan dasar sesuai RPJMN Kesehatan 2020-2024. (Kepala Bappenas, pada Raker dengan Komisi XI DPR, 5 Juni 2023). Hanya 1 dari 10 indikator kesehatan yang mencapai target yaitu berkurangnya dewasa obesitas, padahal di saat yang sama data BPS 2022 menyebut ada kenaikan 10,16% jumlah penduduk miskin dibandingkan data 2021.

Bisa jadi turunnya angka dewasa obesitas ini lebih dikarenakan bertambahnya dewasa yang kurus akibat kemiskinan. Yang paling mengkhawatirkan terkait dengan Indonesia Emas 2045 nanti adalah angka Balita Stunting yang masih tinggi (21,6% padahal targetnya 14%) dan Imunisasi Dasar lengkap pada bayi (hanya 63,17% padahal targetnya 90%).

Di tahun 2023, dengan anggaran yang begitu besar, menkes cuma bisa menurunkan angka stunting menjadi 21,5% (https://dinkes.papua.go.id). Jadi cuma turun sebesar 0,1%, sehingga perlu dipertanyakan kompetensi dan leadership-nya.Balita anak bangsa yang stunting dengan imunisasi dasar yang tidak lengkap ini pada tahun 2045 akan berusia 21-26 tahun, sehingga dikhawatirkan bukannya bonus demografi yang terjadi melainkan sebaliknya Bencana Demografi, betapa mengerikan nasib bangsa ini.

Ini baru 2 dari 9 kegagalan-kegagalan yang lain. Semua kegagalan sebagaimana contoh di atas tidak perlu terjadi andai saja menkes dan jajarannya mengikuti program yang sudah digariskan dalam Permenkes 13/2022 tentang Perencanaan Strategis (Renstra) sebagai pelaksanaan RPJMN Kesehatan 2020-2024.

Banyak kebijakan yang spontan dan bersifat reaktif, yang dibuat berdasarkan informasi yang tidak lengkap, tanpa pembahasan dengan stake holder dan pihak-pihak terdampak. Contoh nyata adalah kebijakan pengadaan alat Pasang Ring Jantung (Cathlab) untuk 514 RSUD Kabupaten/Kota. Dasarnya kematian akibat serangan jantung mencapai 250.000 per tahun, dan untuk mencegah kematian perlu segera dipasang ring jantung dalam waktu setidaknya 4 jam, jadi alat Cathlab harus tersedia di setiap RS Kabupaten/Kota.

Sebagai penentu kebijakan, logika berfikir menkes terlalu dangkal untuk sebuah persoalan yang komplek. Serangan Jantung dan Stroke adalah ujung paling hilir, akibat atau hasil akhir dari proses penyakit menahun (bukan tiba-tiba), yang disebabkan oleh Hipertensi dan Gula Darah Tinggi (DM).

Di banyak negara maju, angka kematian akibat serangan jantung dan stroke bisa diturunkan dengan pengelolaan Tensi dan Gula Darah yang baik di Fasilitas Kesehatan Primer (baca: Puskesmas). Bahkan pencegahan serangan jantung bisa dimulai dengan perubahan pola hidup dan pola konsumsi makanan yang bisa diajarkan oleh semua nakes, bahkan kader desa. Bagi yang sudah mengalami penyempitan pembuluh darah jantung atau otak, ancaman serangan jantung dan stroke masih bisa dicegah dengan pemakaian obat-obatan secara teratur.

Pemasangan ring jantung adalah pilihan pada penyempitan derajat berat yang mengancam pasokan darah ke otot jantung. Sebagaimana Rilis yang dibuat oleh Perhimpunan Spesialis penyakit dalam (PAPDI) bahwa pengobatan penyakit jantung sudah dikerjakan oleh 160 ribu dokter umum, 5400 Spesialis Penyakit Dalam, dan 1500 spesialis dan subspesialis Jantung sesuai dengan kompetensinya masing-masing.

Pengadaan alat canggih tanpa perencanaan terkait ketersediaan SDM dan utilisasi akibat dari pikiran sesat serta pemahaman yang picik dan dangkal seorang menkes, yang merasa tahu dan merasa kompeten, tanpa pernah membahas masalah ini secara kolaboratif dengan perhimpunan spesialis terkait, tiba-tiba datanglah 200 unit Cathlab (dan 180 unit lagi segera akan menyusul), untuk pelbagai RSUD yang bahkan spesialis Jantung nya pun belum ada.

Saat peresmian RSUD di Pulau Komodo NTT, 9 Mei 2023, Presiden Jokowi bahkan mengeluh, “RSUD itu sudah dibangun dan dilengkapi dengan berbagai peralatan medis yang menghabiskan dana lebih dari 220 M, tapi sayang dokter spesialisnya kurang, akhirnya pelayanan jadi tidak maksimal” (https://setkab.go.id).

Bahkan saat peresmian RS tersebut menkes meminjam seorang spesialis jantung baru lulus yang tentu saja belum punya kompetensi pasang ring jantung. Kondisi serupa terjadi di banyak daerah seperti di RSUD Sultan Sulaiman di Serdang Bedagi dan RSUD Tanjungpura di Kab. Langkat yang sudah diinstal sejak awal 2024 tapi hingga saat ini belum dipakai untuk pelayanan alias mangkrak.

Sedangkan alat Cathlab di RSUD Adyatma di Kota Semarang sudah lebih dari setahun diinstal tapi belum bisa dipakai untuk layanan pasien JKN/ BPJS, karena jumlah ketersediaan alat Cathlab di kota Semarang yang sudah melebihi kebutuhan untuk layanan pasien dengan pembiayaan BPJS.

Informasi dari Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI) menyebutkan bahwa sekitar April 2024 lalu, dirjen nakes pernah mengumpulkan para Dekan FK yang memiliki prodi spesialis dan meminta para Dekan untuk menugaskan para dokter residen atau PPDS tahun terakhir (Chief Residen) ke banyak RSUD yang sudah terlanjur menerima pelbagai alat canggih tapi belum punya spesialis terkait (agar jangan sampai jadi temuan KPK).

Tentu saja permintaan tsb. ditolak dengan alasan bahwa penugasan chief residen hanya bisa untuk 2 (dua) kepentingan, Pelayanan atau Pembelajaran. Bila untuk pelayanan maka PPDS tsb. harus sudah memiliki kompetensi terkait penggunaan alat tsb. (misal Cathlab), tapi bila untuk pembelajaran maka syaratnya di RS tempat penugasan tsb. harus ada Spesialis (yang punya kompetensi dan punya SIP di RS tsb.) sebagai pembimbing atau supervisor-nya.

Jelas terlihat dari pelbagai masalah di atas, problemnya adalah program pengadaan alat-alat canggih tanpa perencanaan yang matang, tanpa melibatkan stake holder utama, ditambah dengan keterbatasan pemahaman dan pengetahuan medis. Semuanya berujung pada terjadinya over simplifikasi masalah yang sebenarnya cukup kompleks, serangan jantung obatnya adalah pasang ring jantung dan beli 380 unit Cathlab, Stunting diatasi dengan pengadaan alat USG untuk 10.000 Puskesmas, dan deteksi dini kanker diselesaikan dengan pengadaan alat PET Scan di RS rujukan tersier (padahal deteksi dini harusnya di Faskes Primer).

Betapa kasihan negeri yang besar ini akibat hadirnya Stupid Leadership di kementerian kesehatan. Leadership yang tidak menyelesaikan masalah tapi menimbulkan masalah baru yang berpotensi jadi beban kerja tambahan bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menyelamatkan keuangan negara akibat dari mangkraknya banyak peralatan medis canggih di berbagai Faskes milik Negara (https://nasional.kompas.com/read/2024/06/13/16274981/temuan-kpk-di-indonesia-timur-fasyankes-mangkrak-nakes-tak-dibayar#google_vignette).

#Zainal Muttaqin, Pengampu Pendidikan Dokter Spesialis, Guru Besar FK Undip


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait