Membuka-buka Catatan Seputar Proklamasi 17-8-1945 (1) | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Istimewa

Membuka-buka Catatan Seputar Proklamasi 17-8-1945 (1)

“Biar digorok leher-ku,aku tidak akan memproklamirkan kemerdekaan ….”

Ceknricek.com--15 Agustus 1945.Malam sudah semakin larut.Para pemuda duduk menghadap Bung Karno,Bung Hatta dan Mr Soebardjo.Mereka terliat gelisah.

Tiba tiba Bung Karno bangkit dari duduknya,diangkat tangannya.Yang kiri memegang batang leher yang kanan digerak-gerakkannya,seakan menyembelih,diiringi suara segegap halilintar: 

“Biar digorok leher-ku,aku tidak akan memproklamirkan kemerdekaan malam ini…besok atau kapan saja …kamu jangan coba coba mengancam aku,ya.”

Bung Karno (BK) menyembur Wikana, tokoh pemuda yang mengancam bahwa pemuda dan rakyat akan berontak jika Bung Karno tidak proklamirkan kemerdekaan saat itu juga,demikian tulis BM Diah,sesama pimpinan pemuda yang hadir.Diah mengenang kejadian yang menegangkan di bulan Agustus tanggal 15 larut malam tahun 1945 .Tempat kejadian,Pegangsaan Timur 56,Jakarta.

Suara BK terdengar sampai ke beranda belakang di mana isterinya,Fatmawati,sedang menunggui puteranya Guntur tidur.

Dia pun bangkit dari duduknya.Kemudian menggendong Guntur yang masih kecil,Fatmawatil jalan menuju arah suara suaminya.Berhenti di balik pintu dan mengintip ke beranda muka yang terbuka yang penuh dengan pemuda,di sebuah rumah jalan Pegangsaan Timur.Fatma agaknya kuatir suatu akan terjadi dengan suaminya. 

Di beranda itu sedang berlangsung “perundingan” yang kemudian nyaris menjadi debat kusir antara golongan pemuda yang dijurubicarai Wikana dengan golongan tua-Bung Karno,Bung Hatta dan Mr Soebardjo.Bung Karno tidak hendak memulai perudingan sebelum hadirnya Bung Hatta yang datang belakangan.

Waktu hampir menunjukkan pukul 10.00 malam.Belum sempat duduk,Bung Hatta,yang melihat para pemuda berkumpul di hadapan Bung Karno,langsung bertanya secara lakonik: “Ini pemuda mau apa lagi…?”

Disambut Bung Karno: “Pemuda pemuda mau persiapkan rakyat untuk revolusi?"

“Hayo duduk,duduk,”seru Bung Karno yang sudah duduk terlebih dahulu.Semua pun duduk.Mr Soebardjo dan Bung Hatta,mendampingi Bung Karno,duduk di kanan dan kiri.

Terlihat sikap Bung Karno dan Bung Hatta yang paternalistis.Menganggap pemuda pemuda masih belum dewasa walau ,ketika itu,usia rata rata pimpinan pemuda adalah 27-28 tahun.Memang antara 17-18 tahun lebih muda.

BM Diah bercerita lebih lanjut.

Wikana mulai membuka pembicaraan,menyambut pertanyaan Bung Karno mengenai maksud pertemuan itu.Diah sendiri tidak juga tahu sebelumnya agenda pertemuan,namun kemudian dibisikkan pada-nya apa yang ada dalam rencana pemuda.

Malam semakin larut.Waktu menunjukkan lewat jam 10.00 malam.

“Bung,” kata Wikana, “Kami diutus oleh pemuda dan rakyat untuk meminta kepada Bung Karno supaya menentukan sikap sekarang.Bung tahu,Jepang sudah kalah dan minta damai.Juga sudah menyerah tanpa syarat pada Sekutu,” dia melanjut dengan suara yang mengesankan.

Tanggal 6 Agustus (1945) kota Hiroshima dibom dengan sebuah bom yang mengeluarkan sinar yang tajam sekali dan membinasakan sekaligus beratus ribu penduduk.Juga gedung gedung hancur dan terbakar.Tiga hari kemudian tanggal 9 Agustus Nagasaki dibom.

