Kedaulatan Udara dalam Sejarah dan Strategi
Ceknricek.com--Sejak manusia menjejakkan kaki di bumi, langit telah menjadi simbol kemerdekaan sekaligus sebuah misteri. Dalam perkembangannya kemudian ketika langit mulai dijelajahi secara fisik, bukan lagi sekadar metafora, muncul pertanyaan besar siapa yang berhak atas ruang udara? Apakah langit bebas dimasuki oleh siapa saja? Atau, apakah ruang udara merupakan bagian dari kedaulatan teritorial suatu negara sebagaimana tanah dan laut?
Pertanyaan-pertanyaan itu sebenarnya bukan baru muncul di era modern. Konsep “Freedom of the Air” atau kebebasan lalu lintas udara lintas negara, yang kini dikenal dalam rezim hukum penerbangan internasional, sejatinya telah ditolak sejak zaman sebelum Masehi, sebagaimana tercermin dalam warisan hukum Romawi kuno.
Cujus Est Solum: Fondasi Hukum Kedaulatan Udara
Hukum Romawi kuno telah merumuskan prinsip yang sangat jelas dan tegas: "Cujus est solum, ejus est usque ad coelum et ad inferos"—"Barangsiapa memiliki tanah, maka dia juga memiliki apa yang ada di atas hingga ke langit dan di bawah sampai ke inti bumi." Prinsip ini menegaskan bahwa kepemilikan suatu wilayah mencakup ruang udara di atasnya. Maka sejak awal, langit bukanlah wilayah bebas.
Prinsip tersebut bukan sekadar warisan filosofis, melainkan menjadi dasar legal yang diadopsi dalam berbagai bentuk oleh sistem hukum Eropa Kontinental dan Anglo-Saxon. Ia menjadi pondasi bagi pemahaman modern tentang kedaulatan udara yang mutlak.
1783: Balon Montgolfier dan Penolakan Praktis atas Freedom of the Air
Ketika Joseph-Michel dan Jacques-Étienne Montgolfier menerbangkan balon udara panas pertama pada tahun 1783 di Prancis, euforia penemuan itu segera berhadapan dengan kekhawatiran praktis. Pemerintah kota dan polisi setempat melarang setiap penerbangan balon tanpa izin. Alasan mereka sederhana tetapi krusial yaitu demi keselamatan publik dan keamanan negara. Larangan itu merupakan bukti awal bahwa lalu lintas di udara tidak bisa bebas begitu saja. Akses ke udara harus tunduk pada otoritas negara yang berdaulat, sama seperti akses ke jalan atau pelabuhan.
Giulio Douhet: Air Power dan Perubahan Paradigma Perang
Dalam abad ke-20, konsep kedaulatan udara semakin menguat, terutama ketika langit menjadi medan perang. Jenderal Giulio Douhet (1869–1930), perwira Italia dan pelopor teori kekuatan udara, menyatakan bahwa perang modern tidak lagi sekadar pertempuran antar angkatan darat, melainkan merupakan benturan total antar bangsa (Total War). Dalam bukunya Command of the Air, Douhet menulis:
“War will begin in the air. He who is unprepared is lost.”
Wilayah udara, menurut Douhet, memberi visibilitas dan mobilitas yang lebih besar. Maka siapa yang menguasai udara, akan menentukan hasil peperangan. Dalam paradigma ini, kedaulatan udara adalah keharusan strategis bukan sekadar hak legal.
1946, Henry H. Arnold: Ancaman dari Langit Tanpa Awak
Jenderal Henry H. Arnold dari Angkatan Udara Amerika Serikat, dalam ulasan pasca Perang Dunia II tahun 1946, memberi peringatan keras:
“The next war will not start with a naval action, nor by aircraft flown by human being. It might very well start with missiles being dropped on the capital of a country… say, Washington DC.”
Ucapan ini mengantisipasi ancaman masa depan berupa rudal, drone, dan sistem tak berawak yang melintasi batas negara melalui udara. Di tengah potensi ancaman tersebut, membiarkan wilayah udara bebas dimasuki pihak luar adalah kecerobohan fatal.
David Ben-Gurion: Kedaulatan Udara Sebagai Syarat Kemerdekaan Bangsa
Pada tahun 1948, tokoh besar pendiri negara Israel, David Ben-Gurion, menyatakan:
“A high standard of living, a rich culture, spiritual, political and economic independence are not possible without full of aerial control.”
Bagi Ben-Gurion, penguasaan udara adalah prasyarat eksistensial bagi sebuah negara merdeka. Tanpa kontrol udara, tidak mungkin ada kemerdekaan sejati—baik secara ekonomi, politik, maupun spiritual.
Konvensi Paris 1919 dan Konvensi Chicago 1944: Penegasan Kedaulatan Udara
Setelah pengalaman brutal Perang Dunia I, dunia internasional mulai menyusun perangkat hukum penerbangan. Konvensi Paris 1919 menjadi tonggak pertama yang secara eksplisit menyatakan bahwa:
“Every State has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its territory.”
Pernyataan ini kemudian dikukuhkan dalam Konvensi Chicago 1944, yang menjadi landasan hukum penerbangan sipil internasional hingga hari ini. Dalam pasal pertama konvensi tersebut dinyatakan:
“The contracting States recognize that every State has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its territory.”
Dengan demikian, konsep “freedom of the air” ditolak secara hukum dan digantikan oleh prinsip kedaulatan udara yang komplit dan eksklusif.
Wilayah udara Bukan Wilayah Netral
Konsep bahwa langit adalah domain bebas telah ditolak sejak sebelum Masehi oleh hukum Romawi, kemudian oleh logika keamanan publik pada abad ke-18, dan ditegaskan oleh pengalaman strategis serta instrumen hukum internasional pada abad ke-20. Dalam dunia yang semakin kompleks dengan ancaman udara baik dari jet tempur, rudal, hingga satelit dan drone penguasaan udara adalah bentuk tertinggi dari perlindungan kedaulatan sebuah negara.
Seperti dikatakan Giulio Douhet dan David Ben-Gurion: Perang akan dimulai dari udara, dan hanya negara yang menguasai langitnya yang akan tetap berdaulat. Dalam konteks ini, mendelegasikan kewenangan atas wilayah udara kedaulatan kepada negara lain bukan sekadar persoalan administratif atau teknis penerbangan sipil. Itu adalah sebuah keputusan strategis yang mengandung risiko tinggi dan sangat berbahaya. Sebab ketika otoritas atas ruang udara berada di tangan negara lain, maka fungsi-fungsi penting seperti early warning, kontrol lalu lintas pesawat militer, penyergapan udara, hingga evakuasi darurat, sepenuhnya berada di luar kendali negara yang sebenarnya berdaulat secara teritorial.
Lebih dari itu, mendelegasikan otoritas wilayah udara berarti membuka pintu kerentanan terhadap penetrasi asing, kebocoran informasi strategis, bahkan pengambilan keputusan militer yang tidak sinkron dengan kepentingan nasional. Dalam kondisi konflik atau ketegangan, negara yang tidak memegang kontrol atas langitnya sendiri akan buta secara strategis dan lumpuh secara operasional.
Sebagaimana ditegaskan dalam Konvensi Chicago 1944 dan dikuatkan oleh tokoh-tokoh seperti Giulio Douhet, Henry Arnold, dan David Ben-Gurion, kedaulatan udara bersifat mutlak, eksklusif, dan tidak untuk dinegosiasikan. Maka dari itu, setiap bentuk pendelegasian atau pelimpahan wewenang pengelolaan wilayah udara, apalagi yang mencakup ruang udara di atas wilayah teritorial negara sendiri, harus ditolak secara tegas dan konsisten.
Wilayah udara bukan sekadar bentangan kosong, melainkan ruang strategis yang menentukan eksistensi sebuah bangsa. Negara yang tidak menjaga langitnya sendiri, cepat atau lambat akan kehilangan kemerdekaannya—baik secara militer, politik, maupun ekonomi. Dan sejarah telah membuktikan, dari Romawi kuno hingga Perang Dunia pertama dan kedua, bahwa langit adalah medan pertama perebutan kekuasaan. Maka, jangan sampai bangsa ini menjadi korban atas kelalaianya sendiri dalam mengelola wilayah udara kedaulatannya sendiri.
Referensi:
- Douhet, G. (1921). The Command of the Air. (English translation, 1942).
- Arnold, H. H. (1946). Air Power and the Future. Report to US Congress.
- Ben-Gurion, D. (1948). Speeches on Israeli National Defense.
- (1944). Convention on International Civil Aviation (Chicago Convention).
- Paris Convention. (1919). Convention Relating to the Regulation of Aerial Navigation.
- Taylor, J. (1981). History of Air Power. London: Putnam.
- Van Sickle, N. (1955). Air Law: A Treatise on Private International Air Law.
- Shawcross, Lord (1944). Commentary on the Convention on International Civil Aviation.
Jakarta 28 Juni 2025
Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia
Editor: Ariful Hakim