Jalan Pedang | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: pemprovjabar.go.id

Jalan Pedang

Ceknricek.com -- "Bro, gajinya ga usah segitu. Gua juga jangan dikasih mobil dinas dulu. Belum tentu gua mampu." 

"Gak apa. Itu memang fasilitas standar di sini. Untuk jabatan dan tanggung jawab seperti yang diberikan kepada lu." 

"Gua kan selama ini kerja sendiri. Pernah ngantor pun di perusahaan kecil. Ntar gak enak sama yang lain. Apalagi gua belum pernah kerjakan tugas seperti yang lu berikan." 

"Ga usah khawatir. Kan gua yang melihat bahwa lu mampu. Juga yang mengajak lu gabung di sini. Gua akan bertanggung jawab atas asumsi dan keyakinan itu. Termasuk mengarahkan lu untuk mengerjakan hal-hal yang dibutuhkan perusahaan ini .“ 

Hal yang dia tak tahu, saya gunakan hak 'diskresi' kepada direksi dan pimpinan HRD. Untuk bersedia menyediakan fasilitas dan kompensasi yang ditawarkan. Dengan pertaruhan wewenang jabatan yang sedang saya sandang di kantor itu.

Kemudian hari, dialah satu-satunya yang paling handal mengelola berbagai kegiatan besar di kantor kami. Bukan hanya dalam arti anggaran. Tapi juga dalam pertaruhan citra dan kredibilitas perusahaan.  

Delapan tahun lalu, orang hebat dan besar itu, telah mendahului kami semua menghadap sang Khalik. Insya Allah dia kini beristirahat dengan penuh kedamaian di tempat yang terbaik.

Hal yang tersaji di atas tadi itu kejadian langka. 

Umumnya saya bertemu dengan calon karyawan yang mendahulukan benefit yang diperoleh. Meskipun posisinya sebagai pelamar. Apalagi jika diundang atau dibujuk bergabung. 

Jika demikian, saya justru menyukainya. Karena mereka yang heboh dengan urusan kompensasi dan benefit itu, paham tentang kemampuan dan 'nilai' dirinya. 

Tapi sayang, jarang yang berkinerja sepadan. Promosi dan kesan yang dibangunnya kadang tak didasari tekad yang kuat untuk mempertahankan dan membuktikannya. Sementara -- terhadap calon-calon demikian -- saya sesungguhnya telah berada pada posisi yang lebih leluasa. 

Jika keinginannya sudah diakomodasi, berikutnya tentu giliran saya yang menuntut pembuktian atas promosi dan kesan yang dibangunnya, bukan? 

Seringkali, gertakan mereka hanya omong kosong belaka. Karena pada umumnya salah menafsir kemampuan diri. 

Pertama, sebetulnya yang bersangkutan tak sungguh-sungguh meyakini keistimewaan diri sendiri. Tuntutan yang disampaikan lebih sebagai langkah pengamanan. Karena dia ragu terhadap kinerja yang bakal ditunjukkan di kemudian hari. Tapi yang penting, kompensasi dan fasilitas yang diminta telah dikuasainya. 

Sedangkan yang kedua, mereka mengira kemampuannya sangat istimewa. Umumnya karena pengetahuan dan pengalaman yang ada, masih terbatas. Sehingga tak menyadari di atas langit, masih ada langit yang lain.

Bagi saya, menghadapi yang pertama lebih asyik dibanding yang kedua. Kalau yang terakhir, cukup digiring pada hal yang belum diketahuinya. Tapi menjadi bagian sehari-hari dari profesi yang dia bakal lakoni. Biasanya, dalam beberapa langkah, watak aslinya akan terkuak. 

Mengapa yang pertama lebih asyik? 

Sebab, sedikit banyak, dibaliknya ada ketidak jujuran yang disengaja. Bukankah ketidak yakinannya terhadap keistimewaan yang dipromosikan atau dicitrakan sendiri, tak sungguh-sungguh dia yakini?  Tak hanya itu. Sedikit banyak juga, terselip niat busuknya. Jika yang bersangkutan berfikir mendahulukan penyelamatan kompensasi dan fasilitas yang dituntutnya. 

Fenomena tersebut berlangsung hampir sepanjang karir yang saya geluti. Mulai dari saat bekerja pada level supervisor hingga pucuk pimpinan. Pilihan yang tersedia hanya dua. Konsisten dengan tata nilai yang diyakini. Atau melentur sesuai dengan 'perkembangan zaman'.

Hingga hari ini, saya tetap memilih yang pertama. Walaupun tak mudah. Sebab, lingkungan terdekat di sekitar saya sendiri pun, banyak yang tak sabar. Lalu memilih jalan 'mengkompromikan' keyakinannya. Dengan 'tuntutan' yang ada di lapangan. 

Teman saya yang kini tinggal di Eropa, menyebutnya sebagai 'jalan pedang'. Saya mencoba memahami maksudnya dengan mengingat-ingat kisah Musashi. Mungkin seperti titian rambut dibelah tujuh. Shirat al- Mustaqim. Jalan lurus. 

Hari ini, memang semakin tak mudah. Sebab kegelisahan masing-masing kita, secara individu, berkembang semakin liar. Bahkan dalam lingkaran hidup terdekat sekalipun. Karena di tengah capaian kemajuan yang mestinya semakin mempererat hubungan sosial manusia, ancaman terhadap keberlangsungan hidup sehari-hari justru semakin nyata. Gara-gara nilai keekonomisan yang sudah merambah kemana-mana. Bahkan dalam arti harafiah.

Baca juga: Melacak Jejak MacArthur di Padaidi



Berita Terkait