Ceknricek.com--‘’Mas, kita lanjut ngopi tentang perempuan yaa..lagi asyiik nih..hehehe, ada satu perempuan yang membetot perhatian saya akhir-akhir ini lhoo...’’
‘’Sumonggo kersa Gus..saya manut aja..tapi maaf kalau boleh menyela sebentar..akhir-akhir ini juga tengah hangat dibincangkan di media sosial..siapa sesungguhnya yang dulu melengserkan Panjenengan? Nganpunten njih Gus bila kurang berkenan..’’ sahut saya sambil menundukkan kepala sedikit takut dan sungkan.
‘’Soal siapa melengserkan siapa menurut saya koq sudah jadul, kurang relevan lagi dibahas, bahkan agak kontra-produktif di tengah suasana kejiwaan bangsa yang tengah semangat bangkit dari beragam impak negatif pandemi ini. Biarlah nanti menjadi tugas para ahli sejarah guna menelisik lebih dalam dan komprehensif berdasarkan berbagai kajian ilmiah dan aneka data yang ditemukan. Saya lebih bergairah membincangkan perempuan satu ini yang tak kalah hebat dari Mbak Puan seperti kita ngopi yang terakhir.
Menariknya, bila Mbak Puan cenderung ‘diam’ sebagaimana sang Bunda, maka beliau ini suka marah-marah bila menjumpai ketidak-beresan birokrasi dalam jajarannya...yaa bener..saya amat antusias ngobrolin tentang Bu Risma yang baru-baru ini marah-marah lagi tapi sudah damai lhoo,” wah rupanya Gus Dur updated terus akan situasi kekinian negeri kata saya dalam hati.
‘’Pembahasan tentang marah atau anger ini ternyata sudah setua sejarah manusia itu sendiri lho Mas. Sejak eranya filsuf besar Aristoteles hingga Nietzsche, Foucault, dan Girard pernah membahas perihal marah ini secara serius bingit. Dalam salah satu risalah besarnya bertajuk Rhetoric, filsuf Aristotle mendefinisikan bahwa anger is a morally ambiguous emotion. On the one hand, it is seen as a dangerous force capable of destroying relationships and overturning social order. On the other hand, anger is also recognised as a morally appropriate, and indeed required, response to offenses against oneself or those close to one.
Meskipun banyak filsuf dan pakar telah memperingatkan terhadap kemarahan yang spontan dan tak terkendali, terdapat ketidaksepakatan tentang nilai intrinsik atas kemarahan itu sendiri. Marah tidak selalu bermakna jelek, kemarahan dalam dosis dan cara yang tepat adalah obat manjur dalam memperbaiki kondisi yang tidak berjalan sebagaimana seharusnya. Namun, kemarahan yang over dosis dan dalam cara yang tidak proper tentu akan kontra-produktif hasilnya, bahkan sebagaimana disampaikan Aristoteles di atas bakal balik menciderai yang mencuatkan amarahnya. Pada titik inilah, tidak hanya Bu Risma, kita semua mesti waspada dan bijak dalam melontarkan rasa marah kita agar menimbulkan impak yang produktif bagi semua. Hal ini juga berlandaskan kajian para pakar seperti disampaikan oleh Faupel, Herrick dan Sharp (2011), ketika berhadapan dengan rasa marah, maka tiap individu akan mengekspresikannya dengan berbagai cara. Marah merupakan reaksi emosi yang wajar apabila mampu diekspresikan dengan perilaku dan cara yang efektif atau disebut juga dengan normal anger. Ketika rasa marah diekspresikan secara efektif, hal ini memberikan kesempatan bagi individu untuk belajar dan bagaimana menyelesaikan masalah dengan cara yang adaptif. Marah juga dapat diekspresikan dalam rangka untuk menghargai perasaan dan sudut pandang orang lain’’
‘’Bangsa ini juga mesti grow-up, terus bertumbuh dalam mengelola amarahnya agar tak mewujud dalam ‘amok’ suatu terminologi kemarahan tak terkendali yang membuncah jadi social unrest alias kerusuhan sosial sebagaimana pernah terjadi di tahun 1998 lalu. Tiada pihak yang diuntungkan kecuali sang provokator dan segenap bangsa dipermalukan di kancah global karena bangsa kita dikenal dalam terminologi amuk alias amok ini’’
‘’ Wis, kita rehat dulu yaa..lanjut lagi nanti ngopinya..’
*)Greg Teguh Santoso, akademisi dan pemikir bebas, sedang menempuh program Ph.D di NDHU Taiwan.
Editor: Ariful Hakim