Ceknricek.com--Pelantikan lima penjabat gubernur oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian pada Kamis (12/05/2022) menandai era kepemimpinan penjabat kepala daerah. Sebagaimana diketahui ada 271 daerah yang masa jabatan kepala daerahnya habis pada 2022 dan 2023. Sehingga akan diisi penjabat hingga terpilih kepala daerah definitif hasil Pilkada serentak November 2024.
Para penjabat itu memiliki wewenang yang hampir sama dengan kepala daerah definitif, yang terpilih oleh aspirasi rakyat melalui kontestasi politik di dalam ajang Pilkada (Pemilihan Umum Kepala Daerah). Sementara itu, rakyat setempat tidak pernah memberikan mandat dan legitimasi kepada mereka.
Keputusan pemerintah ini kembali menimbulkan pro kontra. Lagi – lagi dianggap menciderai proses demokratisasi. Penghormatan terhadap demokratisasi sesungguhnya adalah analog dengan penegakan etika berbangsa dan bernegara yang konstitusional.
Pada acara diskusi Kompas XYZ Forum bertajuk “Penjabat Menguasai Daerah: Kebijakan Terarah vs Konservatisme Kebijakan” Selasa (10/05/2022), Prof. Djohermansyah Djohan, salah satu pembicara mengatakan, didalam tata cara penunjukan penjabat dari ASN, seharusnya dengan menerbitkan peraturan pemerintah (PP), sesuai saran pertimbangan di dalam keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Jika PP belum jadi, sementara waktu sekda bisa diangkat sebagai pelaksana harian kepala daerah.
“Materi muatan PP antara lain memastikan pengisian penjabat mengedepankan prinsip demokrasi, transparansi dalam birokrasi, kompetensi dan kondisionalitas daerah”.
Lebih lanjut, pengajar, birokrat dan pakar otonomi daerah Indonesia itu mengatakan, “Untuk memastikan terpenuhinya prinsip demokratis, perlu dibentuk panitia seleksi untuk menutup celah politik transaksional. Setiap tahapannya juga diumumkan ke publik serta diawasi KASN (Komisi Aparatur Sipil Negara) dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)”.
Djohermansyah, yang pernah menjabat Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, menegaskan, penguatan kapasitas penjabat perlu ditingkatkan melalui diklat orientasi kepemimpinan kepala daerah sebelum diterjunkan ke lapangan.
“Jadi, kita tidak bisa menggaransi mereka langsung faham soal pemerintahan daerah, harus ada diklat yang diisi oleh berbagai pihak termasuk KPK. Juga dibuat pengaturan tentang reward and punishment. Kalu ada problem kita penalti. Kalau sekarang tidak ada aturan seperti itu”.
Langkah drastis pemerintah itu dinilai sangat pragmatis. Rentan menjadi objek gugatan masyarakat sipil. Pemerintah seakan sengaja menghilangkan mekanisme pilkada sebagai hak konstitusional rakyat. Ditukar hanya dengan kewenangan tunggal dari presiden. Itupun dimandatkan atau menunjuk sub kontraktor pelaksana, yaitu Mendagri. Fakta itu semakin mengentalkan kekhawatiran masyarakat, yang mencemaskan nasib demokrasi: mengalami pembusukan oleh pemerintahan yang terpilih secara demokratis.
Salah satu rumusan dalam kesimpulan berbunyi : “Dalam proses pemilihan itu, pemerintah diingatkan bahwa, 'penunjukan penjabat bukanlah sekedar memilih administrator, melainkan penjabat politik yang harus memiliki legitimasi dan kemampuan poltik yang mumpuni”.
Belakangan mulai muncul banyak kritik terkait pemilihan penjabat kepala daerah yang tidak melibatkan DPRD. Ataupun partisipasi publik. Tentunya hal itu akan menjadi “pekerjaan rumah” yang tidak ringan. Menanti para penjabat itu. Bukan hanya membebani para penjabat kepala daerah itu sendiri. Niscaya akan membebani juga petinggi institusi pemutus kebijakan. Lebih disesalkan karena rakyat atau masyarakat luaspun sebagai “penerima manfaat”, ikut – ikutan menderita tekanan darah tinggi. Kebingungan. Menjadi tegang, strees dan frustrasi bahkan depresi dengan praktik anomali demokratisasi anti demokrasi.
Sejumlah celah perlawanan terbuka bagi pegiat demokrasi. Langkah yang dilakukan pemerintah itu cenderung memaksakan seluruh kekuasaan kontrol dan penindakan berada di dalam satu tangan. Memang tidak ada yang salah jika sentral kontrol yang disebut reward and punishment ada di wilayah eksekutif. Namun, masalahnya kewenangan itu direbut dengan mengamputasi persyaratan dasar yang lain: lenyapnya begitu saja partisipasi publik dalam hal ini peran serta aktif lembaga DPRD yang notabene representasi aspirasi rakyat.
Keputusan inilah yang mencederai etika bernegara. Hak politik rakyat dalam bentuk aspirasi publik, tidak dilibatkan dalam proses sejak awal. Padahal elemen itu penting untuk memperkaya bunga rampai legitimasi negara demokratis. Merupakan ekspressi tanggung jawab kebersamaan lembaga eksekutif dan legislatif, guna penguatan pencegahan penyimpangan kebijakan dan praktik korupsi.
Lebih dari itu, sebagai wujud penghormatan kepada semangat otonomi daerah buah UUD Otda Tahun 2004. Hasil reformasi yang membuat daerah menjadi berharga diri. Meskipun harus diakui dalam dirinya mengandung banyak juga kelemahan pada tataran implementasi.
Dikatakan di awal, penunjukan penjabat bukanlah sekedar memilih administrator. Melainkan penjabat politik yang harus memiliki legitimasi dan kemampuan politik yang mumpuni. Kritik tajam merujuk kepada pemilihan penjabat karena tidak didasari oleh pertimbangan MK. Hal mana rawan gugatan yang bisa melahirkan lagi keputusan senafas “inkonstitusional bersyarat” jilid dua.
Seperti nasib UU Cipta Kerja yang diamputasi MK memenuhi gugatan publik (yudisial review). Jika terus terjadi berkali – kali pemaksaan dan pelanggaran etika, niscaya berkali – kali pula akan digugat. Mengingatkan kita pada kesiasiaan Sisyphus dalam mitologi Yunani, Mendorong batu besar berkali – kali ke puncak gunung, namun kembali jatuh berguling ke bawah, lalu didorong kembali. Sebuah kesiasiaan. Yaa, absurditas itu!
Jalan pintas pemerintah didalam konteks penunjukan penjabat kepala daerah yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2022 dan 2023, mengundang kecurigaan “ada batu dibalik udang”. Agenda terselubung. Investasi gelap instrumen penyedot suara dukungan rakyat pada kontestasi elektoral Pemilu 2024. Akumulasi kuasa penekan terkendali ditangan eksekutif.
Pemerintah sebaiknya membersihkan diri dari anggapan secara sengaja melakukan ‘penggurunan” atau desertifikasi demokrasi. Kesan pendegradasian lahan demokrasi itu terjadi justru ketika lahan demokrasi yang relatif kering menjadi semakin gersang.
Masyarakat tidak boleh dibiarkan secara kolektif menderita penyakit tekanan darah tinggi politik akibat terpaan bertubi – tubi anomali kebijakan. Waspadai hipertensi politik terselubung itu. Bisa berujung pada histeria kolektif yang menjadi ladang (killing field) pembantaian demokrasi yang lebih luas.
*Penulis adalah wartawan senior dan pemerhati masalah sosial dan budaya.-
Editor: Ariful Hakim