Ceknricek.com--Konon pernah ada kalanya ketika seorang duta besar dijuluki sebagai seorang wakil sebuah negara yang bijak berdusta demi negaranya.
Namun kini, seorang duta besar punya gelar yang sangat gegap gempita, yaitu “Luar Biasa dan Berkuasa Penuh” – Extraordinary and Plenipotentiary.
Dan menyandang kekebalan diplomatik.
Di antara sesama negara-negara Persemakmuran Inggris, seseorang yang ditugasi sebagai wakil negaranya di negara lain, disebut Komisaris Tinggi, yang pada hakikatnya tidak lebih dan tidak kurang adalah seorang Duta Besar, seperti Navdeep Suri Singh.
Dari namanya sudah menjadi jelas bahwa Navdeep Suri Singh adalah Komisaris Tinggi alias Duta Besar India di Australia. Akan halnya Navdeep Suri Sing kini memang menyandang gelar “mantan” Komisaris Tinggi/Duta Besar India untuk Australia.
Meski sudah tidak lagi menjabat sebagai wakil negaranya di Australia, namun Yang Mulia Navdeep Suri Singh ternyata tidak semudah itu meninggalkan jabatan terhormatnya itu dengan melenggang kangkung.
Ternyata Navdeep Suri Singh ketika masih memangku jabatan terhormatnya itu di Australia suka berlaku zalim terhadap pembantu rumah tangganya (PRT) Seema Shergill yang dalam tahun 2015 khusus didatangkan dari India, sewaktu Singh masih menjabat sebagai Duta Besar, untuk mengurus rumah tangganya.
Waktu itu, Seema Shergil hanya dibayar upah sebesar sekitar seratus rupiah satu jam, hampir separuh dari upah minimum yang telah ditetapkan secara resmi di Australia waktu itu.
Hakim Pengadilan Federal Australia, Elizabeth Raper, dalam putusannya mencerminkan kemarahan yang bukan alang kepalang terhadap sang mantan Dubes.
Palu diketuknya – “denda hampir dua-setengah milyar rupiah” yang wajib dibayarkan mantan Dubes India tersebut kepada mantan sang pembantunya yang juga berasal dari India.
Sang mantan Dubes dinyatakan telah melanggar Akta Kepatutan Dalam Pekerjaan yang berlaku di Australia.
Dalam Undang-Undang yang berlaku di Australia seseorang majikan yang membayar upah karyawannya di bawah batas ketentuan minimum dituduh melakukan “pencurian upah”. Dalam kata “pencurian” itu kental sekali unsur pidananya.
Ketika tiba di Australia untuk memulai tugas sebagai PRT di kediaman resmi sang Dubes, Seema Shergill “disimpan” paspornya oleh sang majikan, dan menurut Hakim Elizabeth Raper, Seema harus bekerja 7 hari seminggu, laksana seorang budak.
Menurut Hakim Elizabeth Raper, hukuman berat yang dijatuhkannya itu juga dimaksudkan sebagai bentuk pencegahan dan pelajaran mahal bagi para majikan diplomatik lainnya yang bertugas di Australia.
Dikatakan Ibu Hakim Elizabeth, Seema tidak pernah diizinkan untuk cuti, dan diperbolehkan keluar rumah hanya untuk sebentar, yakni membawa anjing milik Pak Dubes untuk jalan-jalan.
Upah tidak seberapa (menurut ukuran dan takaran di Australia) itu didepositokan ke rekening bank di India yang dibuka oleh sang Dubes, yang tidak dapat diakses oleh Seema.
Juga dikemukakan oleh Hakim Elizabeth Rapper sang Dubes serta isterinya menekan Seema agar menandatangani pernyataan bahwa dia memperoleh upah sepantasnya, dan bahwa kalau ia menolak makai akan dipulangkan ke India.
Sang PRT Seema begitu takutnya akan dipulangkan ke India hingga ia melarikan diri tanpa membawa sesuatu apa dari miliknya dan tidur di pinggir jalan.
Menurut Hakim Elizabeth Rapper di Australia pada hakikatnya banyak kasus sejenis seperti yang pernah ditanggungkan Seema, tanpa diketahui atau terlacak oleh masyarakat. “Mereka ini laksana budak," kata Hakim Elizabeth Raper.
“Maklum, mereka tidak mampu berbahasa Inggris, mereka terasing dari masyarakat umum.”
Apakah Hakim Elizabeth Raper Melampaui Batas Kewenangannya?
Meski ketegasan Hakim Elizabeth Raper itu mendapat acungan jempol dari banyak kalangan, namun ada pengamat yang menilai bahwa Sang Ibu Hakim telah melampaui batas kewenangannya.
Sebabnya, menurut Konvensi Wina yang mengatur hal-hal yang bertalian dengan kekebalan diplomatik seorang Duta Besar/Komisaris Tinggi serta para diplomat lainnya, tidak dapat diperkarakan.
Paling banter adalah apabila pemerintah setempat menyatakan seseorang diplomat telah melakukan perbuatan tidak terpuji, maka ia dinyatakan sebagai “persona non grata” – alias orang yang tidak disukai atau tidak dapat diterima, dan harus sesegera mungkin meninggalkan negara tempat ia ditugaskan oleh pemerintahnya.
Namun ada pula yang mengemukakan pandangan bahwa Hakim Elizabeth Raper mengadili kasus mantan Duta Besar India itu “setelah dia kembali ke India hingga tidak lagi mempunyai kekebalan diplomatik.”
Baik kita tunggu perkembangan selanjutnya.
Editor: Ariful Hakim