Geger Kasus Terawan, Dewan Guru Besar FKUI Dukung Penegakan Etika MKEK IDI | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Istimewa

Geger Kasus Terawan, Dewan Guru Besar FKUI Dukung Penegakan Etika MKEK IDI

Ceknricek.com--Dewan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) mengeluarkan himbauan untuk seluruh dokter di Indonesia. Dalam surat edaran yang mencantumkan 92 nama Guru Besar di FKUI, salah satu point penting yang ditekankan Dewan Guru Besar FKUI adalah mereka mendukung penegakan etika yang dilakukan oleh MKEK IDI.

"Dokter wajib menerapkan etika kedokteran dalam mengamalkan profesinya, sebagai bagian perlindungan kepada masyarakat pengguna jasa profesi kedokteran. Hal utama dalam penerapan etika kedokteran ini adalah melindungi hidup makhluk insani, yang didukung oleh penerapan evidence-based medicine (EBM) atau praktik kedokteran berbasis bukti,"bunyi surat himbauan tersebut.

Merujuk Pasal 6 Kode Etik Kedokteran Indonesia, dokter wajib senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan atau menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya; dan terhadap hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat.

Terkait dengan kewajiban setiap dokter untuk melakukan praktik kedokteran berbasis bukti atau evidence-based medicine (EBM), menurut surat edaran tersebut,bukti yang digunakan dalam praktik perlu didahului oleh beberapa tingkatan penelitian dan sejawat / peer review. Saat menerima informasi baik secara lisan ataupun tertulis terkait tata laksana masalah kesehatan, dokter tetap harus berpegang teguh pada prinsip praktik berbasis bukti / evidence-based practice (EBP).

Prinsip tersebut mengedepankan pentingnya pencarian bukti (evidence) secara sistematis dan telaah secara kritis, melalui suatu proses 5A, yakni membuat pertanyaan klinis (ask), mencari bukti ilmiah yang sahih (acquire), melakukan telaah kritis terhadap bukti ilmiah (appraise), menerapkan bukti kepada pasien (apply), dan menilai kemampuan diri dalam praktik berbasis bukti (assess).

"Suatu saran atau hasil penelitian harus ditelaah metodenya secara singkat atau mendalam sesuai konteks. Telaah kritis dilakukan untuk memastikan bahwa tata laksana yang akan diberikan kepada pasien sudah teruji melalui tahapan penelitian yang sahih tanpa adanya bias atau deviasi dari kebenaran,"tulis surat edaran tersebut.

Bias yang dimaksud termasuk melaporkan hasil penelitian secara selektif hanya pada manfaat suatu tata laksana namun meminimalisasi atau menghilangkan kemungkinan efek merugikan yang dapat diderita pasien; ataupun melakukan falsifikasi, fabrikasi terhadap data yang sesungguhnya dihasilkan sehingga merusak integritas data penelitian yang sahih yang amat sangat diperlukan dalam mencari jawab atas masalah kesehatan yang dituju.

Dewan Guru Besar FKUI juga menekankan, bila dokter dihadapkan pada keraguan atau ketidaktahuan tentang solusi suatu masalah pada pasien, maka dokter berhak menyatakan keraguan dan ketidaktahuannya kepada pasien. Hal ini dilakukan demi memastikan keamanan dan manfaat tata laksana yang diberikan kepada pasien.

"Pernyataan keraguan kepada pasien dilakukan secara sopan dan diikuti dengan pencarian solusi. Solusi tersebut dapat dilakukan dengan konsultasi kepada sejawat yang lebih ahli di bidang tersebut, atau dengan meminta waktu kepada pasien untuk memastikan lagi hal yang diragukan,"kata surat edaran tersebut.

Untuk memastikan hal tersebut, dokter sebaiknya membaca dari sumber informasi medis terpercaya, dan bukan sekedar testimoni pasien atau dokter lainnya yang belum dapat dipastikan kesahihannya. Berdasarkan piramida bukti EBM, pendapat ahli berada pada level pembuktian yang paling rendah.

Selain itu, Dewan Guru Besar FKUI juga menghimbau pada seluruh dokter di Indonesia, agar menggunakan prinsip primum non nocere atau first, do no harm dalam praktik klinik. Dokter perlu memastikan bahwa prosedur pelayanan yang dilakukan tidak membahayakan pasien atau orang lain di sekitarnya, serta manfaat pelayanan tersebut harus melebihi potensi membahayakan pasien yang mungkin terjadi.

Data terkait pertimbangan risiko dan manfaat suatu tata laksana dapat diperoleh dari artikel laporan penelitian yang sudah dipublikasi melalui tahap peer review dan telah melalui telaah kritis oleh masing-masing dokter.

Dokter juga harus menghormati hak autonomi pasien untuk memutuskan sendiri sebelum menjalani tindakan kedokteran, apalagi yang berpotensi menyebabkan kejadian yang tidak diharapkan (KTD). Penghormatan tersebut dilakukan dengan terlebih dahulu mendapatkan persetujuan tindakan kedokteran, dari pasien atau walinya yang sah, secara sukarela tanpa paksaan, setelah dokter memberikan penjelasan kepada pasien (informed consent).

"Pemberian informasi/penjelasan kepada pasien tersebut perlu dilakukan secara baik dan lengkap agar pasien benar benar paham akan manfaat dan risiko tindakan atau pengobatan yang akan dijalaninya,"tulis surat himbauan yang ditembuskan salah satunya pada Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI).


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait