Pendidikan Spesialis Kemenkes: Program Ilegal yang Dipaksa Segera Buka, Bak Premanisme Berjubah Kementerian. | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Sumber: Istimewa

Pendidikan Spesialis Kemenkes: Program Ilegal yang Dipaksa Segera Buka, Bak Premanisme Berjubah Kementerian.

Ceknricek.com--Negara ini didirikan dengan tujuan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Pasal 28 H ayat 1 menyatakan hak setiap orang untuk hidup sejahtera lahir dan batin, …..serta berhak memperoleh layanan kesehatan. Pasal 34 ayat 3 menyatakan bahwa negara bertanggung-jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Selain prasarana bangunan dan sarana fisik/ peralatan diagnostik dan terapetik, fasilitas pelayanan kesehatan membutuhkan SDM profesional bidang kesehatan seperti dokter, dokter spesialis, perawat, dan bidan sesuai standar yang disepakati.

“Tidak seorangpun boleh tercederai saat mencari pertolongan” demikian menurut WHO terkait profesi kedokteran.

Kedokteran adalah profesi yang menolong, pelayanan kepada pasien adalah kepedulian, bukan jual-beli mencari untung seperti seorang bankir berburu rente. Dokter harus selalu kompeten dengan selalu memperbaharui pengetahuan dan ketrampilan profesinya demi penyelenggaraan praktek kedokteran yang mengutamakan patient safety.

“Seorang dokter wajib selalu melakukan pengambilan keputusan profesional secara independen, dan mempertahankan perilaku profesional dalam ukuran yang tertinggi," demikian salah satu ketentuan dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI).

Pendidikan dokter dan dokter spesialis bertujuan menghasilkan manusia yang memiliki kompetensi berlandaskan pengetahuan kedokteran yang cukup (body of knowledge) serta memiliki landasan etika dan profesionalitas dalam mengaplikasikan ilmunya. Untuk itu maka disusun sebuah standar pendidikan dokter dan standar pendidikan dokter spesialis setiap bidang ilmu. Semua hal terkait pendidikan calon spesialis yang begitu komplek, telah secara rinci dirumuskan dalam pelbagai macam standar (standar pendidikan, standar dosen, standar kompetensi, standar pencapaian kompetensi, standar praktek profesi, dll.) yang dibuat oleh orang orang yang paling kompeten dalam setiap bidang ilmu, yaitu para Guru Besar yang tergabung dalam Kolegium. Semua ketentuan dalam standar-standar tersebut diatas, selain memiliki landasan UU 12-2012 tentang Dikti dan PP No.4-2014, juga mengacu pada ketentuan dari World Medical Association (WMA).

Dari sejarah perkembangannya, pendidikan spesialis dimulai pada era 1960-an dengan model magang pada guru/ dokter spesialis senior/ Guru Besar di beberapa RS Pemerintah yang besar di ibukota provinsi (RSCM di Jakarta, RSHS di Bandung, RS Soetomo di Surabaya, RS Sardjito di Yogyakarta, dan RSDK di Semarang). Saat itu proses pendidikan, ujian dan kelulusan benar-benar ditentukan oleh masing-masing guru/ professor di setiap Rumah Sakit, tanpa ada standarisasi kompetensi yang bersifat nasional. Selain jumlah spesialis yang cuma 1-3 orang di RS, tidak banyak dokter yang mau bersusah payah mengikuti sekolah spesialis. Oleh karena itu mereka yang sekolah spesialis selain tidak membayar juga malahan mendapatkan gaji dari RS tempat magang (informasi dari beberapa spesialis/ professor usia lebih dari 80 tahun).

Pada awal 1990-an, dengan kemajuan dan perkembangan iptekdok yang pesat, diikuti tumbuhnya disiplin ilmu subspesialisasi, serta belajar dari best practices di berbagai negara maju, para spesialis yang tergabung dalam banyak Perhimpunan Profesi Spesialis ini (bukan Pemerintah, dan jelas bukan Departemen Kesehatan) menginisiasi terbentuknya pelbagai Kolegium Bidang Ilmu (Kolegium Pediatri, Kolegium Obstetri-Ginekologi, Kolegium Bedah di awal 1990-an, lalu Kolegium Saraf th 1996, dsb.). Tugas utamanya adalah dalam rangka menstandarisasi kompetensi lulusan, serta menjaga baku mutu pendidikan dokter spesialis. Sejak saat itu, dimulailah ujian kelulusan dokter spesialis yang berstandar nasional oleh berbagai kolegium tersebut.

Kolegium ini adalah kumpulan orang-orang terbaik yang paling faham tentang pendidikan spesialis dari setiap perhimpunan profesi spesialis. Mereka bekerja secara sukarela bukan digaji negara, dan tidak pernah menggunakan anggaran negara, jadi jauh berbeda bak bumi dan langit dengan para pejabat kemkes yang makan dan digaji dari pajak rakyat, termasuk pajak para dokter.

Jadi jelas sekali dan tidak bisa dipungkiri oleh menkes atau Presiden sekalipun, adanya fakta sejarah peran Organisasi Profesi dalam mengembangkan pendidikan profesi mengikuti standar yang bukan saja Nasional bahkan Internasional. Salah satu dampak dari perkembangan subspesialisasi ini adalah banyaknya kompetensi yang tumpang tindih/ ber-irisan antar beberapa spesialisasi. Misalnya kompetensi pengelolaan patah tulang rahang antara Spesialis Bedah plastik, Bedah Mulut, dan THT. Syukur Alhamdulillah bahwa Muktamar IDI th.2000 di Malang (sekali lagi bukan Pemerintah, apalagi Kemenkes, apalagi organisasi sempalan seperti PDSI) telah menginisiasi dan mensepakati terbentuknya Majlis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI) sebagai badan Otonom dalam kepengurusan PB-IDI, yang salah satu peran pentingnya adalah menyelesaikan semua persoalan terkait tumpang tindih kompetensi tsb. bersama dengan Konsil Kedokteran (sebagai Lembaga Negara, bukan petugas menkes).

Begitulah fakta perjalanan sejarah dan perkembangan model pendidikan dokter spesialis yang ada di Indonesia. Model ini, apapun namanya, memiliki jumlah peserta didik lebih dari 15.000 orang, dan meluluskan sekitar 2500 spesialis baru setiap tahun dengan kualitas lulusan yang setidaknya terstandarisasi nasional bahkan regional ASEAN. Wahana pendidikannya jelas di RS Pendidikan milik Negara, dan RS jejaring yang kebanyakan juga milik negara, dengan para dokter/ dosen pendidik klinis yang memenuhi standar sesuai aturan negara, dan mereka semua adalah aparat sipil negara (ASN).

Apapun ikatan kepegawaian para dosen tersebut (Kemenristek-dikbud, Kemenkes, ASN Propinsi, atau ASN Pemkot), mereka semua merupakan kepanjangan tangan negara dalam rangka memenuhi kewajiban konstitusi untuk mencerdaskan bangsa. Bahwa model pendidikan spesialis ini, administrasi dan penjaminan mutunya diampu oleh Kemenristek-Dikbud, sehingga disebut sebagai ‘university based’, adalah juga kehendak dari peraturan negara/ UU, bukan kemauan para dosennya, bukan kemauan para peserta didik, dan jelas bukan kemauan dari kolegium bidang ilmu yang merupakan badan otonom yang independen, yang faktanya memang lahir dari Perhimpunan Dokter Spesialis.

Amatlah konyol dan berpotensi merusak kalau tiba-tiba, tanpa alasan yang bisa diterima akal sehat, ada tangan negara berbaju menkes (yang bukan dokter), dan dirjen nakes (yang tidak pernah mengenal atau menjalani pendidikan spesialis, apalagi pengalaman mendidik dokter spesialis), membuka model pendidikan spesialis yang tidak jelas standarisasi nya, di wahana pendidikan yang dipertanyakan kapasitasnya untuk memberikan kompetensi yang dibutuhkan (pendidikan spesialis Obs-Gin di RS yang hanya merawat ibu bersalin, pendidikan spesialis Anestesi di RS yang hanya menangani Operasi Kanker, dan pendidikan spesialis Ortopedi di RS khusus Ortopedi, padahal tidak mungkin seorang korban trauma KLL hanya cedera patah tulang saja, bagaimana dengan gegar otaknya, bagaimana dengan robekan pada usus atau limpa-nya ).

Belum lagi bicara tentang dosen/ guru sekolah spesialisnya. Pada model ‘university based’ perjalanan karir dosen dipenuhi berbagai persyaratan terkait kompetensi mengajar, mulai dari Pekerti, AA, Sertifikasi Dosen, harus spesialis konsultan atau S3 yang semuanya diatur oleh UU 12-2012 tentang Dikti, PP No.4-2014 tentang penyelenggaraan dan pengelolaan Dikti, dan UU 20-2013 tentang pendidikan Dokter. Pada model ‘hospital based’ ini, yang jadi dosen atau guru bagaikan seorang lulusan SD yang diberi pelatihan mengajar setiap akhir pekan selama 1-2 bulan lalu dapatlah sertifikat mengajar SD. Apalagi bila tradisi kegiatan di banyak kementerian yang terprogram tiga hari (honornya untuk 3 hari, tapi pelaksanaannya mulai Jum’at petang sampai Minggu pagi), lalu jadilah dosen untuk sekolah spesialis. Kalau yang dipersoalkan jumlah institusi yang kurang karena kebutuhan akan spesialis yang cukup banyak maka kuota penerimaan bisa ditambah dengan melibatkan lebih banyak RS Jejaring, sebagaimana konsep Academic Health System yang diusulkan oleh Dewan Gurubesar FKUI (https://tekno.tempo.co/read/1710723/pendidikan-kedokteran-hospital-atau-tetap- university-based-ini-kata-dewan-guru-besar-fkui). 

Kalau persoalannya pendidikan model yang ada saat ini berbayar mahal dan peserta didik tidak dapat insentif, semuanya karena negara tidak pernah hadir. Kalau niat menkes mau buat perbaikan, bukan merusak sistem yang ada, apa salahnya untuk hadir sebagai kepanjangan tangan negara. Hapuskan itu UKT/SPP dan berikan insentif kepada peserta didik (yang memang sudah diwajibkan oleh UU 20-2013, tapi RS milik Kemenkes selalu berkelit dengan 1001 macam alasan). Munculnya program sekolah spesialis yang berbeda, dengan perlakuan yang berbeda pada peserta didik, selain bentuk perlakuan diskriminasi yang nyata oleh negara, juga akan menimbulkan dikotomi terkait hak dan kewajiban para lulusannya.

Yang paling ditakutkan, model pendidikan spesialis ala menkes-dirjen nakes ini akan berbahaya bagi pencapaian kompetensi, terpeliharanya etika profesi, dan perlindungan patient safety, tiga unsur terpenting terkait luaran pendidikan spesialis. Betapa mengerikan akibat dan ancaman yang bakal dialami oleh masyarakat penerima layanan kesehatan nantinya. Situasi ini diperparah oleh keberadaan lembaga kontrol (Konsil dan Kolegium) yang semuanya dibuat terdegradasi menjadi ‘Petugas Menkes’. Wow, tidak terbayangkan kualitas dan kompetensi lulusannya, karena di abad 21, ada model pendidikan spesialis ‘home schooling’ seolah kembali ke periode 1960-an.

Model pendidikan spesialis ‘hospital based’ yang diusung Menkes dan dirjen Nakes (yang tidak punya kapasitas untuk mendidik dokter, apalagi spesialis) ini selain tidak atau belum memiliki landasan ketentuan hukum yang baku (belum ada PP terkait UU 17-2023), dipaksakan segera dibuka dan menerima mahasiswa, seolah sebagai sekolah kedinasan dari kemenkes (sebagaimana STIP milik Kemenhub, dan STPDN milik Kemendagri). Jadi semua standar terkait kompetensi, proses pencapaian kompetensi, dan standar terkait dosen dll. (yang seharusnya sudah lebih dulu ada) ‘baru akan’/ ‘nantinya akan’ diatur oleh para ‘petugas menkes’ dibawah perintah dirjen Nakes. Ini adalah sebuah contoh praktek bernegara yang buruk dengan melompati berbagai pagar hukum dan aturan. Kehadiran RI 1 meresmikan program illegal ini otomatis memaksa kementerian lain yang hak nya terlanggar menjadi bungkam bahkan bisu menghadapi seorang ‘preman’ berbaju menteri.

Seharusnya, sebelum ketentuan dalam UU 17-2923 memiliki PP yang sah, maka sandarannya adalah tetap UU 12-2012, PP No.4-2014, dan UU 20-2013, semua dibawah kendali Dikti. Jadi acara peresmian Program Spesialis ‘hospital based’ tanggal 6 Mei lalu, yang menghadirkan RI 1, yang gegap gempitanya bak pembukaan olimpiade, sebenarnya yang terjadi adalah pertunjukan ‘premanisme’ (pemaksaan kehendak) atas nama negara oleh seseorang berbaju menkes.

#Zainal Muttaqin, Pengampu pendidikan dokter dan dokter spesialis sejak 1985, Guru Besar FK Undip


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait