Mengembalikan Ambang Batas Nol % Pemilihan Presiden | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Foto: Istimewa

Mengembalikan Ambang Batas Nol % Pemilihan Presiden

Ceknricek.com -- Setelah berbagai ikhtiar dan penantian yang panjang, akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidensial threshold.

Dalam pertimbangannya, para hakim konstitusi menilai adanya ambang batas 20 % tidak efektif dan rawan komplik kepentingan. Hakim konstitusi juga menimbang hadirnya presidensial threshold menyebabkan adanya 2 (dua) pasang calon.

Oleh sebab itu, majelis hakim memutuskan/mengabulkan permohonan menghapus ambang batas. Artinya, dengan penghapusan ambang batas pada pemilihan selanjutnya, seluruh partai politik peserta pemilu berhak mengajukan calon presiden dan wakil presiden masing-masing. Mahkamah konstitusi juga meminta segera DPR merevisi ketentuan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang pemiihan umum.

Ke jalur yang benar

Putusan perkara ini, memicu gemuruh kegembiraan di ruang publik. Prof Jimly Assidiq di group WA "Barisan Pro Demokrasi" menyebutnya: kado Tahun Baru 2025 penegakan demokrasi di Indonesia.

Kalimat itu, menunjukkan cerminan penantian yang melelahkan dan menjadi jalan terjal perjalanan demokrasi kita. Jika dirunut, perdebatan ini muncul karena dalam putusan MK di tahun 2014. Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Presidential Threshold sebagai "kebijakan hukum" yang terbuka hingga menyerahkan kepada pembentukan undang-undang, dalam hal ini pemerintah dan DPR.

Namun, di titik inilah awal terjadinya perbedaan pendapat dan beda tafsir oleh pembuat undang-undang. Padahal, rumusan Pasal 22 E UUD 1945 telah dengan jelas menyatakan bahwa pemilu dilaksanakan sekali dalam lima tahun. Pemilu itu dilaksanakan untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD serta memilih Presiden dan Wakil Ptesiden. Dan, khusus tentang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik peserta pemilihan umum sebelum pemilihan umum dilaksanakan.

Maka, norma Pasal UUD 1945 tersebut selama ini acapkali "diplintir" oleh Pemerintah dan beberapa fraksi DPR RI untuk mewujudkan "hasrat politik" mereka agar jumlah pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dapat dibatasi.

Padahal sejatinya, maksud pasal 6 A jika dikaitkan dengan Pasal 22 E UUD 1945 dengan jelas menunjukkan bahwa Pemilu dilaksanakan serentak dan setiap parpol peserta pemilu berhak untuk mengajukan calon Presiden dan Wakil Presiden sebelum pemilu dilaksanakan.

Karena itulah, segala multi penafsiran dan munculnya tafsir-tafsir baru, dianggap tak relevan lagi diperbincangkan. Sebab, setelah MK menghapus ketentuan "Presidential threshold" 20 %. Maka diharapkan kembali "ke jalur yang benar" terhadap perubahan/perbaikan sistem demokrasi di Indonesia.

Di luar kelaziman demokrasi

Dalam banyak kesempatan, tak dapat dipungkiri bahwa ambang batas yang di inisiasi pemerintah / DPR di luar kelaziman demokrasi. Bahkan, prasyarat yang tertera dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 adalah mengingkari anasir-anasir yang ditegaskan dalam prinsip demokrasi, serta bertentangan dengan perintah imperatif konstitusi sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 1 ayat 2 UUD NRI Tahun 1945 "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD". Sementara presidensial threshold 20 % adalah manifestasi dari produk aturan yang sarat dengan kepentingan partai politik, bukan pada kepentingan yang berbasis kedaulatan rakyat yang sarat dengan nilai-nilai demokrasi.

Atas dasar itulah, ambang batas pencalonan presiden atau presidensial threshold adalah hal yang tidak lazim lagi negara penganut sistem presidensial seperti Indonesia. Sehingga, tentu saja ada kejanggalan dan terasa aneh (ir-rasional) jika negara Indonesia ada pembatasan syarat bagi orang yang ingin maju sebagai calon presiden. Sejatinya, konstitusi tidak membatasinya. Walaupun, materi pembicaraan ambang batas itu sudah kerap kali diperdebatkan, karena perdebatan itu sendiri dalam putusan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2014 menyatakan Presidential Threshold sebagai kebijakan hukum terbuka .

Akan tetapi, meskipun MK telah berulangkali memutus ambang batas ini dengan menyatakan konstitusionalitas. Namun, tetap saja gugatan ke MK "membludak". Gugatan itu, sesungguhnya jika ditelisik, bertolak dari tiga poin penting. Pertama, partai politik dianggap "merampas" kedaulatan rakyat. Kedua, persyaratan ambang batas yang dibuat parpol yang berkuasa adalah sebuah cara untuk "menjegal" figur (tokoh) yang dianggap potensial memimpin bangsa ini ke depan. Ketiga, pola dan skenario seperti itu dianggap efektif melanjutkan kelanggenan pemerintahan oligarki.

Dengan carut-marut sistem ini, sepertinya keriuhan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold terus menjadi perhatian publik. Saya sudah dua kali menulis di kolom opini tempo dengan judul: presidential threshold di luar kelaziman demokrasi dan ambang batas calon presiden dan komitmen MK atas demokrasi, jurnal, dan buku Jalan Terjal Demokrasi yang isinya juga ada tulisan Prof Yusril Ihsa Mahendra.

Jadi, harapan rakyat tak pernah padam atau surut. Tetapi tekadnya untuk mewujudkan nol % ambang batas pilpres adalah dalam rangka ingin menormalkan kembali sistem pemilihan presiden yang sejalan dengan nilai dan semangat demokrasi, yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Sekali lagi, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) di awal tahun 2025 sangat melegakan dan membanggakan demokrasi kita. Setelah 17 tahun lebih bangsa kita berada dalam pilihan pilpres "head to head" yang populer di istilahkan dia lagi dia lagi.

Akhirnya, perdebatan presidential threshold yang cukup panjang telah menuai hasil penyelesaian yang menggembirakan. Oleh karena itu, jalan satu-satunya secara konstitusional haruslah diluruskan kembali oleh lembaga Mahkamah Konstitusi. Di mana putusan terkait presidential Threshold dilakukan dengan putusan dissenting opinion. Dari sembilan orang hakim konstitusi, ada dua hakim yang memberikan pendapat berbeda. Yang pasti putusan ini MK kembali "mengokohkan" eksistensinya sebagai lembaga pengawal konstitusi (the guardian of the constitution) yang selalu hadir memberikan nilai keadilan. Bagaimanapun, putusan seperti itulah yang selalu mengingatkan kita kembali pada asas dasar bernegara di republik ini, yaitu dasar Pancasila dan prinsip dasar Indonesia sebagai negara hukum.

Penulis, pengajar Hukum Konstitusi Universitas Islam Jakarta.

Jakarta, 4 Januari 2025


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait