Oleh Redaksi Ceknricek.com
09/13/2024, 18:01 WIB
Ceknricek.com--Sekitar 50 orang dari Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia DPC Tangerang Selatan (Permahi DPC Tangsel) berdemo di Binus Simprug, Jakarta Selatan, Jum'at (13/9/24). Mereka mendesak pihak berwajib menangani kasus pelecehan dan kekerasan (bullying) yang menimpa salah satu murid Binus.
Dalam orasinya Ketua Umum Permahi DPC Tangsel Syamsul Bahri Rumalutur mengatakan, bullying merupakan tindakan yang melanggar hak asasi manusia dan merusak martabat seseorang. Menurut Syamsul, dalam perspektif hukum, bullying dapat dianggap sebagai bentuk kekerasan, intimidasi, atau pelecehan yang dapat menimbulkan dampak psikologis, emosional, bahkan fisik pada korban.
"Secara hukum, bullying merupakan suatu bentuk kekerasan. Hal ini mengacu pada ketentuan Pasal 6 Permendikbud 46/2023 yang menjelaskan bahwa kekerasan di sekolah dapat dilakukan secara fisik, verbal, nonverbal, dan/atau melalui media teknologi informasi dan komunikasi yang terdiri atas, kekerasan fisik, kekerasan psikis, perundungan, kekerasan seksual, diskriminasi dan intoleransi, kebijakan yang mengandung kekerasan dan bentuk kekerasan lainnya,” katanya.
Permahi DPC Tangsel pun meminta polisi dan Kemendikbud ikut turun langsung menangani kasus tersebut agar tidak ada lagi korban-korban bullying lainnya. Ia berharap Presiden Jokowi, Mendikbud Nadim Makarim dan Kapolri Listyo Sigit Prabowo ikut cawe cawe agar kasus bullying yang terjadi ada kepastian hukum.
Mengutip dari siaran pers yang diterima redaksi, Jum'at (13/9/24), kasus bullying itu terjadi pada 30-31 Januari 2024 di Binus School Simprug, Jakarta Selatan. Janji sekolah untuk memulihkan kondisi korban tidak seperti yang diharapkan keluarga korban. Hal ini membuat kerugian dari aspek pendidikan korban.
Pihak keluarga juga mencantumkan hasil Visum et Repertum terhadap korban untuk menjadi bukti bahwa tindakan bullying itu ada. Pihak keluarga korban berharap sekolah mengadakan sidang etik dan mengeluarkan pelaku bullying dari sekolah. Tapi pihak sekolah hanya mengambil tindakan skorsing. Selain itu pihak sekolah juga tidak tidak membuka nama nama pelaku bullying.
Menurut pengakuan keluarga korban, pelaku bullying yang berinisial K mengintimidasi korban dengan membawa bawa nama suku. Pada saat yang sama korban juga dilecehkan dengan memegang bagian tubuh sensitifnya. K juga menekan korban untuk menjadi tameng pada saat tawuran dengan sekolah lain.
Syamsul Bahri Rumalutur kemudian membeberkan soal kewajiban sekolah yang secara hukum punya kewajiban melindungi siswanya dari tindakan bullying. Hal itu mengacu pada ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1a) UU 35/2014 yang berbunyi: "Setiap Anak berhak mendapatkan perlindungan dari satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan Kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain".
"Maka kemudian diatur juga di dalam UU yang sama bahwa pelanggaran terhadap ketentuan pasal yang telah disebut dapat dikenai sanksi pidana berdasarkan Pasal 80 ayat (1) UU 35/2014 yaitu pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp72 juta,"kata Syamsul Bahri.
Editor: Ariful Hakim