Langkah Progresif DPR Memperluas Kewenangannya | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Foto: Istimewa

Langkah Progresif DPR Memperluas Kewenangannya

Ceknricek.com--Apa yang terjadi dalam keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) kita yang memutuskan revisi Tata Tertib DPR, yang kali ini dipandang untuk pertama kalinya dalam sejarah kinerja DPR berlangsung di luar kelaziman. Momentumnya begitu cepat, bahkan tanpa diskusi panjang.

Walaupun, hal itu terkait urusan tata tertib yang terkesan hanya sebatas perilaku kesopanan, kedisiplinan, perlakuan etis, dan keadaban seorang anggota DPR. Akan tetapi, secara eksplisit pemberlakuannya berimplikasi luas karena mencakup / memperluas kewenangan DPR. Karena itu, menjadi tanda tanya ketika sesuatu yang penting (fundamental) dibahas dengan sangat lugas dan progresif.

Kita tak menyaksikan lagi kebiasaan yang berlarut-larut dengan argumentasi kritis dari berbagai pendapat (masukan) konstruktif. Tapi kali ini hanya membutuhkan "pergumulan" pendapat sekitar tiga jam. Hasilnya, DPR berhasil mendesain ulang konstruksi berbagai norma aturan internalnya. Dan, lebih dari itu juga domain tupoksi DPR menambah untuk mengatur para pejabat negara yang sudah lolos dalam "fit and proper test" agar senantiasa tetap aktif berkordinasi dengan DPR.

Tentu saja, termasuk Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Hakim Mahkamah Agung (MA) dan komisioner KPK juga dalam melaksanakan tugas bisa dievaluasi dan diberhentikan oleh kekuasaan legislatif (DPR). Mekanisme pencopotan inilah (pemecatan) pejabat negara yang notabene dari ranah yudikatif serta KPK yang harus independen yang mengundang sorotan dan kritikan. Apalagi jika berpedoman pada Trias Politica yang sejak dahulu kala menjadi rujukan dalam berkonstitusi dan bernegara.

Kekacauan dan ugal-ugalan berpikir seperti itulah, sungguh kian menyesakkan dada negara hukum.

Melampaui kewenangan

Dalam realitasnya, manuver DPR ini dapat dipandang sebagai gangguan, karena langkah ini dapat berdampak negatif terhadap citra pemerintah. Terutama bagi yang beranjak dari pemikiran atau penilaian yang ingin melihat negara ini tetap eksis dan konsisten pada jalur konstitusi yang ada.

Dalam konteks ketatanegaraan, sesungguhnya DPR tidak berhak mengatur lembaga lain. Karena keberadaan tata tertib (tatib) melekat dan inheren kepada anggotanya serta hakekatnya hanya mengatur masalah internal. Jadi, tidak seperti tatib yang menjadi diskursus akhir-akhir ini, yang dikategorikan keluar dari ruang lingkup ranah DPR.

Sebab dalam logika DPR yang berkembang , hasil perluasan kewenangan DPR atau melakukan pergantian hakim konstitusi dan hakim agung serta komisioner KPK juga masuk dalam ranah ini. Pemahaman dan interpretasi demikian menjadi keliru. Hal ini, hanya menjadi salah satu contoh "pengerdilan" lembaga negara, dimana anggota anggotanya bisa di paripurnakan oleh DPR secara serta merta untuk dilakukan pergantian.

Padahal, jika ditelisik lebih mendalam Mahkamah Konstitusi (MK) yang pada hakekatnya berkedudukan sebagai penjaga konstitusi (the guardian of constitutions) sehingga memiliki kedudukan yang kuat. Dalam artian, tak bisa disamakan dengan lembaga yang legalitasnya hanya produk presiden (Kepres dll). Tentu berbeda dengan MK, MA, KPK sebagai produk lembaga yang lahir dari ,"rahim" reformasi serta memiliki dasar hukum yang kuat, yaitu undang-undang.

Oleh sebab itu, perlunya memahami dan menggarisbawahi lembaga-lembaga negara yang mengatasnamakan atau yang diamanatkan UUD 1945. Karena itu, seharusnya berlaku mutlak hubungan lembaga yang diwakilinya sudah putus dengan anggota yang mewakilinya, tatkala sudah dilakukan pelantikan.

Maka, keberadaan tatib DPR dapat digolongkan menjadi intervensi cabang kekuasaan legislatif terhadap lembaga-lembaga negara di bidang yudikatif. Sebab tatib ini terlalu jauh masuk ke dalam eksistensi lembaga negara yang seyogyanya diharuskan memiliki independensi dari kekuasaan lembaga lain. Dengan demikian, keberadaan tatib ini sebagai payung hukum untuk "memasung" lembaga lain adalah tindakan "abuse of power" dan "abuse of authority" (melampaui kewenangannya).

Bagaimanapun, dimensi yang paling fundamental bagi lembaga negara seperti MA, MK, dan KPK adalah adanya independensi dan imparsialitas. Sehingga akan menjadi "blunder" jika anjuran dalam tatib lembaga negara itu harus ada laporan secara berkala untuk dilakukan evaluasi. Hal ini, sekali lagi tentu akan berakibat runtuhnya kewibawaan lembaga negara. Prinsip kemerdekaan untuk mempertahankan supremasi konstitusi, dan negara hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 seharusnya ditegakkan.

Begitu pula langkah progresif yang harus ditegakkan adalah mendorong tatib dalam revisi agar anggota DPR lebih responsif (tanggap) pada kebutuhan sosial, sehingga "sensifitas" anggota dewan lebih peka untuk menyuarakan atau mengkritisi kebijakan yang merugikan rakyat. Bukan sebaliknya, tatib dijadikan instrumen untuk unjuk kekuatan atau powerfull yang pada gilirannya membuat lembaga ini jadi "angker" dari aspirasi rakyat.

Terakhir, pada ujungnya apapun bentuk peraturannya jika mengandung kelemahan atau dianggap memiliki indikasi kuat pelanggaran hukum, maka tentu saja jalan konstitusi adalah judicial review (JR) ke lembaga Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi (MK). Begitupun Presiden diharapkan harus bersikap progresif untuk menolak kebijakan DPR yang tidak sesuai UUD sebagaimana diucapkan presiden dalam sumpahnya

Jakarta, 8 Februari 2025

Abustan, Pengajar Ilmu Hukum Universitas Islam Jakarta


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait