Ceknricek.com--Saya sudah mengingatkan Komisi Penyiaran Indonesia atau KPI dalam rakornasnya di Bogor 14 tahun lalu. Kebetulan saya diundang menjadi salah satu pembicara. Saya katakan bahwa sejumlah televisi Free to Air (FTA) yang ada saat ini sebentar lagi nilainya akan turun. Bahkan mungkin harganya tingggal 10 persen saja dari sekarang. Karena sebentar lagi alternatif tontonan semakin banyak. Layar televisi Free To Air (FTA) atau televisi yang menggunakan frekuensi publik akan semakin ditinggal.
Saya berani mengatakan itu karena tiga hal: digitalisasi frekuensi (waktu itu masih rencana terus), internet semakin kenceng/ murah dan akan muncul media baru (media sosial). Dan tiga hal apa yang saya sampaikan itu sekarang menjadi kenyatan. Ini bahkan terjadi lebih cepat dari yang saya perkirakan akibat terjadinya Covid-19. Semua harus serba online atau virtual. Sehingga menjadi popular rapat dengan menggunakan aplikasi zoom meeting atau google meet.
Undang Undang Penyiaran yang sekarang berlaku, tentu saja, ketika televisi FTA masih analog. Undang Undang ini disahkan pada tahun 2002. Dimana jumlah pemain televisi terbatas karena vita frekuensi analog memang boros. Sehingga harga sebuah frekuensi televisi analog bisa triliunan. Akibatnya jumlah televisi berjaringan nasional hanya berjumlah belasan saja. Jadilah frekuensi analog diperebutkan karena bisnis televisi sangat menguntungkan powerful. Awalnya perizinan televisi swasta bersifat lokal. Maka pada tahun 1987 berdirilah televisi swasta pertama yaitu Rajawali Citra Televisi atau RCTI dengan izin di Jakarta oleh Kelompok Usaha Bimantara (milik Bambang Trihatmodjo) dan Kelompok Usaha Rajawali (milik Piter F Sondakh). Kemudian Surya Citra Televisi atau SCTV izin Surabaya berdiri tahun 1990 atas nama pengusaha Henry Pribadi dan Sudwikatmono. Televisi Pendidikan Indonesia didirikan tahun 1991 di Jakarta atas nama Siti Hardiyanti Rukmana atau Mbak Tutut. Andalan Televisi atau Antv yang lahir di Lampung tahun 1993 atas nama Aburizal Bakrie. Empat televisi inilah yang terjebak di awal dengan perizinan lokal. Maka ketika televisi diizikan boleh bersiaran nasional maka SCTV dan ANTV hijrah juga ke Jakarta.
Televisi awal yang paling parah terjebak perizinan ini adalah SCTV. Televisi ini sudah membangun infrastruktur televisi dan perkantoran yang luas dan mewah di Surabaya. Sehingga ketika harus pindah ke Jakarta prosesnya panjang. Bahkan bertahun tahun mengalami dua kantor pusat Jakarta dan Surabaya. Dan bekas kantor SCTV di Surabaya menjadi hutan di Tengah kota Surabaya. Sedangkan ANTV, karena bediri belakangan, belum investasi semewah SCTV. Jadi ketika pindah ke Jakarta prosesnya lebih ringan.
Televisi berikutnya yang berdiri langsung izin nasional seperti Indosiar pada tahun 1995 milik Group Salim. Globaltv yang berdiri tahun 1999 milik kelompok Ikatan Cendikiwan Muslim Indonesia atau ICMI. Awalnya televisi ini bernama Global IIFTIHAR Broacasting. Perizinan televisi diberikan kepada komunitas Muslim (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia/ ICMI) untuk menjadi televisi da’wah. Tatapi belakangan izin televisi ini, tidak jelas ceritanya, berpindah tangan ke kelompok Harry Tanoe Sudibyo.
Selanjutnya televisi FTA semakin semarak dengan berdirinya beberapa stasiun baru. Mungkin dianggap sangat menguntungkan dan bergengsi memiliki media televisi. Pada tahun 1999 berdirilah televisi berita pertama milik Media Group Surya Paloh bernama Metrotv. Disusul tahun 2001 berdirilah dua stasiun televisi yaitu TV7 milik kelompok Gramedia dan Transtv milik kelompok Chairul Tanjung. Selanjutnya tahun 2002 berdirilah televisi Lativi milik pengusaha Abdul Latief.
Tranksaksi jual beli Perusahaan pengelola televisi frekuensi analog besar-besaran terjadi pasca reformasi. Dimana kelompok Bimantara (RCTI) dan Mbak Tutut menjual, atau transaksi apapun namanya, ke pihak PT Bhakti Investama milik Harry Tanoe Sudibyo. Pada waktu itu keluarga Cendana sedang disorot publik. Untuk kelompok milik Mbak Tutut belakangan berperkara di pengadilan sebagai utang piutang. Kemudian kelompok Harry Tanoe juga membeli lagi saham Globaltv. Jadilah kelompok ini memiliki atau menguasai tiga frekuensi analog. Padahal Undang Undang penyiaran melarang kepemilikan silang ini.
Selanjutnya penjualan televisi analog gelombang kedua terjadi. Pertama Gramedia Group menjual sebagian besar saham TV7 kepada Group Transcorp. Kemudian namanya diubah menjadi Trans7. Dan Abdul Latief menjual Lativi ke Group Bakrie yang sudah memiliki Antv. Kemudian Lativi ini diubah namanya menjadi tvOne. Dan tvOne ini dijadikan televisi berita. Jadi ada dua televisi berita saat itu Metrotv dan tvOne. Transaksi terakhir televisi berjaringan terjadi ketika Spacetoon dibeli oleh kelompok Group Indika yang mengubah namanya menjadi NetTV.
Undang Undang Penyiaran lahir tahun 2002. Dengan azas reformasi dan otonomi daerah maka Undang Undang ini mengamanatkan dua hal : Diversity of Content (keberagaman isi) dan Diversity of Ownership (Kebergaman kepemilikan). Untuk mengawasi dua tujuan ini maka dibentuklah lembaga pengawas yang bernama Komisi Penyiaran Indonesia atau KPI. Berdasarkan Undang Undang ini tidak ada lagi televisi nasional. Sebagai penggantinya adalah televisi berjaringan nasional. Artinya televisi FTA harus terdiri dari perusahaan-perusahaan televisi lokal. Dan perusahaan televisi lokal ini sahamnya harus dimiliki orang daerah.
Perusahaan televisi Jakarta, untuk memenuhi kewajiban berjaringan ini, menyiasatinya dengan membuat stasiun transmisinya di daerah menjadi perusahaan sendiri. Pemilik Perusahaan televisi lokal ini karyawan-karyawan transmisi Perusahaan televisi Jakarta ini di daerah sendiri atau sanak saudaranya. Jadilah ini dianggap berjaringan dari sisi kepemilikan. Tatapi apakah siasat ini dianggap comply terhadap undang undang atau tidak. Tidak pernah ada ribut-ribut tentang ini baik dari Komisi Penyiaran Indonesia maupun Pemerintah. Semuanya berjalan seperti televisi nasional itu.
Bisa dipahami siasat ini dilakukan televisi Jakarta, selain mahal, karena perusahaan perusahaan televisi ini ada yang sudah menjadi Perusahaan terbuka di Bursa Efek Indonesia. Mereka berpedoman pada undang undang Perseroan. Kalau perusahaannya dipecah-pecah maka akan sangat berpengaruh terhadap jumlah kapitalisasinya di bursa. Tentu saja ini bisa dianggap ketidakpastian hukum juga. Maka akhirnya anteng-anteng saja semua pura-pura tidak tahu ada pelanggaran peraturan.
