Ceknricek.com--Baru saja beberapa hari lalu diiundangkan sebuah peraturan menteri kesehatan (PMK) No 12/2024 tentang Mekanisme Seleksi, tata cara Pengangkatan dan Pemberhentian, dan Tata Kerja Konsil Kesehatan Indonesia, Kolegium Kesehatan Indonesia, dan Majlis Disiplin Profesi (MDP). Mari kita telaah bersama, berdasar atas fakta terkait pemahaman menkes serta hak dan kewenangan menkes untuk mengatur soal Disiplin Profesi.
Dalam UU 17/2023 yang penyusunannya tidak memenuhi kaidah ‘meaningful participation’ dari pihak terdampak, khususnya dokter dan nakes, pada Pasal 737 tertulis : “Dalam rangka penegakan disiplin dan etika profesi, dibentuk Majlis. Majlis menegakkan disiplin berdasarkan butir-butir penegakan disiplin yang diatur oleh Menkes”. Dalam pasal 741, dijelaskan bahwa “ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, fungsi, wewenang, persyaratan, pengangkatan dan pemberhentian keanggotaan majlis serta mekanisme penegakan disiplin diatur dengan peraturan Menteri”.
Selanjutnya, pada PP No.28/2024, Pasal 717, tertulis “Majlis Disiplin Profesi (MDP) dalam melaksanakan tugas dan fungsi harus berkoordinasi dengan menteri dalam rangka menjamin kesesuaian dengan kebijakan yang ditetapkan oleh menteri. Dalam hal pelaksanaan tugas dan fungsi tidak sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh menteri, menteri dapat melakukan penyesuaian pelaksanaan tugas dan fungsi”. Dengan kata lain, MDP adalah bawahan menkes yang tugasnya menegakkan Disiplin Profesi sesuai keinginan dan perintah menkes, atau sebutan yang lebih keren ‘MDP adalah kumpulan pesuruh dan penjilat menkes’. Betapa mengerikan akibatnya bagi masyarakat penerima layanan kesehatan di masa depan, dengan penegakan Disiplin Profesi Dokter dan Nakes oleh MDP yang kompetensi dan kredibilitasnya diragukan.
Pada PMK No.12/2024, terkait mekanisme seleksi (pasal 27-30) dan tata kerja (pasal 31-33), jelas terlihat kekuasaan menkes mulai dari penetapan anggota sampai pada pelaksanaan tugas dan fungsi MDP yang semuanya harus merujuk pada PP 28/2024 Pasal 717 (…bila tidak sesuai dengan kebijakan menkes, menkes dapat melakukan penyesuaian pelaksanaan tugas dan fungsi). Jadi bisa disimpulkan menkes ini ‘Playing God’, sebagai orang yang paling tahu dan paling berkuasa menentukan Benar dan Salah mulai dari urusan nilai moral (etika profesi) sampai pada tatalaksana pengobatan penyakit yang spesifik (disiplin profesi).
Menkes yang Samasekali Tidak Tahu Beda antara Disiplin Profesi dengan Etika Profesi
Disiplin Profesi adalah ketentuan berupa pedoman tatalaksana pelayanan medis, yang biasanya tersusun dalam bentuk standar pelayanan yang spesifik untuk setiap jenis penyakit. Secara nasional, ada Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) yang disusun oleh masing-masing perhimpunan dokter spesialis. Sedangkan di setiap unit layanan kesehatan/ Faskes, PNPK ini dijabarkan dalam bentuk Clinical Pathway untuk setiap jenis penyakit sesuai dengan ketersediaan SDM dan fasilitas penunjang yang tersedia di Faskes.
Selama ini, kewenangan pengawasan atas pelaksanaan Disiplin Profesi dilakukan oleh Majlis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), sebuah Lembaga otonom dari Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), dibentuk berdasarkan UU 29-2004 tentang Praktek Kedokteran (ada 16 pasal, pasal 55-70), dan bertanggung jawab kepada Konsil Kedokteran. Keanggotaan MKDKI ada dokter, dokter gigi dan ahli hukum, lembaga yang berwenang menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmunya, untuk selanjutnya memberikan sanksi.
