Oleh Marsma TNI (Purn). Dr. dr. Krismono Irwanto., MHKes.
07/30/2024, 14:31 WIB
Ceknricek.com--Bayangkan Anda duduk di kursi pesawat, mesin mulai menderu, dan tiba-tiba jantung Anda berdegup kencang, telapak tangan berkeringat, dan pikiran Anda dipenuhi skenario terburuk. Bagi jutaan orang di seluruh dunia, ini bukan sekadar imajinasi, ini adalah realitas menakutkan yang mereka hadapi setiap kali harus terbang. Aerofobia, atau ketakutan terbang, bukan hanya "takut ketinggian" biasa. Ini adalah kondisi yang dapat melumpuhkan dan secara signifikan menurunkan kualitas hidup seseorang.
Sebagai masyarakat yang semakin terhubung secara global, kita tidak bisa mengabaikan dampak aerofobia. Penerbangan bukan lagi kemewahan, tapi kebutuhan, baik untuk bisnis, pendidikan, maupun menjaga hubungan keluarga lintas negara. Namun, bagaimana jika ketakutan mencegah seseorang meraih peluang karir di luar negeri? Atau menghadiri pernikahan saudara di benua lain? Inilah mengapa kita perlu mengubah cara pandang dan penanganan aerofobia.
Foto: Istimewa
Lebih dari Sekadar Rasa Takut
Aerofobia bukan hanya tentang ketakutan irasional. Ini adalah respons kompleks yang melibatkan faktor psikologis, fisiologis, dan bahkan sosial. Dr. Lisa Harrell, seorang psikolog penerbangan terkemuka, menjelaskan, "Aerofobia sering berakar dari rasa tidak berdaya dan kehilangan kontrol. Ini bisa dipicu oleh pengalaman buruk, paparan media yang berlebihan terhadap kecelakaan pesawat, atau bahkan diturunkan dari kecemasan orang tua."
Menurut survei terbaru, sekitar 25% populasi mengalami kecemasan saat terbang, dengan 10% mengalami aerofobia tingkat parah. Angka ini menunjukkan bahwa masalah ini lebih umum dari yang kita kira, namun stigma dan kurangnya pemahaman masih menghalangi banyak orang untuk mencari bantuan.
Revolusi dalam Penanganan
Industri penerbangan telah mulai merespon, tetapi masih ada ruang untuk perbaikan. Beberapa maskapai menawarkan kursus mengatasi ketakutan terbang, namun ini sering kali mahal dan tidak mudah diakses. Mengapa tidak menjadikan edukasi tentang keamanan penerbangan dan teknik relaksasi sebagai bagian standar dari pengalaman terbang?
Teknologi juga menawarkan solusi inovatif. Virtual Reality (VR) kini digunakan untuk terapi exposure, memungkinkan pasien menghadapi ketakutan mereka dalam lingkungan yang terkontrol. Dr. Mark Reinecke, peneliti di bidang terapi kognitif, menyatakan, "VR membuka pintu bagi pendekatan yang lebih personal dan efektif dalam mengatasi fobia."
Panggilan untuk Aksi
Sebagai masyarakat, kita perlu mengambil langkah-langkah konkret:
1.Edukasi Massal: Kampanye kesadaran publik tentang aerofobia dapat membantu mengurangi stigma dan mendorong lebih banyak orang mencari bantuan.
2.Kebijakan Inklusif: Pemerintah dan regulator penerbangan harus mempertimbangkan kebutuhan penderita aerofobia dalam merancang kebijakan dan standar keamanan.
3.Inovasi Berkelanjutan: Mendorong penelitian dan pengembangan metode penanganan baru, termasuk aplikasi berbasis AI untuk manajemen kecemasan.
4.Pelatihan Komprehensif: Meningkatkan pelatihan crew pesawat dalam menangani penumpang dengan aerofobia, menjadikan empati dan dukungan sebagai standar layanan.
5.Aksesibilitas Terapi: Menjadikan terapi untuk aerofobia lebih terjangkau dan mudah diakses, mungkin melalui kemitraan antara penyedia layanan kesehatan mental dan maskapai penerbangan.
Sarah, seorang eksekutif yang berhasil mengatasi aerofobianya, berbagi, "Dulu, saya melewatkan banyak peluang karir karena takut terbang. Sekarang, setelah terapi dan dukungan yang tepat, dunia menjadi terbuka bagi saya. Ini bukan hanya tentang bisa naik pesawat, tapi tentang kebebasan dan potensi yang terbuka."
Aerofobia mungkin tidak terlihat, tapi dampaknya nyata dan mendalam. Dengan pemahaman, empati, dan tindakan kolektif, kita dapat menciptakan dunia di mana ketakutan tidak lagi membatasi seseorang untuk menjelajahi cakrawala baru—baik secara harfiah maupun kiasan. Sudah waktunya kita mengambil langkah berani untuk membantu mereka yang berjuang melawan ketakutan ini, karena pada akhirnya, kebebasan untuk terbang adalah kebebasan untuk berkembang.
#Marsma TNI (Purn) Dr. dr. Krismono Irwanto., MHKes. Mantan Kepala Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa Saryanto.
Editor: Ariful Hakim