Ceknricek.com--Sebagai kepanjangan tangan negara, tugas pokok Kemenkes adalah merealisasikan pasal 28 H ayat 1 UUD 1945 yaitu “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin…….serta berhak memperoleh layanan kesehatan”. Selanjutnya, pada pasal 34 ayat 3 dinyatakan “negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”. Sebagaimana tugas Kemendikbud-Ristek untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan, tugas kemenkes ini merupakan kewajiban konstitusi dan sekaligus hak dari rakyat yang harus dipenuhi atas biaya negara.
Selain itu negara juga telah meratifikasi deklarasi universal HAM, Pasal 25, bahwa setiap orang berhak atas taraf kehidupan yang memadai untuk kesehatan, kesejahteraan dirinya sendiri dan keluarganya. Dalam UU No. 39-2009 ditegaskan bahwa setiap orang punya hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan dan memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau.
Meski memiliki rekam jejak sebagai bankir yang pekerjaannya seolah menolong nasabah padahal berburu rente, tapi sebagai menkes seharusnya punya landasan moral berfikir yang mengutamakan kepentingan dan pemenuhan hak konstitusi rakyat banyak. Tapi yang terjadi malah sebaliknya, budaya pelayanan dan kepedulian tanpa membedakan pasien kaya atau miskin (bagian dari sumpah dokter), tengah dijungkir-balikkan oleh menkes atas nama transformasi kesehatan, menjadi budaya bisnis mencari untung dengan mengutamakan kelompok masyarakat yang mampu menjangkau layanan berbayar.
RS Vertikal (RSV) adalah badan layanan publik sebagai kepanjangan tangan negara dalam upaya pemenuhan hak-hak kesehatan rakyat banyak. Sebagai RS Rujukan milik publik, RSV seharusnya punya visi dan misi menyelesaikan semua persoalan kesehatan kuratif bagi semua warga miskin. Bukan malah sebaliknya, demi meningkatkan revenue bak Industri Perbankan atau BUMN Tambang, RSV didorong untuk meningkatkan keuntungan dengan mengembangkan dan menambah porsi layanan berbayar yang menyasar segolongan kecil masyarakat berpenghasilan menengah ke atas. Ini adalah bentuk privatisasi RS Publik secara terselubung, yang menjadikan layanan kesehatan sebagai objek bisnis, bukan sebagai hak dasar seluruh warga negara.
Mari kita telaah bersama satu persatu kebijakan menkes yang bukan cuma salah arah, tapi bisa dibilang tidak bermoral, bahkan merupakan kejahatan kemanusiaan dengan melanggar prinsip keadilan dalam layanan kesehatan, dan menjadikan orang sakit sebagai objek bisnis mencari cuan semata.
Tidak Bermoral: RSV dijadikan Lembaga Bisnis, dan orang sakit jadi Obyek Bisnis
RSV dengan semua sarana peralatan canggih yang dimiliki, adalah sebuah fasilitas layanan umum yang dibiayai oleh negara (baca: uang rakyat) guna memenuhi hak yang sama bagi setiap orang dalam hal akses atas sumberdaya di bidang kesehatan, dan dalam memperoleh layanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau seperti tertulis pada UU No. 39-2009. Setiap warga negara tanpa memandang tingkat sosial dan kemampuan finansialnya memiliki hak yang sama untuk mengakses layanan kesehatan yang tersedia di RSV.
Sebaliknya, RSV tidak tidak boleh membedakan standar layanan medis bagi seluruh warga masyarakat, kaya atau miskin. Kelas rawat Inap tidak termasuk dalam layanan medis, tapi tindakan pengobatan, lamanya waktu menunggu panggilan rawat inap, dan kompetensi dokter yang memberikan layanan adalah bagian dari layanan medis.
Berdasarkan atas instruksi Direktur Tata Kelola yankes, kepada seluruh dirut RSV, tentu saja atas arahan sang Juragan (baca: menkes), lahirlah surat No. TK.04.01/D.IV/795/2024. Surat ini merupakan pedoman dalam menilai produktivitas dokter spesialis -yang sepenuhnya diukur berdasarkan asas Fee for Service- dan Utilisasi Alat Kesehatan canggih. Ini menjadikan RSV sama persis dan tidak ada bedanya dengan kebanyakan RS Swasta yang memang punya misi bisnis mencari untung.
Jadi RSV telah diubah menjadi alat bisnis layanan kesehatan oleh pemerintah kepada rakyatnya, dengan orang sakit sebagai objek bisnisnya. Ini adalah bentuk nyata disorientasi dan distorsi peran dan fungsi RSV yang tidak lagi menjadi kepanjangan tangan negara guna memenuhi hak-hak kesehatan rakyat. Akibat disorientasi dan distorsi ini adalah semakin tidak terjangkaunya layanan kesehatan spesialistik yang berkualitas bagi rakyat miskin (waktu tunggu untuk bisa masuk rawat inap dan menjalani pengobatan bagi pasien JKN kelas 3 bisa mencapai 15 bulan).
Kinerja dokter spesialis diukur dari seberapa banyak dokter tersebut merawat pasien Umum/ VIP/ VVIP, serta seberapa banyak si dokter menggunakan pemeriksaan dan tindakan yang memanfaatkan alat-alat canggih yang tersedia di RSV. Penghasilan dokter spesialis akan lebih besar bila jam kerja dan keahliannya lebih banyak diperuntukkan memberikan layanan bagi pasien umum/VIP/VVIP. Semua ini jelas merupakan moral hazard yang berbahaya dan merusak etika profesi dokter.
BPJS dan UHC adalah Tanggung Jawab Negara, Bukan Objek Bisnis Asuransi Swasta
Baru-baru ini ada pernyataan yang seharusnya ‘tidak pantas’ diucapkan oleh seorang menkes, di media Kumparan 16 Januari 2025, bahwa BPJS tak mampu meng-cover seluruh jenis penyakit, untuk itu menkes menghimbau agar masyarakat dapat memiliki asuransi lain selain BPJS kesehatan (kumparan.com https://search.app/G3gQXomYH59o6xLw9). Lebih lanjut, menkes menyatakan “Saat ini kemenkes tengah menggodok skema yang dapat melibatkan asuransi swasta untuk dapat menanggung pengobatan yang tidak termasuk dalam BPJS, jadi nanti kalau kena penyakit yang enggak di-cover oleh BPJS, yang puluhan juta sisanya bisa di-cover oleh asuransi swastanya”.
Menkes adalah pejabat publik yang menjadi kepanjangan tangan negara dalam memenuhi hak kesehatan rakyat di seantero negeri. Siapapun dengan jabatan menkes, seharusnya bicara atas nama negara untuk kepentingan mayoritas rakyat pemilik negeri ini. Permintaan sang Juragan agar rakyat memiliki asuransi lain selain BPJS-Kesehatan, patut untuk dipertanyakan itu beneran atau cuma sebuah mimpi/ halusinasi? Mengingat fakta bahwa 70% peserta BPJS atau 194,53 juta orang ada di kelas 3, termasuk 96,8 juta rakyat miskin yang iurannya dibayar negara atau PBI (https://nasional.kontan.co.id). Apalagi data per 30 Oktober 2024, tercatat sebanyak 56,8 juta peserta menunggak (baca: tidak mampu) bayar iuran alias BPJS-nya Tidak Aktif. (https://finansial.bisnis.com).
Jadi patut dipertanyakan kepada sang Juragan ini, rakyat yang mana lagi yang disarankan untuk jadi nasabah Asuransi Swasta, atau lebih tepatnya rakyat mana yang punya sisa uang untuk bayar Asuransi Swasta, tentu bukan ke 194,53 juta peserta BPJS kelas 3, apalagi mereka yang iuran BPJS nya saja tidak mampu bayar. Artinya, pernyataan dan anjuran agar rakyat jadi nasabah Asuransi Swasta tersebut Tidak Pantas keluar dari mulut Pejabat Publik yang mewakili negara ini. Karena pernyataan seperti itu hanya bisa keluar dari mulut seorang pengecut yang lari dari tanggung-jawab dan kewajibannya.
Kejahatan Kemanusiaaan: Pembiayaan Kesehatan Rakyat dijadikan Obyek Bisnis
Universal Health Coverage (UHC) memastikan adanya kesetaraan dalam mengakses layanan kesehatan yang adil, komprehensif, dan bermutu bagi semua orang, tidak hanya terbatas bagi mereka yang dapat membayar layanan tersebut. Program JKN guna mewujudkan UHC diadopsi dalam RPJMN 2020-2024 dengan capaian 98% pada akhir tahun 2024.
Dalam pernyataannya, (kumparan.com https://search.app/G3gQXomYH59o6xLw9) disebutkan: “Saat ini kemenkes tengah menggodok skema yang dapat melibatkan asuransi swasta untuk dapat menanggung pengobatan yang tidak termasuk dalam BPJS, jadi nanti kalau kena penyakit yang enggak di-cover oleh BPJS, yang puluhan juta sisanya bisa di-cover oleh asuransi swastanya”. Jelas terlihat adanya upaya menkes untuk mengalihkan peran dan tanggung-jawab BPJS, sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak Asuransi Swasta.
Tentu saja, layanan kesehatan bagi rakyat negeri berpenduduk 280 juta ini, merupakan objek bisnis yang ‘sangat menggiurkan’ bagi perusahaan asuransi manapun karena potensi jumlah nasabah yang bisa mencapai puluhan sampai ratusan juta orang. Dengan kata lain setelah berhasil melakukan transformasi menjadikan RSV sebagai Lembaga Bisnis mencari cuan, transformasi berikutnya adalah menjadikan tanggung-jawab Pembiayaan Layanan Kesehatan Rakyat Miskin sebagai komoditas bisnis.
RSV adalah RS Publik yang dibiayai oleh negara untuk mengutamakan Pelayanan Publik, artinya mengutamakan kelompok masyarakat miskin yang tidak mampu menjangkau pelayanan kesehatan berbayar di RS Swasta. Surat No. TK.04.01/D.IV/795/2024, merupakan sebuah ‘Moral Hazard’ yang disengaja oleh sang Juragan agar para spesialis mengutamakan pelayanan bagi pasien Umum/ VIP/VVIP yang menghasilkan Cash, tentu saja dengan mengurangi waktu pelayanan dan ketersediaan ruang perawatan dan ruang tindakan (Kamar bedah) bagi pasien miskin. Bukti nyata tentang hal ini terlihat dalam SE No. HK.02.03/D.X/9719/2024 tentang Ketentuan Operasional Instalasi Bedah Sentral, oleh Dirut sebuah RSV (sebagai contoh).
Dalam SE tersebut Pelayanan Kamar Bedah untuk pasien Umum/ Non JKN dibuka Senin s/d Minggu, sedangkan untuk Pasien JKN (baca: Rakyat Miskin) hanya Senin s/d Jum’at. Padahal daftar antrian untuk rawat inap (untuk Tindakan Operasi) di RSV tersebut 99,98% adalah pasien JKN, sedangkan pasien umum/non-JKN hanya 0,02%. Jumlah antrian rawat inap yang lebih dari 2000 orang, dan yang terlama menanti sejak September 2023 ini, adalah fakta yang hampir pasti bukan hanya terjadi di satu RSV. Bila tata kelola tindakan/ pengobatan untuk rakyat miskin yang sakit saja masih belum manusiawi (mesti menunggu antrian lebih dari lima belas bulan), jelas ada yang salah dalam kebijakan kesehatan sang Juragan.
Siapapun bisa melihat berjubelnya Poli Rawat Jalan khusus JKN di semua RSV, berbeda bak bumi dan langit dengan Poli berbayar bagi pasien Eksekutif/ Non-JKN. Jelas terlihat adanya ketidaksetaraan dan ketidakadilan di semua RSV terkait kenyamanan dan kecepatan pelayanan bagi rakyat miskin peserta JKN. Selama persoalan ini belum terselesaikan, jelas tidak layak bagi sang juragan untuk menawarkan pemeriksaan kesehatan gratis bagi orang sehat. Bisa jadi tawaran pemeriksaan kesehatan gratis bagi rakyat yang berulang tahun adalah suatu bentuk pencitraan guna menutupi banyak sekali kegagalan dalam pemenuhan tupoksi utamanya.
Seharusnya, menkes bertanggung jawab menyelesaikan banyak persoalan ketidakadilan dan ketidaksetaraan pelayanan kesehatan rujukan bagi masyarakat kurang mampu (baca: hampir 200 juta peserta BPJS kelas 3) di RSV. Alih-alih memenuhi tanggung jawabnya, sang Juragan malah menghindar dari tanggung jawabnya dalam pembiayaan UHC dan menjadikannya sebagai objek bisnis mencari cuan. Benar-benar sebuah Kejahatan Kemanusiaan yang sempurna dan bertentangan dengan isi Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945.
Terakhir, pernyataan Jubir Kemenkes, drg. Widyawati, MKM di medsos dalam minggu ini, seolah komersialisasi RSV dimaksudkan untuk subsidi silang layanan pasien JKN yang merugi, adalah sebuah kebohongan publik yang kasat mata. Karena jelas tidak mungkin RSV dengan jumlah bed yang sudah ‘fixed’, dan dokter spesialis di RSV dengan jam kerja yang juga sudah ‘fixed’, untuk menambah layanan berbayar dari pasien Umum non-JKN tanpa mengurangi porsi jam layanan dan tempat tidur untuk pasien JKN. Semakin panjangnya antrian rawat inap bagi pasien JKN, terbitnya Surat No. TK.04.01/D.IV/795/2024, dan SE No. HK.02.03/D.X/9719/2024, serta Pemberian Penghargaan dari kemenkes kepada RSV yang bisa meningkatkan pendapatan lebih dari 20% year-on-year, semuanya adalah bukti nyata dari kebohongan publik tersebut. Bagi Negara, tidak boleh ada kata ‘merugi’ dalam pemenuhan kewajiban konstitusi memberikan layanan kesehatan bagi seluruh warga negara. EDIT
#Zainal Muttaqin, Praktisi Medis dan Pengampu Pendidikan Dokter
Editor: Ariful Hakim