Ceknricek.com -- Film pariwisata “Bali: Beats of Paradise” karya sutradara Livi Zheng akhirnya diputar juga, Rabu (14/8) di CGV Blitz Grand Indonesia Jakarta. Jauh sebelum film itu diputar, promosinya luar biasa, hampir semua media massa di Indonesia mengangkatnya. Livi Zheng, yang baru muncul beberapa tahun terakhir di Indonesia, memang menjadi media daring.
Pemutaran film “Bali: Beats of Paradise” di CGV Blitz malam itu betul-betul istimewa. Meskipun film baru diputar pukul 19.45, hampir dua jam sebelumnya undangan berpakaian batik--sesuai dress code--sudah datang. Mengisi daftar tamu dan kemudian ikut mengantre untuk berfoto di sebuah booth yang disediakan khusus lengkap dengan deretan lampu-lampu, bersama sang sutradara dan dua pemain utama, Nyoman Wenten dan istrinya, Naniek yang menjadi penari. Di antara tamu yang terlihat antara lain gitaris terkenal Dewa Budjana bersama istri, mantan presenter televisi Valerina Daniel, dan Kepala Pusbang Film Maman Wijaya.
Begitu masuk ke bioskop, penonton disuguhi sekelompok pemusik gamelan yang menyanyikan lagu-lagu pop barat dan Indonesia. Di antaranya “Geet mij maar Nasi Goreng” (Wieteke van Dort), “I Want to Hold Your Hand” (Beatles), dan “Bengawan Solo” (Gesang). Nampaknya alat musik yang menghasilkan nada pentatonis dalam gamelan sudah disesuaikan menjadi pentatonis, sehingga semua not dalam lagu-lagu tersebut dapat terjangkau.
Sumber: Genpi
Baca Juga: Livi Zheng, Antara Pengakuan dan Cibiran
Habis beberapa lagu, upacara pembukaan dimulai. Dubes Indonesia untuk Korea Selatan Umar Hadi menjadi MC. Dia lalu memimpin hadirin untuk menyanyikan lagu “Indonesia Raya” dengan nada yang dipilihnya, walau kemudian sempat disetop oleh pemimpin grup gamelan, karena lagu “Indonesia Raya” yang akan dinyanyikan harus mengikuti nada yang sudah disiapkan oleh pemusik gamelan. Usai lagu “Indonesia Raya”, Umar Hadi memanggil sutradara Livi Zheng, Bankir AS kelahiran Indonesia, Julia Gouw, Nyoman Wenten, dan istrinya, Naniek.
Masing-masing memperkenalkan diri dan menceritakan secara singkat tentang persentuhan mereka dengan film “Bali: Beats of Paradise”. Tidak berhenti sampai di situ, Dubes Samsul Hadi kemudian memanggil Menteri Pariwisata Arief Yahya untuk memberikan sambutan. Samsul mengajak Livi, Nyoman, Naniek, dan Gouw turun dari panggung supaya bisa lebih dekat dengan belasan fotografer dan juru kamera yang sudah menunggu di bawah.
Mengangkat Budaya Indonesia
Dalam sambutannya Arief Yahya mengatakan bangga dengan film “Bali: Beats of Paradise” yang telah mengangkat budaya Indonesia, yakni gamelan. Menpar juga berterima kasih kepada Livi karena filmnya telah ikut mempromosikan Bali sebagai destinasi utama wisatawan mancanegara ke Indonesia. Pariwisata menurutnya menjadi sektor penghasil devisa kedua terbesar bagi Indonesia setelah migas.
Kementerian Pariwisata selama ini memberikan apresiasi yang sangat besar kepada Livi Zheng. Jauh sebelum film ini diputar, setidaknya dua kali kementerian mengadakan acara khusus di Balairung Soesilo Soedarman Gedung Sapta Pesona (Kemenpar) untuk Livi Zheng. Yang terakhir, 20 Juli 2019, Livi memutar trailer “Bali: Beats of Paradise” dan membawa krunya ke hadapan wartawan.
Sumber: Istimewa
Biasanya tidak lama setelah acara yang melibatkan kementerian, akan ada siaran pers dari Kemenpar tentang acara kementerian, terutama yang dihadiri oleh Menpar. Entah kenapa siaran pers baru muncul 24 jam kemudian!
Baca Juga: Kemenpar Dukung Promosi Pariwisata Lewat Film Bali: Beats of Paradise
Setelah lampu-lampu teater dimatikan dan proyektor mulai menyemburkan gambar ke layar, penonton tidak langsung menyaksikan film yang ditunggu-tunggu, “Bali: Beats of Paradise”, tetapi ditampilkan dulu rekaman-rekaman berbagai kegiatan Livi Zheng baik di film maupun di luar film.
Antara lain momen ketika ia berbicara--nampaknya kepada pers--dalam suatu kesempatan didampingi oleh Menkeu Sri Mulyani Indrawati dan Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pangaribuan; lalu pertemuan-pertemuan Livi Zheng dengan Wapres Jusuf Kala, LB Pangaribuan secara pribadi, Kapolri Tito Karnavian dan Menpar Arief Yahya.
Di akhir pertemuan, semua orang-orang penting di negara ini tersebut menyatakan apresiasinya atas kerja Livi dan mengimbau masyarakat untuk menyaksikan filmnya (Kita tidak tahu apakah para petinggi negara itu sudah menyaksikan utuh filmnya atau hanya melihat trailer).
Berikutnya adalah rekaman film-film Livi sebelumnya antara lain “Brush With Danger”, kemudian perjalanan Livi membawa “Bali: Beats of Paradise” dalam preview di Amerika dan di sebuah bioskop terbesar dunia di Korea yang dipenuhi oleh undangan. Dalam setiap pemutaran, Livi selalu menampilkan kesenian Bali seperti gamelan dan barong yang memukau penonton. Lalu muncul cuplikan-cuplikan statemen penonton yang mengaku senang menyaksikan “Bali: Beats of Paradise”, dan mendorong keinginan mereka untuk berkunjung ke Bali.
Perjalanan Pemain Gamelan
Menurut sinopsis yang disebarkan, film “Bali: Beats of Paradise” mengisahkan tentang perjalanan Nyoman Wenten, pemain gamelan asal Bali yang mengarungi dunia dengan musik gamelannya. Wenten saat ini mengajar musik di Amerika dan telah 40 tahun tinggal di negara tersebut.
Melalui Wenten dan istrinya, Naniek yang seorang penari, musik gamelan dan tari Bali makin populer di Amerika. Bahkan Judith Hill, penyanyi dan penulis lagu yang pernah menjadi backing vocal Michael Jackson, Stevie Wonder, dan Josh Groban, tertarik memasukan unsur gamelan dalam lagu yang ditulisnya, “Queen of the Hill”. Judith Golry Hill adalah peraih Grammy Award untuk kategori The Best Music Film melalui film dokumenter berjudul “20 Feet From Freedom”.
“Bali: Beats of Paradise” memang tidak semata-mata mengisahkan perjalanan hidup Nyoman Wenten. Film ini juga ingin menjelaskan kepada penonton tentang musik Gamelan Bali, walaupun penjelasannya tidak terlalu mendalam. Paling tidak dalam film ini Livi tidak menjelaskan mengapa gamelan menjadi bagian dari kehidupan orang Bali, khususnya terkait dengan sikap religiositas masyarakat Bali, yang tidak bisa dipisahkan dengan kesenian, khususnya tari dan gamelan.
Livi tidak memfokuskan filmnya apakah ingin berbicara tentang Nyoman Wenten atau gamelan Bali. Karena di film ini juga ditampilkan sedikit tentang I Wayan Balawan, gitaris Bali yang memainkan gamelan melalui gitar bergagang ganda miliknya.
Sumber: Istimewa
Kisah Nyoman Wenten digambarkan sejak kecil, sebagai anak miskin yang ditinggal oleh orangtuanya, kemudian diasuh oleh kakeknya, pada siapa ia kemudian belajar menari Bali dan bermain gamelan. Proses belajar gamelan--poin penting yang ingin diangkat dalam film ini--juga tidak tergambar dengan jelas. Apakah Wenten belajar secara otodidak, seperti narasi dalam film atau ada guru lain yang mengajarkannya sehingga ia kemudian menjadi maestro dan diakui sebagai profesor musik yang mengajar di UCLA Herb Alpert School of Music, Amerika.
Film ini sendiri mengambil lokasi syuting di beberapa tempat, baik di Bali sendiri maupun Amerika. Dalam scene-scene yang menghadirkan penyanyi dan pemusik Amrika Judith Hill seluruhnya dilakukan di Amerika, termasuk di Joshua Tree National Park, sebuah destinasi wisata di Colorado Amerika yang berupa hamparan gersang dengan pepohonan kaktus besar. Di tempat itulah pembuatan video ofisial “The Queen of the Hill” yang menampilkan Judith Hill dan beberapa penari Bali dilakukan.
Baca Juga: Film Karya Livi Zheng Berlatar Bali yang Sukses di AS Segera Tayang di Indonesia
Tentang Bali, Livi sendiri terkesan tidak terlalu keras berusaha untuk menampilkan spot-spot menarik dari begitu banyak keindahan di Bali dalam filmnya. Memang ada sawah--apakah itu di Ubud atau Jatiluwih, pura dan pedesaan di Bali yang terkenal bersih, tetapi untuk menampilkan keindahan Bali yang memukau, rasanyanya masih kurang.
Sinematografi yang dihasilkan dari kamera canggih dengan juru kamera dari Amerika, rasanya tidak terlalu ajaib. Kalau soal kerja kamera, masih kalah jauh dengan film dokumenter karya Jay Subiyakto: “Banda: The Dark Forgotten Trail”, walau film karya Jay--menurut pandangan penulis yang awam soal film--hanya mengandalkan kerja kamera, dibandingkan cerita yang mampu memenuhi imajinasi penonton.
Di Luar Ekspektasi
Film karya Livi Zheng ini memang di luar ekspektasi. Berbanding terbalik dengan publikasi dan hasil roadshow yang dilakukan gadis kelahiran Blitar, 3 April 1989 itu ke beberapa petinggi negara. Jauh sebelum film itu disaksikan oleh khalayak--film ini rencananya akan main pada 22 Agustus 2019--Livi Zheng sudah mendapat applaus lebih dulu.
Sejak kedatangannya ke Indonesia lima tahun terakhir, gadis ini memang telah menjadi media darling. Setiap kiprah dan gerakannya selalu mendapatkan publisitas yang baik. Terlebih Livi juga bersikap rendah hati, dia mau melayani jurnalis yang mau mewawancarainya, baik dalam kesempatan resmi atau wawancara khusus.
Sumber: Istimewa
Tidak seperti umumnya sineas Indonesia, Livi melakukan langkah terbalik untuk dikenal. Dia berkiprah dulu di Amerika, baru datang ke Tanah Air dengan memperkenalkan karyanya. Dia seperti membawa harapan, baru bahwa sineas Indonesia juga bisa berkiprah di Amerika, khususnya Hollywood, pusat industri film di Amerika yang menjadi impian seluruh sineas di dunia untuk menggapainya.
Perfilman Indonesia sendiri sudah lama mengincar Amerika. Ini bisa dilihat dengan sejarah pengiriman film-film Indonesia ke Piala Oscar sepanjang tahun, sejak film “Naga Bonar” tahun 1986, dan terakhir film “Marlina, Si Pembunuh Dalam Empat Babak” karya wanita sutradara Mouly Surya. Semua film yang dipuji-puji dan mendapat penghargaan tinggi di Indonesia, seperti tertelan kabut ketika masuk ke Academy Award. Akhirnya film-film Indonesia hanya berhasil menyabet penghargaan di festival-festival kota di beberapa negara dan cukup bangga jika sudah ditonton oleh juri dalam suatu festival bergengsi di Eropa atau Amerika.
Di sini kita mendengar film-film karya Livi mulai dari “Brush With Danger” hingga yang terakhir “Bali: Beats of Paradise” telah masuk nominasi Piala Oscar, walau kemudian juga tertelan kabut. Sebagian besar dari kita memang tidak pernah menelusuri secara teliti setiap informasi yang masuk, termasuk ketika film Indonesia dipuji-puji di luar festival luar negeri.
Sumber: Istimewa
Sebagai bangsa yang ratusan tahun dijajah, dan sampai sekarang inferioritas terhadap bangsa barat yang tak kunjung hilang, kita sangat mengidam-idamkan penghargaan dari pihak asing. Kita juga tidak peduli apakah yang mendapat penghargaan dari pihak asing itu sebuah film pendek yang menampilkan kelamin! Sehingga Menteri Pendidikan dan Kebudayaan merasa perlu memberikan penghargaan untuk sutradara yang membuat film yang menampilkan kelamin itu walau secara diam-diam.
Ketika Livi Zheng datang dengan aroma Hollywood, banyak yang terbius. Keinginan menembus Hollywood bukan hanya sekadar impian. Livi seolah menjadi sineas pembawa harapan yang perlu diberi karpet merah. Media dan pejabat penting menyambutnya. Faktanya memang dia telah membuat film di Amerika. Lepas dari apakah pembuatan film itu karena kemampuan sinematografi atau kapital.
Sehari setelah pemutaran film “Bali: Beats of Paradise”, penulis bertemu dengan dua orang diaspora Indonesia di Amerika. Yang seorang atlet, seorang lagi bankir. Keduanya mengaku tahu tentang Livi Zheng. Menurut sang atlet, Livi adalah orang berada yang memiliki studio film di Amerika. Sedangkan sang bankir mengaku membantu Livi membuat “Bali: Beats of Paradise” karena film itu telah memperkenalkan Indonesia, khususnya Bali kepada khalayak di Amerika.
Terlepas dari kemampuan sinematografinya, Livi adalah tipe anak muda yang gigih. Dia mau belajar dan memiliki kemampuan lobi yang hebat. Tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Lihatnya bagaimana kemudian filmnya dibeli oleh platform digital milik Baidu, sebuah perusahaan besar di Cina, kemudian Singapore Airlines, dan terakhir, meurut pengakuannya, dia menjadi agen Disney untuk Asia Tenggara.
Di Indonesia, baginya yang dibutuhkan adalah pengakuan dan dukungan moril, bukan materiel sebagaimana banyak orang film Indonesia yang berkerumun di beberapa Kementerian sambil membawa proposal untuk mendapatkan proyek atau mengadakan kegiatan.
Bagaimana kita tahu Livi tidak mengharapkan dukungan materiel? Dalam wawancara penulis dengannya di hotel yang dikelola orang tuanya di kawasan Kemayoran Jakarta, dia menuturkan bagaimana dirinya diminta oleh beberapa kementerian dan pemerintah daerah untuk membuat film promosi.
“Pasti bayarannya besar ya?,” tanya penulis.
“Ha.ha…saya tidak mau ngomonglah soal itu. Silahkan tanya sendiri ke sana..,” katanya sambil tertawa.
Penulis menyimpulkan dia tidak mendapat duit dari pemerintah. Entah kesimpulan pembaca.
BACA JUGA: Cek Berita FILM & MUSIK, Informasi Terkini Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.