“Jepang sudah meminta damai,” Nishijima pegawai sipil,anggota rahasia AL Jepang bercerita pada BM Diah selepas pembebasannya di pagi hari 15 Agustus 1945 itu dari tahanan Jepang.

Nishijima dan seorang Jepang lainnya bernama Ichiki,juga pegawai sipil Belantentara Jepang, telah membantu pelepasan Diah dari tahanan atas permintaan keluarga pihak istri,Herawati,paman-nya Mr Soebardjo dan ipar Mr Sudjono.

“Saya juga sudah tahu ,” jawab Bung Karno, “Saya sudah mendengar sendiri dari somubuchoo,Jenderal Nishimura.Dia meminta ke pada saya supaya menjaga ketenangan.”

Sebelumnya Bung Karno tidak diberitahu Jepang menghadapi kekalahan ketika berada di Dalat,dekat Saigon,ketika bertemu dengan Jenderal Terauchi,Panglima Perang Jepang untuk wilayah Asia Tenggara pada tanggal 11 Agustus 1945.

Bung Karno pun berdiam sebentar. “Saya minta karena itu ke pada saudara saudara supaya juga tenang,menunggu perintah saya.”

Pertemuan yang tadinya dimaksudkan untuk meminta para golongan tua mengambil sikap dengan kekalahan Jepang,yang sudah disiarkan Sekutu, berubah menjadi debat dengan suhu yang semakin meninggi.

Wikana langsung berdiri mendengar jawaban Bung Karno.

Dengan suara nyaring dia berkata: “Apa Bung mau suruh kami tunggu?Apalagi yang mau ditunggu.Ini sudah waktunya….”

Para pemuda tidak sudi bangsa Indonesia dijadikan inventaris untuk diserahkan oleh Jepang kembali pada Belanda.Sekutu telah meminta Jepang menjaga status quo.

Bung Karno balik membalas: “Kita harus menunggu dan jangan mengorbankan rakyat percuma.”

Bung Hatta menyetujui sikap Bung Karno dan bertanya: “Apakah saudara saudara siap betul-betul untuk melancarkan revolusi? Kalau gagal bagaimana.Bukankah rakyat nanti yang menjadi korban?”

“Rakyat siap berontak.Pemuda – pemuda akan pimpin pemberontakan rakyat ini,” Wikana membalas dengan suara mendongkol. Pemuda sudah melemparkan dadu-nya di meja.

Singkapnya membayangkan kepercayaan akan kekuatan sendiri,kekuatan pemuda,kekuatan rakyat.Ini senantiasa menjadi pertentangan antara muda dan tua.Dalam keadaan seperti ini,Wikana menjadi romantika-wan yang bergairah.

Setiap kali berbicara dia mengatakan,pemuda dan rakyat,buruh dan tani,mahasiswa dan pelajar hanya menunggu komando saja untuk memulai revolusi.Dia gambarkan pemuda siap aksi.Gelisah,tidak sabar lagi.Tetapi yang diajak enggan bergerak.

Komando untuk bergerak,yang diharapkan Wikana dan para pemuda,tidak kunjung datang.Sebabnya terletak pada persepsi masing masing golongan dalam menilai situasi dan kondisi saat itu.

Usai Wikana beremosi mencoba meyakinkan pemimpin pemimpin tua itu,suasana di ruangan dengan cahaya lampu yang rada rada redup,terasa sesak.

“Saya sendiri serasa di kamar yang kekurangan oksigen,” tulis Diah.

Dalam keheningan menyesakkan itu yang berlalu tidak lama,tiba tiba Mr Soebardjo bersuara: “Setiap perjuangan harus diperhitungkan untung ruginya,pada ketika debu telah menetap.Kami percaya pada kekuatan pemuda,serta kerelaan berkorban.Juga kami dulu berani mengorbankan diri mencapai tujuan.Tetapi sekarang.Apakah kita memiliki cukup senjata? Sudah mampu-kah kita?”

Di antara para pemuda ada yang menjawab “Dengan apa saja kita bisa berjuang.Pakai golok,bambu runcing,pakai senjata senjata yang diserahkan Jepang atau yang akan dirampas" (bersambung).


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait