Potret Pejuang Kebenaran dan Keadilan | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Foto: Istimewa

Potret Pejuang Kebenaran dan Keadilan

Ceknricek.com--Seperti langit menangis di musim kemarau, hujan semalam turun tiba-tiba mengguyur kota jakarta. Saya masih di jalan "terperangkap" macet. Namun, hati saya betapa dahsyatnya dilanda keterharuan ketika membaca/mencermati nama - nama yang ikut menyatakan dukungan moril atas laporan ke polisi yang menimpa Dr Ir Muhammad Said Didu.

Ada sekitar 200 an nama dari sejumlah aktivis dan tokoh yang telah memberikan support serta atensi perjuangannya. Diantaranya Prof Mahfud  MD, Prof Din Syamsuddin serta sejumlah aktivis dan tokoh lainnya terus mengalir memberikan dukungannya.

Keprihatinan dan keikhlasan dukungan ini, membuktikan kata-kata Said Didu yang acap kali diucapkan bahwa " melaporkan saya untuk membungkam saya dalam menegakkan kebenaran dan keadilan  menurut saya itu salah memilih lawan !". Kalimat  lugas yang diucapkan ini dapat diartikan bahwa: tidak ada gunanya menekan Said Didu. Sebab rakyat akan tampil mengambil alih masalah ini. Dan, ucapan itu telah menemukan kebenarannya ketika melihat antusias berbagai elemen masyarakat.

Tak dapat diingkari, titik terang dari kegelapan cengkeraman oligarki, Said Didu telah muncul sebagai mentor perlawanan terhadap oligarki. Mereka, tak gentar apalagi surut dalam memperjuangkan aspirasi rakyat sekalipun menghadapi laporan ke polisi. Konsistensi dan keteguhan hati ini sama yang telah diyakini Mahfud MD sebagai seorang sahabat,  videonya telah beredar yang menyatakan "sahabat saya, said didu yang telah menyuarakan aspirasi masyarakat untuk keadilan dan kebenaran. Teruslah berjuang ".

Suara lantang itulah yang terus bergema sama ketika penulis ketemu di acara silaturahmi komunitas "pro-demokrasi". Mereka dengan amat sangat heroik mengemukakan secara gamblang sebab musabab mengapa mereka aktif melakukan  protes terhadap apa yang dilakukan oleh oligarki. Hal itu karena bertolak dari kesenjangan sosial ekonomi yang muncul dari pembangunan PIK 2. Dimana di satu sisi keuntungan finansial yang diraup (dinikmati)  oleh pihak pencetus  proyek ini sangat besar. Akan tetapi, di sisi lain masyarakat lokal justru semakin tertinggal.

Di tengah gemuruh mesin-mesin proyek itulah,  realitas sosial semakin menunjukkan adanya dominasi kekuatan di tangan oligarki dan keterpurukan (ketidakberdayaan) bagi "posisi bargaining" rakyat yang ada di lokasi sebagai korban penggusuran proyek (PSN-PIK 2) dengan 9 (sembilan) kecamatan Kabupaten Tangerang dan Serang yang luasnya bisa mencapai 100.000 Ha, serta menggusur ratusan ribu rumah dan lahan masyarakat yang tidak berdaya.

Apalagi tanpa mempertimbangkan hukum adat di tengah-tengah era pembangunan nasional. Padahal, fakta itu merupakan identitas budaya yang perlu dilindungi dan dihormati keberadaannya. Sebab peradaban hukum adat menjadi salah satunya berkaitan dengan hak-hak Ulayat tanah maupun hutan adat dimana masyarakat adat mendiami suatu tempat yang sejak turun temurun menjadi kediamannya. Inilah yang luput dari perhatian, sehingga proyek itu terkesan dipaksakan  dalam melakukan pembebasan tanah.

Atas dasar perjuangan itulah, Dr Ir Muhammad Said Didu yang kerap diberi gelar "manusia merdeka" dilaporkan ke polisi. Karena itu, untuk dan atas nama perjuangan keadilan bagi rakyat maka berbagai komponen masyarakat menyatakan rasa keprihatinannya. Lebih dari itu, sebagai bukti konkrit solidaritas mereka akan mengantar dan mendampingi Said Didu di pemeriksaan polisi besok (Selasa, 19/11/2024). Dengan komitmen, mereka mengucapkan satu kata "I Stand With Said Didu" teruslah berjuang menyuarakan aspirasi rakyat demi kebenaran dan keadilan.

Pertanyaan mendasar buat kita, bagaimana kisah perjuangan potret seorang Said Didu selanjutnya ? Tentu yang kita pahami dari semangat perjuangannya akan terus "menyala" dengan meminjam kata dalam karya Chairil Anwar "kerja belum selesai".

Akhirnya, mempertahankan dan memperjuangkan tanah rakyat adalah hak fundamental bagi setiap warga negara. Maka, dalam konteks inilah Said Didu tidak sendirian dalam menghadapi diskriminasi terhadap rakyat. Kata filsuf Rene Descartes, "jangan pernah mengubah arah perjalanan. Sejarah ternyata tidak mengenal belas kasihan yang berlaku adalah survival of the fittest". Apa yang harus kita lakukan, saya ingin menjawabnya mari memperkuat solidaritas yang berbasis hak asasi manusia sebagai hak dasar manusia.

Jakarta, Senin, 18/11/2024

#Dr H.Abustan,SH.MH  adalah akademisi


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait