SKEMA (Sketsa Masyarakat)
1/
Ceknricek.com--Paus Kalistus (Callixtus) III lahir pada 1378 dengan nama Alfonso de Borgia. Ejaan lainnya “Borja”. Dia adalah Bapa Suci umat Katolik selama 3 tahun 120 hari (1455 -1458) sampai kematiannya tiba. Karier awalnya sebagai pengajar ilmu hukum di Universitas Lleida, Catalonia, sampai menjadi guru besar. Kecerdasan dan karismanya memikat Kerajaan Aragon era Alfonso V Sang Pemurah ( The Magnanimous) yang menjadikannya sebagai diplomat.
Saat itu Raja Alfonso sedang tidak akur dengan Paus Martinus V (1417 -1431). Borgia dengan kepiawaian diplomasi dan pengetahuan ilmu hukum abad pertengahan yang mumpuni, mampu menjembatani kedua tokoh untuk rekonsiliasi.
Takhta Suci Vatikan yang berterima kasih memberinya predikat dan jabatan terhormat sebagai Uskup Valencia. Karier Borgia moncer. Dia diangkat sebagai kardinal pada masa Paus Eugenius IV (1431 – 1447). Setelah masa jabatan dua orang Paus berikutnya (Felix V dan Nicolaus V), garis nasib mengantarkan Borgia menjadi Paus ke-209 sekaligus Paus pertama asal Spanyol.
Baru tujuh bulan menjabat Paus Kalistus III, dia perintahkan pengadilan ulang anumerta terhadap dara heroik Jeanne d’Arc (Joan of Arc) yang dihukum mati penguasa Prancis dengan tuduhan mempraktikkan sihir, menyebarkan pemikiran sesat, dan berpakaian seperti lelaki laknat. Jeanne dibakar di tiang pancang di Alun-Alun kota Rouen, Prancis, disaksikan 10.000 warga yang tak mampu membelanya. Umur Jeanne baru 19 saat nyawanya lepas.
Pengadilan ulang yang diperintahkan Paus Kalistus III dimulai November 1455 di Katedral Notre Dame, Paris, dan selesai delapan bulan kemudian, Juli 1456, di Katedral Rouen. Ada 115 saksi yang dihadirkan. Hasil akhirnya: pengadilan Jeanne sebelumnya dinyatakan ngawur. Jeanne tidak bersalah, nama baiknya dipulihkan oleh Paus Kalistus III.
Itu baru sebagian prestasi gemilang Borgia. Daftar kehebatannya masih panjang sehingga membuat salah seorang sejarawan terpenting Gereja Katolik asal Jerman, Ludwig von Pastor, penulis buku History of The Popes (1891) yang enam kali dinominasikan sebagai penerima Nobel Sastra, menyimpulkan bahwa “Kecuali untuk praktik nepotisme yang dilakukannya, Paus Kalistus III patut mendapat pujian tinggi, terutama atas energi, keteguhan dan tujuan yang ditunjukkannya dalam melindungi peradaban Barat ... memberikan teladan luar biasa kepada dunia Kristen ... dan tidak mengabaikan urusan internal Gereja.”
Tetapi kenapa ada frasa ‘kecuali untuk praktik nepotisme yang dilakukannya’? yang digunakan von Pastor, jika Paus Kalistus III sehebat pujiannya?
Selidik punya selidik, rekam jejak Paus Kalistus III menunjukkan dia pernah mengangkat dua orang keponakannya sebagai kardinal saat dia menjadi Paus. Keduanya adalah Luis de Milà y de Borgia (sebagai Kardinal Segorbe-Castellón, Spanyol) dan Rodrigo de Borgia (sebagai Kardinal Valencia). Rodrigo belakangan menjadi Paus Alexander VI (1492 -1503). Praktik nepotisme keluarga Borgia terus berlanjut ke generasi selanjutnya, melibatkan sejumlah nama kardinal dan Paus pula.
Namun karena tulisan ini bukan untuk mengupas sejarah kepausan melainkan hanya sebagai ilustrasi penjelas, maka contoh keterkaitan hubungan antara Paus Kalistus III sebagai paman dan Luis de Mila serta Rodrigo de Borgia sebagai keponakan sudah mencukupi.
Dalam praktik di Vatikan, Paus Kalistus III bukan yang pertama kali melakukan nepotisme. Ada sebutan khusus untuk itu, yakni ‘kardinal-keponakan’ (Latin: cardinalis nepos, Italia: cardinale nipote). Ini sudah lazim dilakukan Takhta Suci sejak abad ke-5 Masehi. Penyebab utama terjadinya ‘kardinal-keponakan’ adalah karena para Bapa Suci (Paus) tidak menikah. Mereka tidak punya anak kandung, sehingga memilih anak-anak saudara mereka (keponakan) untuk melanjutkan dan melestarikan jabatan yang sudah di tangan.
Praktik ini dilarang Gereja Katolik pada 1692. Salah satu faktor penyebabnya adalah buku sejarawan Italia Gregorio Leti, terbit pada 1667, dengan judul Nepotisme Kepausan, atau Kaitan Sebenarnya dari Alasan-Alasan yang Mendorong Paus untuk Menjadikan Keponakannya Berkuasa ( Il Nipotismo di Roma, o vero relatione delle ragioni che muovono i Pontefici all'aggrandimento de' Nipoti). Leti terkenal pada masanya sebagai seorang penulis bergaya satir. Lucu tapi nyelekit. Bahkan dia punya julukan "Satiris dari Milan". Sejarawan gereja Salvator Miranda menyebutkan praktik ‘kardinal-keponakan’ dilakukan sedikitnya oleh 15 – 19 Paus sebelum dilarang.
2/
Kata Latin ‘ nepos’ diserap ke dalam bahasa Inggris menjadi ‘ nepotism’. Kamus Oxford tahun 1669 menjadi dokumentasi tertulis pertama yang mengabadikannya. Sejak itu, kata nepotisme tak hanya digunakan dalam lingkup Gereja Katolik, melainkan untuk fenomena serupa dalam berbagai bidang kehidupan yang lebih luas. Dari politik, olahraga, sampai dunia hiburan.
Sejarawan dan pendeta Gereja Anglikan Inggris, William Owen Chadwick, dalam bukunya The Popes and European Revolution (1981) menyimpulkan bahwa “nepotisme merupakan ciri umum dalam pemerintahan, khususnya di mana identitas dan kesetiaan lebih ditentukan di tingkat keluarga dibandingkan di tingkat negara-bangsa.” Artinya, kepentingan mendahulukan kepentingan keluarga ditempatkan di atas kepentingan negara-bangsa menjadi ciri khas para nepotis--penjunjung tinggi hasrat nepotisme yang meledak-ledak.
Dalam kosa kata sehari-hari di Inggris dan negara-negara anggota Persemakmuran, ada ungkapan “ Bob’s your uncle” yang digunakan untuk menggambarkan nepotisme. Syahdan, istilah ini muncul ketika Perdana Menteri Robert (“Bob”) Gascoyne Cecil pada masa jabatannya (1895 – 1902) menunjuk keponakannya Arthur James Balfour sebagai Sekretaris Utama Irlandia, sehingga melempangkan jalan bagi Balfour sang keponakan menduduki kursi Perdana Menteri Inggris periode berikutnya (1902 – 1905) yang ditinggalkan pamannya.
Sejak itulah jika masyarakat Inggris menyebutkan seseorang yang jabatannya meroket karena didongkrak anggota keluarganya yang berkuasa, mereka gunakan frasa “ Bob’s your uncle”.
Jika nepotisme mengacu pada adanya hubungan keluarga dalam sebuah lingkar jabatan, maka jika tak terkait hubungan darah-- hanya pertemanan/pergaulan--sebutannya adalah koncoisme ( cronysm).
Ada dua versi tentang muasal kata ini. Pertama dari bahasa Irlandia ‘ comh-roghna’ yang berarti ‘teman dekat’. Kedua, dari bahasa Yunani chronios yang bermakna ‘jangka panjang’. Mungkin juga cronysm memiliki makna gabungan kedua arti di atas sebagai ‘teman dekat yang (memberikan manfaat) jangka panjang’.
Cronysm, atau koncoisme, adalah salah satu perusak utama prinsip meritokrasi, yang mengharuskan seseorang mendapatkan jabatan karena prestasi yang relevan. Bukan tersebab dia kawan dari seseorang yang sedang berkuasa.
Dua orang akademisi ilmu sosial dan peneliti politik Universitas Santa Clara, Judi Nadler dan Miriam Schulman, dalam buku mereka Favoritism, Cronysm, and Nepotism (2006) menyatakan bahwa “secara politik, koncoisme sebenarnya adalah penghinaan dalam bentuk praktik jual beli bantuan, seperti jumlah suara di legislatif, atau bantuan tertentu secara kelembagaan, atau memberikan jabatan duta besar yang diinginkan bagi penempatan di tempat-tempat eksotik yang diinginkan.”
Filsuf dan pujangga klasik India Thiruvalluvar-kadang disebut Valluvar saja— yang hidup pada 5 – 4 SM, dalam adikaryanya Tirukkural (Tamil: “ayat-ayat suci”) mendedah kaitan etika dan cinta dalam bingkai politik dan ekonomi dalam berkuplet-kuplet sajak.
Salah satu bagian yang menyoroti tentang nepotisme adalah cuplikan tulisannya berikut ini, “Jika Anda memilih orang yang tidak cocok untuk sebuah pekerjaan, hanya karena Anda mencintai dan menyukainya, maka dia akan membawa Anda pada kebodohan yang tak akan ada habisnya.”
Pesan Valluvar tak pernah kedaluwarsa, selama masih ada 'Paman Bob dan Nepos Sang Keponakan' yang muncul silih berganti di pelbagai negara. Selama itu pula asas suci meritokrasi tercemar racun tamak kuasa dari keluarga-keluarga digdaya yang piawai mengakali dengan segala cara.
Cibubur, 17 Oktober 2023
*Penulis adalah penerima Anugerah Sastra Andalas 2022 bidang Sastrawan/Budayawan Nasional dan National Writer’s Award 2021 Perkumpulan Penulis Nasional SATUPENA
Editor: Ariful Hakim