Begitu juga dengan kewajiban untuk memenuhi konten lokal. Artinya televisi jaringannya harus menyiarkan konten-konten lokal daerah setempat. Tentu saja ini akan sangat mahal. Tetapi disiasati oleh televisi Jakarta dengan membuat berita-berita lokal yang disiarkan secara lokal. Pastinya secara prosentasi tidak memenuhi kewajiban undang undang penyiaran. Bahkan belakangan pembuatan berita lokalnya pun dilakukan di Jakarta. Baru dikirim dan disiarkan dari daerah. Padahal maksud Undang Undang Penyiaran ini harusnya konten-konten itu dibikin dan disiarkan di daerah sehingga bisa berdampak pada perekonomian daerah. Kembali lagi ini juga tidak ada sangsi.
Dalam kaitan konten ini KPI mengeluarkan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Prosedur Penyiaran atau P3SPS. P3SPS dibuat untuk menjaga kualitas siaran agar selalu sesuai dengan norma, etika dan hukum positif Indonesia. Dengan adanya P3SPS ini para pelaku siaran menjadi tahu batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar dalam membuat program televisi.
Satu hal lagi yang harus dijadikan pertimbangan dalam membuat RUU yaitu peretingan televisi. Pereting televisi di Indonesia ini dimonopoli oleh sebuah Perusahaan Multi Nasional Nielsen. Benar-benar tidak ada pembanding. Padahal hasil peretingan ini menjadi satu-satu pegangan berbagai pihak yang memerlukan. Sehingga arah kualitas program televisi ditentukan oleh ratingnya yang dibuat Nielsen. Mungkinkah dalam RUU Penyiaran yang baru memungkinkan KPI bisa mengaudit lembaga riset ini.
Setelah dua puluh tahun lebih, tentu saja, undang undang Penyiaran tahun 2002 sudah tidak relevan lagi. Apalagi digitalisasi sudah berjalan. Sekarang televisi FTA juga bisa banyak sekali. Sekarang ini, minimal, bisa ratusan bahkan ribuan televisi FTA. Bahkan ada pemegang hak siar televisi digital kebingungan mau diisi apa. Sudah ada dua orang yang datang ke saya yang mengajak mengisi program televisi digital baru. Padahal televisi group-group besar saja sudah menderita karena iklan sudah tidak berpihak kepada mereka seperti dulu lagi.
Jadi untuk penyusunan Undang Undang Penyiaran yang baru, minimal, harus mempertimbangkan tiga hal. Pertama nilai frekuensi televisi digital tidak semahal analog dulu. Dengan frekuensi digital maka jumlah televisi menjadi banyak yang bisa ratusan bahkan ribuan. Artinya harga frekuensi digital tidak seberharga analog. Mungkin harga frekuensi televisi tinggal kenangan. Makanya aneh, saat ini, masih ada yang menbeli frekuensi digital dengan harga mahal.
Hal kedua yang harus dipertimbangkan adalah platform baru yang namanya media sosial. Penonton Youtube saja sudah mencapai 90 persen lebih dari pengguna internet. Tentu saja ini menggerus penonton televisi FTA. Mungkin penonton televisi FTA tinggal penonton Sinetron dan dangdutan. Artinya Undang Undang penyiaran yang baru mesti mempertimbangkan berkurangnya penonton FTA yang sangat signifikan.
Terakhir yang harus dipertimbangkan dalam penyusunan Undang Undang Penyiaran baru adalah internet semakin kenceng dan murah. Sekarang orang lebih memilih menonton, termasuk FTA, melalui internet. Jadi FTA hanya salah satu saja alternatif tontonan dari sejumlah tak terbatas ragam tontonan. Makanya pihak televisi FTA pun sekarang melakukan streaming siaran melalui internet. Jadi seperti apa Undang Undang Penyiaran yang baru nanti. Tentu saja harus berbeda dengan Undang Penyiaran tahun 2002 yang hanya diperuntukan untuk televisi analog. Kita serahkan kepada para anggota Dewan Perwakilan Rakyat kita terutama komisi satu.
#Nurjaman Mochtar/ Wartawan Senior
Editor: Ariful Hakim