Kucing Kucingan Angka Persediaan Padi Nasional: Salah Satu Kunci Penghambat Kesejahteraan Petani Padi | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Foto: Istimewa

Kucing Kucingan Angka Persediaan Padi Nasional: Salah Satu Kunci Penghambat Kesejahteraan Petani Padi

Pekerjaan Rumah Pemerintahan Baru

Ceknricek.com--Suatu pagi buta Ibu saya berbisik dengan Bahasa Sunda. “Awas ulah ninggalkeun imah lamun euweuh beas (awas jangan meninggalkan rumah kalau tempat beras kosong).” Sebagai anaknya saya tahu peringatan ini sangat serius. Bahkan peringatan sangat keras. Artinya Ibu saya menghendaki di rumah sepeninggal saya kerja harus selalu ada beras. Itulah orang tua. Kecil besar atau dewasa bahkan saya sudah punya anak sama saja. Memperlakukan saya seperti anak kecil dulu. Kebetulan Ibu saya sedang berada di rumah setelah bergilir ke anak-anaknya.

Sebenarnya saya bisa saja langsung menjawab dan menjelaskan bahwa tinggal beli saja. Toh uang ada. Toko buka terus. Tapi saya tidak berani menjawab itu takut kewalat. Saya tidak mau berdebat dengan Ibu saya. Takut durhaka. Saya harus menghormati paradigma berpikir Ibu saya tentang beras. Saya tahu persis paham tentang beras itu dianut Masyarakat kampung saya pada waktu itu. Atau Masyarakat nasional waktu itu. Pokoknya symbol kemakmuran dan kekayaan di kampung adalah ketersediaan beras keluarga. Semakin banyak persediaan berasnya semakin kaya dan dihormati. Makanya semakin luas sawahnya semakin dihargai.

Waktu saya kecil bangga sekali ketika keluarga saya memilki lumbung padi atau leuit (tempat penyimpanan beras) yang besar atau banyak. Itu pertanda keluarga saya Makmur. Artinya daya tahan pangan keluarga saya bisa panjang. Minimal bisa sampai panen tahun berikutnya. Itulah symbol kehormatan sebuah keluarga saat itu sehingga bisa disebut keluarga kaya.

Belakangan ada juga lumbung padi milik kampung yang dikelola oleh mesjid atau tetua kampung. Cukup dengan setor satu kilo bisa menyimpan sepuluh kilo. Lumayan bisa menghemat penyimpanan dan resiko kemalingan. Lumbung padi itu sendiri bisa meminjamkan beras simpanannya kepada yang membutuhkan dengan imbalan mengembalikan satu kilo dari sepuluh kilo pinjaman untuk jangka waktu satu musim atau satu tahun. Penyimpan pun bisa menjual beras simpanannya ketika harga bagus. Sehingga para petani padi tidak menjual harga berasnya ketika musim panen yang pasti murah. Inilah intervensi pasar yang dilakukan oleh lumbung padi untuk menyelamatkan petani. Karena menyimpan itu biaya dan risiko.

Belakangan,di era orde baru, fungsi lumbung padi ini diambil alih oleh pemerintah dengan mendirikan Badan Logistik alias BULOG. Para petani bisa menjual berasnya, ketika musim panen, kepada Bulog ini. Tentu saja dengan harga yang cukup bagus. Karena ada tangan pemerintah di sini. Sehingga para petani masih bisa mendapatkan marjin dari bertaninya. Sampai di sini era bangga menjadi juragan beras masih terasa. Jadi Bulog menjadi stabilisator harga pangan terutama beras sangat dirasakan. Dan Bulog itu didirikan di awal orde baru dengan Keputusan Presiden tahun 1967.

Ketika masuk era reformasi hancurlah tatanan itu. Apalagi dengan kasus-kasus orang Bulog yang diadili karena memanfaatkan dana (non- buggeter) internal sendiri tanpa audit. Jadilah Bulog sebagai tersangka kekacauan beras. Ibarat kesalahan tikus dibakar lumbungnya.

Diperkuat lagi oleh tuduhan IMF yang menganggap Bulog sebagai penghambat ekonomi pasar alias symbol monopoli. Akhirnya Bulog menjadi Badan Usaha Milik Negara biasa. Hanya sekedar badan usaha cari untung seperti BUMN yang lain. Atau sejenis BUMN tukang impor beras kalau dibutuhkan yang diputuskan dalam Ratas Ekonomi. Itu pun masih harus bersaing dengan pihak swasta yang ditunjuk oleh pemerintah.