MKDKI adalah sebuah Lembaga pengadilan profesi, yang punya kewenangan sama dengan pengadilan, untuk menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin ilmu, dan tidak menghilangkan hak setiap orang untuk menggugat kerugian perdata ke pengadilan (Pasal 66 ayat ayat 3 UU 29-2004). MKDKI bisa memberikan sanksi disiplin berupa pemberian peringatan tertulis, rekomendasi pencabutan STR/ SIP, dan atau kewajiban untuk mengikuti pendidikan atau pelatihan tambahan. Apabila dalam pemeriksaan ditemukan pelanggaran etika maka pengaduan ini akan diteruskan pada organisasi profesi (MKEK).
Membaca ketentuan UU 17/2023, PP 28/2024, serta PMK 12/2024 tergambar bahwa Lembaga penegakan disiplin profesi (MKDKI) yang semula bagian dari institusi negara (Konsil Kedokteran) dan beranggotakan wakil-wakil dari Civil Society (berdasarkan UU 29-2004 pasal 55-70) telah diambil paksa oleh menkes dan digantikan oleh MDP yang beranggotakan para petugas menkes yang semua keputusannya tunduk pada intervensi menkes (berdasarkan UU 17-2023 Pasal 737 dan 421 yang isinya penuh dengan inkonsistensi).
Sedangkan Etika Profesi adalah ketentuan tentang benar dan salah dalam pelaksanaan profesi, dengan berlandaskan pada nilai-nilai moral. Tugas seorang dokter dalam berprofesi dibatasi oleh kompetensi serta hanya memberikan obat atau tindakan pengobatan yang telah terbukti bermanfaat secara medis (Evidence Based Medicine atau EBM). “Seorang Dokter wajib selalu melakukan pengambilan keputusan profesional secara independen dan mempertahankan perilaku profesional dalam ukuran/ standar yang tertinggi”, demikian bunyi salah satu ketentuan dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki).
Semua tindakan dokter seperti meresepkan obat-obat yang sebenarnya tidak diperlukan, atau melakukan tindakan operasi/ pembedahan yang sesungguhnya tidak perlu dilakukan adalah melanggar etika profesi. Sayangnya pelanggaran etika profesi ini tidak mungkin diketahui oleh pasien (yang sepenuhnya percaya pada keputusan dokter), bahkan tidak diketahui oleh Direktur RS, apalagi oleh kepala dinas kesehatan atau menteri sekalipun, apalagi oleh mereka yang bukan dokter.
Pedoman terkait etika profesi hanya bisa disusun oleh anggota profesi itu sendiri, bukan oleh orang lain. Orang lain di luar profesi medis tidak akan pernah tahu apakah keputusan yang diambil dokter masih sesuai atau sudah menyimpang dari etika profesi. Bahkan sesama dokter dengan spesialisasi yang berbeda akan sulit mengenali terjadinya pelanggaran etika profesi spesialis lain. Sebagai dokter Bedah Saraf, saya tidak pernah tahu kapan seorang pasien dengan penyempitan pembuluh darah koroner Jantung itu perlu dilakukan operasi bypass jantung, atau cukup dengan dipasang ring jantung, atau bahkan hanya perlu pemberian obat-obatan saja. Karena pedoman Etika Profesi hanya bisa disusun oleh Organisasi Profesi, maka dugaan atas pelanggaran Etika Profesi ditangani oleh Lembaga Majlis Kehormatas Etik Kedokteran (MKEK).
Dari penjelasan di atas, jelas bahwa Etika Profesi dan Disiplin Profesi adalah dua hal yang berbeda alias tidak sama. Dari Pasal 421 UU 17/2023 saja terlihat adanya kerancuan pemahaman menkes tentang Etika Profesi dan Disiplin Profesi ini. Apalagi dari jejak digital yang bisa diulik oleh siapapun dan dimanapun, bahwa menkes ini terbukti orang yang paling tidak tahu (alias paling blo’on) dalam urusan Etika Profesi dan Disiplin Profesi. Ketidak-tahuan alias ketidakpahaman alias kedunguan menkes tentang ini tampak dalam dialog Menkes dengan Rosiana Silalahi (Rosi-Kompas TV, 15 Juni 2023 https://youtu.be/6ZjlKBPhMRg). Dalam dialog tsb. menkes menganggap kehadiran lembaga MKEK (Majlis Kehormatan Etika Kedokteran) dan MKDKI (Majlis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia) sebagai sebuah duplikasi.
Oleh karena itu patut dipertanyakan kapasitas dan kompetensi pemerintah pusat (baca: menkes) dan pemerintah daerah (kepala dinas kesehatan yang kebanyakan bukan dokter) dalam mengawasi Etika Profesi? Apalagi secara etis dan filosofis, bahkan yuridis, tidak satupun pejabat pemerintah, direktur RS Vertikal, Kepala Dinas Kesehatan, bahkan menkes atau Presiden sekalipun yang mengerti dan memahami etika profesi dokter.
Dalam profesi apapun, Etika Profesi adalah tanggung-jawab Organisasi Profesi
Jelas bahwa pedoman terkait etika profesi hanya bisa disusun oleh anggota profesi itu sendiri, bukan oleh orang lain, disinilah peran penting dari sebuah organisasi profesi (OP). Tugas pokok dari OP adalah “Guiding the Profession-Protecting the People”, artinya tanggung jawab terbesar OP adalah menjaga para anggotanya dalam mempraktekkan keprofesiannya demi melindungi masyarakat yang memerlukan layanan profesi tersebut.
Berangkat dari kesadaran anggota profesi akan keharusan menjaga kepercayaan masyarakat dan melindungi publik (dari praktek profesi yang menyimpang, yang mencari keuntungan dengan menipu dan memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat), maka setiap OP mengatur dan membatasi perilaku anggotanya dengan sebuah regulasi etik (ethical code).
Dalam profesi apapun (Notaris, Arsitek, Akuntan, Psikolog) semua ketentuan terkait pedoman etika profesi disusun oleh OP itu sendiri, bukan oleh pemerintah ( https://himpsi.or.idi>kode-etik , https://iaiglobal.or.id>files , https://www.ini.id>images , https://iai.or.id>kode_etik ). Jelas tidak ada campur tangan atau cawe-cawe Kemenkumham dalam penyusunan maupun penyelesaian pelanggaran Etika Profesi Notaris, atau Kemenkeu terkait Etika Profesi Akuntan, maupun Kementerian PUPR terkait Etika Profesi Arsitek.
Sekali lagi, jangan dicampur adukkan antara kewenangan pemerintah untuk mengatur (government to govern) dengan hak dari organisasi apapun, termasuk OP Kesehatan, untuk menyusun regulasi internal terkait etika profesinya. Majlis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) adalah Lembaga Otonom dalam kepengurusan PB-IDI yang bertugas mengawal dan menjaga Etika Profesi Dokter serta menyelesaikan pelanggaran etika ini secara internal.
Bahkan undang-undang (UU) no.23-2022 tentang Psikolog, UU no.6-2017 tentang Arsitek, UU no.2-2014 tentang Notaris, dan UU no.5-2011 tentang Akuntan memastikan hak OP untuk membentuk Majlis Etik/ Komite Etik guna menyelesaikan pelanggaran terhadap kode etik masing-masing profesi. Dalam pedoman etik profesi setiap OP tersebut tertulis explisit bahwa maksud utamanya kehadiran Majlis Etika Profesi (MKEK pada IDI) adalah untuk melindungi masyarakat dari praktek profesi yang penuh tipu-tipu, yang memanfaatkan kepercayaan dan ketidak-tahuan masyarakat demi berburu cuan semata.
Etika Profesi Dokter dijaga oleh Sumpah Dokter dan Kodeki, Bukan oleh Menteri
Seorang dokter hanya bisa memulai kerja profesi sebagai praktisi medis setelah mengucap sumpah. Sumpah Dokter adalah sekumpulan janji yang diucapkan atas nama Tuhan (“Demi Allah”, bagi yang beragama Islam) bahwa ybs. akan selalu berpedoman pada etika dan kebenaran dalam menjalankan praktek kedokteran. Isi sumpah dokter ini diambil dari Deklarasi Jenewa tahun 1984 dari World Medical Assembly (WMA) yang isinya menyempurnakan Sumpah Hippocrates (https://id.m.wikipedia.org), dan secara resmi memiliki kedudukan hukum dalam PP No.26 tahun 1960. Isi sumpah dokter antara lain “saya akan mentaati dan mengamalkan Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI)”. Isi dari sumpah dokter ini sudah dipakai di seluruh dunia Kedokteran selama lebih dari seratus tahun sebagai pedoman nilai yang amat luhur.
Di dunia, untuk pertama kali International Code of Medical Ethic disahkan oleh WMA di London, Oktober 1949, dan kemudian diperbaharui secara berturut-turut tahun 1968, 1983, 2006 dan terakhir pada Oktober 2022 dalam forum 73rd General Assembly di Berlin. Di Indonesia, untuk pertama kali KODEKI disahkan dalam Musyawarah Kerja Susila Kedokteran Nasional, Mei 1969. Selain Kodeki, turut serta disahkan pula lafal sumpah dokter dan Aparatur Etik Kedokteran. Kodeki ini selanjutnya berturut-turut diperbaharui pada tahun 1983, 1993, 2002, dan terakhir disahkan ulang pada Muktamar IDI ke 28 di Makassar tahun 2012.
Selain Deklarasi Madrid tentang ‘Profesionally-led Regulation’ ada Deklarasi Seoul tahun 2008 tentang ‘Professional Autonomy and Clinical Independence’ yang kemudian diadopsi pada WMA General Assembly ke 69 di Reykjavik, Eslandia, tahun 2018 yang jadi inti profesionalisme medis dan dijadikan landasan untuk pelaksanaan serta pengawasan etika profesi dokter oleh IDI melalui MKEK. Dengan sumpah dokter dan kepatuhan pada Kodeki, seorang praktisi medis diharapkan bisa menjadikan sumpahnya sebagai landasan dalam melayani makhluk Tuhan yang paling mulia, manusia.
“Tugas menkes bukan menjaga etika profesi dokter, melainkan menjaga etika dan moral dirinya sendiri dan jajaran pegawai kemenkes agar tidak korupsi dan jangan bikin hoax, kan pernah ada 2 menkes yang masuk penjara karena korupsi,” demikian ucap prof Djohansyah Marzoeki, Guru Besar Unair dalam sebuah unggahannya. Ini juga mengingatkan kita akan skandal ‘pojok maut’ yang memalukan di kemenkes, yang pernah menghantui proses penempatan dokter di seputar tahun 1975-1990 yang lalu.
Peristiwa demi peristiwa akhir- akhir ini memperlihatkan bukti-bukti bahwa di mata menkes “Kuman di Seberang lautan tampak, sedangkan Gajah di pelupuk mata tak terlihat”, sebagaimana diungkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK): “Mark Up pengadaan barang di Sektor Kesehatan sampai 5000 persen”, demikian tulis Kompas.com, 24 Agustus 2023 (https://nasional.kompas.com/read/2023/08/24/19072211/kpk-mark-up-). Berikutnya adalah terkait pemeriksaan dirjen nakes Arianti Anaya dalam kasus APD Covid-19 (https://foto.tempo.co/read/116565/dirjen-tenaga-kesehatan-kemenkes-arianti-anaya-diperiksa-dalam-kasus-apd-covid-19). Selanjutnya, apa yang disampaikan oleh wakil ketua KPK, Alexander Marwata: “Kerugian atau Fraud di bidang Kesehatan adalah 10% dari pengeluaran untuk kesehatan masyarakat, atau sekitar 20 Triliun secara nominal”. (https://www.bharinindonesia.com/kriminal/119580417/mencengangkan-dugaan-korupsi-kesehatan-rp20-triliun-seret-bpjs-kesehatan-kpk-tak-pernah-tersentuh).
Semoga tulisan ini semakin membuka mata hati kita semua, termasuk para penasehat Presiden terpilih Prabowo Subianto, untuk tidak mengulang ‘Stupid Leadership’ di Kementerian Kesehatan dalam 5 tahun terakhir ini, seorang menkes yang mengatasi masalah dengan menimbulkan banyak masalah baru, yang bukannya membina hubungan baik dengan stake holder utama sektor Kesehatan (Dokter dan Nakes), melainkan hanya bisa tebar pesona lewat medsos dan membangun pencitraan lewat para buzzer yang tak jelas. Naudzubillahi Min Dzalik.
#Zainal Muttaqin, Praktisi Medis Bedah Saraf, Guru Besar FK Undip
Editor: Ariful Hakim