Ceknricek.com - Pada Jumat (14/12), Presiden Joko Widodo (Jokowi) ditemui seorang kakek berusia 91 tahun di ruang tunggu utama Bandar Udara Internasional Sultan Iskandar Muda, Aceh. Ia adalah Nyak Sandang, warga Gampong Lhuet, Kecamatan Jaya, Kabupaten Aceh Jaya. Nyak Sandang dipercaya merupakan seorang yang memberikan dana obligasi di tahun 1950 untuk membeli pesawat pertama Indonesia, Dakota RI-001 Seulawah.
Ini merupakan pertemuan kedua mereka. Sebelumnya, delapan bulan lalu, Nyak Sandang pernah bertemu dengan Jokowi di Istana Merdeka Jakarta, Rabu (21/3). Kala itu, Nyak Sandang belum dapat mengenali wajah Jokowi karena menderita katarak. Sepekan setelahnya, ia menjalani operasi katarak di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta dan penglihatannya mulai membaik.
Operasi mata merupakan salah satu permintaannya yang telah dikabulkan oleh Jokowi. Pada Maret lalu, Nyak Sandang sempat dijanjikan Jokowi untuk mendapatkan operasi, dibangunkan masjid di dekat tempat tinggal, dan diusahakan untuk dapat berangkat haji.
Pada pertemuan kali ini, Nyak Sandak menyampaikan bahwa di kampungnya terdapat sebidang tanah untuk dibangun sebuah masjid. Namun, pembangunan terbengkalai dan menyisakan tiang-tiang bangunan yang tak dilanjutkan.
“Masjid engga ada di kampung?” ucap Jokowi.
Khaidar, putra Nyak Sandang menjawab bahwa hanya terdapat menasah (musala) di kampungnya.
“Nanti suruh orang cek pembangunan masjid seperti apa,” kata Jokowi pada asisten ajudannya.
Nyak Sandang juga menayakan janji akan dibantu oleh presiden untuk dapat naik haji. Namun, panjangnya antrean calon jemaah haji dan melihat kondisi kesehatannya, Jokowi menawarkan untuk ibadah umrah.
Nyak Sandang yang kini matanya telah dapat melihat lebih jelas berterima kasih atas kesempatan tersebut.
“Terima kasih, pak,” ucapnya.
Nilai Obligasi Nyak Sandang
Semua orang telah mengetahui bahwa rakyat Aceh berperan besar dalam menyumbang dana agar Indonesia memiliki pesawat pertama. Penggalangan dana yang dilakukan Soekarno dan Gubernur Militer, Abu Daud Beureueh selama dua hari, berhasil mengumpulkan dana sebesar USD 120.000 dan 20 kilogram emas. Donasi tersebut dibelikan pesawat pertama milik Indonesia.
Masyarakat Aceh hingga kini menganggap bahwa bantuan tersebut merupakan hibah untuk pemerintah. Oleh karena itu, kehebohan muncul ketika Nyak Sandang menunjukkan bukti obligasi (utang) Pemerintah RI sebesar Rp100 atas namanya. Obligasi tertanggal 9 Juli 1950 itu menjadi bkti utang yang diberikan Nyak Sandang kepada Pemerintah RI masa itu.
Setelah Nyak Sandang, muncul beberapa nama lain yang menunjukkan bukti obligasi serupa, bahkan ada yang memiliki nilai berkali-kali lipat besarnya. Syakur , Si Sein, dan Seiman Rp100, Tarmizi Rp800, Lina Rp1.500, Maksun Rp4.500, Mukti Rp4.600, dan Sulaiman Bin Abdullah Rp8.600.
Dosen Universitas Teuku Umar dan Dewan Pakar Aceh Research Institute, Zainal Putra pernah memperhitungkan nilai obligasi yang dimiliki masing-masing orang tersebut. Ia menggunakan metode bunga sederhana untuk memperkirakan nilai yang seharusnya pemerintah bayarkan kepada pemilik obligasi sebagai pelunasan utang.
Dikutip dari acehresearchinstitute, Diketahui bahwa pada tahun 1950, emas 1 gram seharga Rp4,3, harga emas sekarang adalah Rp586.223 per gramnya. Rata-rata BI rate 7,70%. Jangka waktu obligasi telah berjalan 67 tahun (perhitungan hingga tahun 2017). Dengan nilai tukar dolar saat ini Rp13.687 (Mei 2018). Total obligasi rakyat Aceh tahun 1950 adalah sebesar USD 120.000 dan 20 kg emas, maka dengan pendekatan metode bunga sederhana nilai uang yang harus dibayarkan kepada rakyat Aceh adalah sebesar Rp82,33 milyar.
Dari jumlah tersebut, 9 orang pemegang obligasi yang sudah diketahui identitasnya berhak atas Rp17,13 miliar. Rinciannya adalah sebagai berikut
Nyak Sandang, Syakur, Si Sein, dan Seiman = Rp83,97 juta
Tarmizi = Rp800 juta
Lina = Rp1,26 miliar
Maksun = Rp3,78 miliar
Mukti = Rp3,86 miliar
Sulaiman Bin Abdullah = Rp7,22 miliar
Sedangkan sisanya sebesar Rp65,198 miliar, Pemerintah RI wajib membayarkannya kepada Badan Baitul Mal Aceh, karena pemegang obligasinya tidak diketahui.