Memang pemberian kuota impor itu menjadi bancakan tersendiri. Salah satu bentuk ucapan terima kasih kepada pendukung penguasa   yang paling gampang dan sederhana. Tidak memerlukan keahlian. Cukup dengan mengantongi surat penunjukkan kuota impor dari kementrian tertentu Perusahaan itu bisa order beras. Bisa juga penunjukan kuota impor ini diperjualbelikan ke pihak yang memang sudah biasa. Pemegang kuota cukup ongkang-ongkang saja. Tinggal menunggu margin.

Maka angka stok ketersediaan pangan itu selalu menjadi perdebatan antara kemementrian perdagangan, Pertanian, Bapenas, Kemenko Perekonomian dan Biro Pusat Statistik. Bisa kelihatan dari setiap perdebatan itu Kementrian mana yang sedang mengejar kuata impor karena sudah ditunggu oleh para konstituen partai pendukung. Perdebatan angka ketersediaan beras ini sangat klasik dari dulu. Karena masing-masing menggunakan hitungan sendiri-sendiri. Dengan variable, yang bisa jadi, berbeda-beda. Celakanya keluarlah kuota impor ketika panen raya. Bubarlah harga beras ke angka yang paling rendah. Fungsi buffer seperti Bulog sudah tidak ada. Padahal ketika harga tinggi pun para petani tidak akan untung besar karena, disamping ada “bom” impor, ada harga batas atas tertinggi karna takut berpengaruh pada inflasi. Jadi keuntungan petani padi ada batasnya.  

Sebernarnya sederhana untuk menyelesaiakan perdebatan angka ini. Tinggal dibuat simtem bersama dengan menggunakan Block Chain. Dengan system ini angka ketersediaan pangan bisa dikontrol bersama-sama. Siapa pun yang melakukan perubahan angka-angka akan kelihatan oleh semua yang punya akses. Bahkan lebih jauhnya lagi para petani pun bisa ikut mengawasi angka-angka ini melalui koperasi yang diberi akses ke sistem.

Apakah memang fungsi Bulog seperti jaman orde baru perlu dihidupkan kembali. Ini perlu kajian yang mendalam. Perlu kita diskusikan untung ruginya. Memang IMF sangat membenci Bulog ini karena menghambat ekonomi pasar. Tapi ini salah bentuk intervensi pemerintah untuk menyelamatkan petani padi. Karena pemerintah juga melakukan intervensi pasar dengan membuat batas harga eceran tertinggi beras ini karena takut inflasi. Begitu harga melambung sedikit langsung impor beras melanda tanah air. Belum lagi korupsi kuota dengan melebihkan jumlah angka impornya. Jadilah petani padi tidak bisa untung sampai maksimal.

Menteri Pertanian Amran Sulaiman sangat antusias ketika diajak mengobrol tentang masalah padi ini. Pokoknya hanya swasembada padi saja yang ada di benaknya. Tentu saja Kementrian Pertanian hanya berbicara dari sisi produksi. Salah satu upayanya adalah memberikan subsidi pupuk kepada petani. Tapi kesulitan bagaimana agar tepat sasaran. Kalau jaman orde baru gampang saja penyaluran subsidi ini diberikan kepada Koperasi Unit Desa atau KUD. Sekarang petani kesulitan menemukan pupuk subsidi ini karena yang menjualnya pihak swasta.

Sekarang paradigma padi Ibu saya sudah berubah. Masyarakat sudah tidak bangga lagi menjadi Petani padi. Saya bolak balik ditelpon orang kampung karena mau menjual sawah. Bertani beras sudah jauh dari menguntungkan. Ketika panen raya harga jatuh sejatuh jatuhnya sehingga petani menyerah ke tukang ijon. Tetapi ketika harga mau bagus langsung di-bom beras impor dengan mengatasnamakan takut inflasi. Kalau Ibu saya masih ada mungkin beliau akan menangis. Menangisi Nasib petani padi yang tidak bisa disebut orang kaya lagi.

#Nurjaman Mochtar/ Dewan Pakar PWI Pusat


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait