Ceknricek.com--Edisi Sabtu (02-11-24) koran Singapura The Straits Times memuat laporan dari wartawannya di Jakarta tentang kasus menghebohkan gelar S-3 (Ph.D) yang diperoleh salah seorang menteri dalam Kabinet Merah Putih, pimpinan Presiden Prabowo Subianto. Menteri yang dilukiskan sebagai “high flying” (seseorang yang sangat berhasil) itu adalah Bahlil Lahadalia, kini dipercaya memangku jabatan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.
Tidak lama sesudah memangku jabatan barunya itu Bahlil diberitakan juga telah meraih gelar DOKTOR dari Universitas ternama di Indonesia, Universitas Indonesia, yang berada diperingkat ke-9 terbaik di Asia Tenggara.
Sayangnya perolehan gelar S-3 (Ph.D) itu kemudian memancing kehebohan, karena, sebagaimana luas dilaporkan media di Indonesia, dan kini juga oleh koran Singapura The Straits Times ada “sangkaan bahwa Bahlil telah memanfaatkan jasa-jasa seorang penulis-sewaan, alias joki, dalam menyusun disertasinya.”
Baru-baru ini, karena iseng, saya membaca tentang nama-nama para Hakim Konstitusi di Indonesia. Saya kemudian membaca kembali susunan para Hakim Agung Australia, yang tidak punya Mahkamah Konstitusi, namun dapat menggarap kasus-kasus yang bersangkutpaut dengan hal-hal konstitusional Australia.
Ini dia susunan Hakim Agung Australia:
- Chief Justice Gageler AC, 9 October 2012.
- Justice Gordon AC, 9 June 2015.
- Justice Edelman, 30 January 2017.
- Justice Steward, 1 December 2020.
- Justice Gleeson, 1 March 2021.
- Justice Jagot, 17th October 2022.
- Justice Beech-Jones 6th November 2023.
Seluruhnya berjumlah 7 orang hakim, dipimpin oleh seorang Hakim Ketua (Chief Justice). Yang selebihnya adalah sekadar “Hakim” (Justice), dan tanggal, bulan serta tahun di belakang nama masing-masing menandakan waktu mereka diangkat. Dan yang tertera hanya nama keluarga mereka. Nama kecil mereka tidak disertakan dalam daftar tersebut di atas.
Sederhana sekali gelar yang digunakan, meski mereka ahli dalam bidang hukum.
Bandingkan dengan susunan Hakim Konstitusi Republik Indonesia:
- Prof. Dr. Saldi Isra, S. H. ...
- Prof. Dr. Anwar Usman, S. H., M. H. ...
- Prof. Dr. Arief Hidayat S.H., M.S. ...
- Prof. Dr. Enny Nurbaningsih S.H., M. Hum. ...
- Dr. Daniel Yusmic Pancastaki Foekh S.H., M.H. ...
- Prof. Dr. M. Guntur Hamzah, S.H., M.H. ...
- Dr. Ridwan Mansyur S.H., M.H.
Di Indonesia memang banyak pengadilan. Sebut saja, selain PN (Pengadilan Negeri), PT (Pengadilan Tinggi), MA (Mahkamah Agung yang hakimnya puluhan), juga ada PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara), Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Yudisial dan Pengadilan Tipikor (Pengadilan Tindak Pidana Korupsi).
Ketika saya membaca nama-nama para hakim konstitusi itu itu, saya jadi heran juga membaca gelar-gelar akademis mereka. Tidak cukup rupanya menyebut hanya profesor. Harus dibubuhi juga dengan Dr. atau DR. Kemudian ada pula yang membubuhi di belakang namanya SH., atau M. LL., M.Sc. SS (bukan, ini bukan nama tentara elit Jerman Nazi dikenal dengan nama Gestapo, melainkan sarjana ilmu sosial), SE.; Ir. Dan macam-macam lagi.
Saya pikir kalau disebut Profesor saja sudah memadai - karena berarti bahwa berkat dan karena segala gelar-gelar yang telah dikumpulkan itulah, akhirnya gelar profesor dianugerahkan. Rupanya tidak.
Saya teringat suatu kali akan memperbaharui paspor RI saya. Petugas imigrasi, setelah melihat formulir yang saya isi dan paspor lama saya, kemudian meminta surat bukti kewarganegaraan saya; surat lahir, surat nikah dan macam-macam dokumen "terkait" lainnya.
Saya katakan "Bukankah paspor yang ini dikeluarkan berdasarkan segala surat-surat yang anda minta itu?"
"Ya," katanya, "tapi peraturan menyebutkan harus ada surat-surat itu semua."
Saya pikir ini semata-mata karena ada ketidakpercayaan pada petugas imigrasi itu bahwa paspor saya yang sudah hampir daluwarsa masa berlakunya itu telah dikeluarkan dengan alat bukti lengkap.
Kasarnya ia mungkin menduga bahwa ada permainan antara saya dan petugas imigrasi yang mengeluarkan paspor saya ini. Sebagai orang dalam tentu ia yang lebih mafhum tentang cara kerja rekan-rekannya. Akhirnya saya berhasil menyakinkannya bahwa paspor saya yang akan daluwarsa ini dikeluarkan berdasarkan segala alat bukti yang dimintanya tadi.
Jadi akan halnya gelar profesor dianugerahkan berdasarkan gelar-gelar akademis lainnya yang pernah diterimanya, hingga tidak lagi perlu disebutkan satu demi satu. Begitu pula pada hemat saya, tentang paspor saya itu.
Mungkin saja “lain lubuk lain ikannya”.
Kalau kita tanyakan kenapa perlu menggunakan sederetan begitu banyak gelar akademis, maka jawabannya memang bermacam-macam. Ada yang mengatakan supaya lebih meyakinkan; ada pula yang mengaku setelah berjuang begitu lama untuk memperoleh Drs. atau Dra. 'kan sayang kalau tidak dipajang.
Dan Drs. ini juga bermasalah untuk dijelaskan kepada orang asing, terutama yang berlatar belakang Inggris. Suatu kali saya diperbantukan pada Departemen Olahraga di Jakarta dan diminta, antara lain, menerjemahkan nama-nama sejumlah pejabat untuk dikirimkan ke luar negeri. Ketika sampai pada Drs. saya kewalahan. Dalam bahasa Inggris Drs. adalah jamak/plural Dr. (medis). Lalu bagaimana menerjemahkan Drs. Budi atau Dra. Ratna? Saya usulkan bagaimana dengan Budi B.A. (Bachelor of Arts)? Yang punya gelar menolak. "B.A. itu sarjana muda, Pak Nuim. Saya sudah doktor andus, Drs.!"
Di Australaia gelar akademis yang pertama untuk jurusan-jurusan tertentu memang B.A. – Bachelor of Arts – ada kalanya ditambah “Honours” artinya ada kelebihan, semisal mirip cum laude. Menjadi B.A. (Hons).
Tapi dalam soal gelar-gelar akademis ini yang lebih hebat lagi, konon, adalah orang India.Salah satu kelakar mengenai orang India adalah bahwa ada di antara mereka yang di kartu namanya menulis Mr. Nagalinggam (Oxford University, failed). Maklum, sekadar pernah duduk di bangku kuliah Universitas Oxford saja sudah merupakan suatu kehormatan tinggi, biar pun tidak sempat lulus.
Dalam Bahasa Inggris, Mister disingkat Mr. bukan berarti sarjana hukum seperti dalam bahasa Belanda. Dalam tahun 1950-an, di Medan, misalnya, para lulusan fakultas hukum dari Belanda atau yang lulus di Indonesia di zaman penjajahan Belanda sama sekali tidak berkenan dibilang sarjana hukum (SH) - mereka bersikeras menggunakan "meester in de rechten", disingkat Mr. Seperti Mr. Mohamad Roem. Mungkin mereka tidak bersedia disejajarkan dengan SH lulusan zaman kemerdekaan. Wallahu a'lam.
Dalam buku "100" yang kemudian diterjemahkan oleh (Alm) Mahbub Junaidi ke dalam bahasa Indonesia menjadi "Seratus Tokoh" penulis Michael Hart, menyusun daftar 100 tokoh dunia yang dianggapnya paling berpengaruh dan sukses dalam sejarah umat manusia;
Daftar 15 besarnya adalah sebagai berikut:
1.Muhammad (Nabi Umat Islam); 2. Isaac Newton (Ilmuwan Inggeris - Gaya Tarik Bumi); 3 Jesus Christ (Nabi Umat Islam, Tuhan Umat Kristen); 4 Buddha (Gautama Buddha); 5 Confucius (Filosof China, Kong Hu Cu); 6 St Paul (Rasul Umat Kristen); 7 Ts'ai Lun (Penemu kertas dari China); 8 Johannes Gutenberg (Penemu Mesin Cetak dari Jerman); 9 Christopher Columbus (Kristobal Colon, penemu Amerika); 10 Albert Einsten (Ilmuwan Swiss terkenal karena teori relativitasnya) 11 Louis Pasteur (berkat Ilmuwan Prancis ini susu menjadi lebih aman); 12 Galileo Galilei (Astronomer Italia yang kena tahanan rumah dari Gereja Katolik karena bersikeras bumi yang mengitari mata hari bukan sebaliknya); Aristotle (filosof Yunani); Euclid (Bapak Ilmu Ukur) dan Moses (Nabu Umat Yahudi, Kristen dan Islam).
Sengaja saya paparkan nama-nama ke-15 orang yang dinilai paling berhasil di dunia ini, untuk membuktikan bahwa tidak seorang pun dari mereka punya gelar Prof. Dr. Ir. SH; M. LL; D. LL, SE dan seterusnya.
Di Australia, sebagaimana umumnya dalam budaya kedokteran Anglo-Saxon, seorang dokter yang telah memperoleh ketrampilan sebagai ahli bedah atau spesialis, malahan membuang gelar dokternya, dan kembali menjadi seperti lelaki biasa Mr.
Di Indonesia, sebagaimana kita ketahui, bahkan para perwira TNI/POLRI pun merasa masih belum lengkap jati dirinya kalau tidak membubuhkan gelar-gelar akademik/kesarjanaan di belakang namanya, hingga sering kita jumpai nama seperti berikut “AKBP (Ajun Komisaris Besar Polisi) Polan, M.Kum (Master Hukum).
Almarhum Adam Malik yang pernah menjadi menteri dan wakil presiden Republik Indonesia, ketika ditanya kenapa dia tidak pakai gelar Haji di depan namanya mengatakan, “Bagaimana kalau saya naik haji sampai 2 kali, apakah akan pakai nama Haji Haji Adam Malik?”
Prajurit, Senator dan Sejarawan Romawi Marcus Porcius Cato pernah mengatakan: “Setelah aku tiada lebih baik kalau orang bertanya kenapa tidak ada tugu untuk memperingati aku daripada kenapa harus ada tugu untuk memperingati aku.”
Saya tahu banyak orang yang sangat pantas dianugerahi gelar S-4 alias "Susah lihat orang Senang; Senang lihat orang Susah." Wallahu a'lam.
Editor: Ariful Hakim