Ceknricek.com -- Ia adalah salah satu ilmuan Islam yang mampu menyatukan pemahaman teologi, filsafat dan tasawuf secara mendalam. Ia juga dikenal sebagai pengarang beberapa kitab yang meliputi bidang teologi, ushul fikih, filsafat, dan tasawuf, yang hingga hari ini diapresiasi secara luas oleh berbagai kalangan keagamaan.
Dia adalah Imam Al-Ghazali atau sang Hujjatul Islam yang berpengaruh besar dan luas pada masa kekhalifahan Abasiyah karena mempunyai daya ingat yang kuat dan bijak dalam berhujjah. Bahkan, karena popularitas namanya, di Indonesia, tak sedikit orang tua yang menamai putranya dengan nama ilmuwan tersebut.

Imam Ghazali. Sumber: Tongkrongan Islami
Ihya Ulumuddin
Al-Ghazali dilahirkan di kota kecil yang jauh dari ibu kota, tepatnya di Ghazaleh, Thus, Khurasan, Iran pada tahun 1059 M. Ayahnya seorang pemintal benang wol. Masa kecilnya penuh dengan kesederhanaan, akan tetapi dia mendapatkan pendidikan moral yang baik dari orang tuanya.
Sejak kecil, al-Ghazali sudah menggemari ilmu pengetahuan. Dia melakukan perjalanan jauh hanya untuk mendapatkan bimbingan dari banyak guru. Dia mempelajari Fiqih, Tasawuf, Filsafat, dan berbagai ilmu lainnya. Hanya, yang paling menonjol dari pribadinya adalah ilmu Tasawuf dan Filsafat.
Pendidikan awalnya yang ditempuh setelah kematian ayahanya, dilakukan di salah seorang sufi yang memiliki arah kosmopolitan dibandingkan arah pendidikan nasioanal bangsanya pada waktu itu.
Sebagai seorang filsuf, Al-Ghazali tergolong sebagai salah satu ilmuwan muslim yang produktif dalam menuliskan ide-idenya. Menurut sebuah sumber, ada sekitar 300 buku yang sudah ditulisnya, beberapa yang populer yaitu: Fatihatul Ulum, Ayyuhal Walad, Ihya’ ‘Ulumuddin, Mizanul Amal, al-Risalah al-Laduniyyah, Miskat al-Anwar, Tahafut al-Falasifah, dan Mi’yar al-‘Ilm, dan Minhajul Abidin.

Ihya lumuddin. Sumber: British Library
Namun, dua karya bukunya yang paling terkenal, yaitu Ihya’ ‘Ulumuddin dan Tahafut al-Falasifah banyak dipelajari umat Islam hingga hari ini. Di berbagai lembaga pendidikan Islam, seperti pesantren dan madrasah, dua kitab ini masuk dalam daftar rujukan bahan bacaan para siswa/santri. Ihya’ ‘Ulumuddin adalah buku tasawuf, sementara Tahafut al-Falasifah adalah karya hasil pemikiran filsafatnya.
Ihya Ulumuddin ditulis oleh al-Ghazali sekitar tahun 500 H (1100 M). Kitab ini menjelaskan tentang kaidah dan prinsip penyucian jiwa, sifat takwa, zuhud, cinta, menjaga hati, dan ikhlas dalam beragama. Lebih dari itu, buku ini juga mengulas berbagai kewajiban umat Islam, misalnya, menuntut ilmu, mendidik dengan cara Islam, menjaga kebersihan, salat, akhlak dan adab berprilaku, dzikir dan doa, persaudaraan, obat hati, ketenangan jiwa, bahaya lisan, taubat, menjauhi sifat sombong, cinta rasul, dan lainnya.
Pesan-pesan yang terkandung dalam Ihya Ulumuddin seringkali dijadikan rujukan para sarjana sebagai pendekatan pendidikan moral anak. Mengenai hal ini, Al-Ghazali membagi pengembangan pendidikan nilai moral menjadi dua. Pertama, bersungguh-sungguh dalam membiasakan diri mempraktikkan perbuatan baik sejak dini. Kedua, senantiasa memuji kepada Allah SWT dan dilakukan secara berulang-ulang.

AlGhazali-Ihya. Sumber: ibtbooks
Dia menambahkan, bahwa pemahaman mengenai moral Islam dapat dilakukan melalui pendekatan formal dan informal. Pendidikan informal dapat diberikan kepada anak ketika berkumpul dengan keluarga di rumah melalui pemberian cerita-cerita sejarah dan keteladanan orangtua. “Melalui pendekatan ini, anak akan berlatih dan meniru perilaku orang tua secara berkelanjutan, dan orangtua bisa memonitor perkembangan perilaku anak,” tulis al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulumuddin cetakan versi Dar al-Taqwa, Kairo (2000), dikutip dari Masturhah Ismail dkk, dalam Educational Strategies to Develop Discipline among Students (Procedia, 2013).
Sementara Tahafut al-Falasifah berisi tentang gagasan filsafat yang menyebut kerancuan pemikiran sejumlah filosof sebelumnya. Dia menolak metafisika Aristoles yang dipahami oleh al-Farabi dan Ibn Sina. Bahkan, dia merangkum kerancuan-kerancuan tersebut menjadi 20 poin penting. Dengan sangat keras, al-Ghazali menyebut kerancuan pikiran para filosof yang hidup sekitar satu abad sebelumnya itu dapat mengantarkan umat Islam pada jalan kebohongan, kesesatan, kemurtadan, dan bid’ah.
Sebagai seorang muslim, keteguhan al-Ghazali dalam menuntut ilmu patut diteladani. Meski dia hidup di tengah-tengah abad “perang ideologi, aliran, dan faham keagamaan”, namun pemikirannya tetap tidak terseret pada kesesatan berfikir.
Memilih Hidup Zuhud
Al-Ghazali hidup ketika pemikiran Islam berada pada tingkat perkembangan yang paling tinggi. Berbagai pemikiran keagamaan itu tidak hanya berhenti sebagai olah budi individual, tetapi berkembang menjadi banyak aliran dengan metode dan sistemnya masing-masing. Tingkat perkembangan, menurut Muhammad Yasir Nasution (1988) ini memperlihatkan wujudnya dalam tingkat keragaman yang tinggi.

Imam Ghazali. Sumber: The Pen Magazine
Kedudukan dan ketinggian jabatan sebagai naib kanselor di madrasah nizhamiyah tidak membuat Al-Ghazali congkak dan cinta terhadap dunia. Bahkan dalam jiwanya berkecamuk polemik (perang batin) yang membuatnya senang menekuni ilmu-ilmu kezuhudan. Ia bahkan menolak jabatan tinggi dan kembali kepada ibadah, ikhlas dan perbaikan jiwa. Dalam sebuah riwayat, pada bulan Dzul Qai’dah tahun 488 H, ia pun pergi berhaji dan mengangkat saudaranya yang bernama Ahmad sebagai penggantinya.
Pada tahun 489 H, ia masuk ke kota Damaskus dan tinggal beberapa hari. Kemudian menziarahi Baitul Maqdis beberapa lama, dan kembali ke Damaskus untuk beri’tikaf di menara barat masjid Jami’ Damaskus. Selama di sana, ia banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang sekarang dinamai Al Ghazaliyah).

AlGhazali. Sumber: Islamic Economic Knowledge
Dikutip dari Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala, Ibnu Asakir pernah berkata, “Abu Hamid rahimahullah berhaji dan tinggal di Syam sekitar 10 tahun. Beliau menulis, bermujahadah dan tinggal di menara barat masjid Jami’ Al Umawi. Mendengarkan kitab Shahih Bukhari dari Abu Sahl Muhammad bin Ubaidilah Al Hafshi.” Setelah beberapa tahun mengajar di Nizhamiyah, Al-Ghazali pun pulang ke negerinya dan menekuni ilmu serta menjaga waktunya untuk beribadah. Selain itu, ia juga mendirikan satu madrasah di samping rumahnya dan asrama untuk orang-orang shufi.
Akhir Hayat
Selama hidupnya, Al-Ghazali menghabiskan sisa waktunya dengan mengkhatam Alquran, berkumpul dengan ahli ibadah, mengajar para penuntut ilmu, melakukan shalat dan puasa serta ibadah lainnya sampai meninggal dunia.

Sumber: nu.or.id
Dalam sebuah riwayat, berkata Imam Adz Dzahabi, “Pada akhir kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain. Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri.”
Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya Al-Ghazali dalam kitab Ats Tsabat Indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya); Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan saya.” Lalu beliau mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, dan berkata, “Saya patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut.” Kemudian beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit menguning (menjelang pagi hari).
T.J De Boer, dalam buku Sejarah Filsafat dalam Islam, menuliskan Al-Ghazali wafat ketika tengah meninjau ulang kecenderungan-kecenderungan spiritual pada zamannya. Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34. Al-ghazali wafat di kota Thus, pada hari Senin tanggal 14 Jumada Akhir tahun 505 H dan dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran (Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/201).