Ceknricek.com -- Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat mengungkap konvergensi media kiwari menimbulkan disrupsi terhadap media mainstream tidak saja bisnis namun juga cara kerja wartawan di lapangan.
Hal tersebut, menurut mereka merupakan imbas dari pola komunikasi masyarakat modern yang menginginkan informasi secara instan dan membaca inti dari sebuah berita yang kemudian mengubah banyak hal.
CEO JPNN Group, Auri Jaya mengatakan, regulasi terkait media sosial perlu segera diketuk demi menjaga data pribadi masyarakat Indonesia serta menopang keberadaan perusahaan pers yang berintegritas.
Menurut dia, media massa cetak kian saat ini banyak yang tutup karena tidak mampu bersaing dengan portal media serta kepungan dari lini bisnis mesin pencari dan media sosial seperti Facebook, Twitter dan Instagram.
“Nsmun ada juga, dampak negatif dari belum hadirnya regulasi mengatur media sosial. Seperti perlindungan data pribadi bagi pengguna media sosail yang semakin masif," tuturnya dalam seminar Hari Pers Nasional 2021, Kamis (4/2/21).
Menurut Auri, pemerintah harus segera secara tegas mengatur hal ini seperti yang telah dilakukan berbagai negara. Mereka memperkarakan Google maupun Facebook terkait keamanan data.
"Di beberapa negara seperti China landasan kendali internet China adalah data. Undang-undang keamanan dunia maya yang diberlakukan pada tahun 2017 mengharuskan perusahaan internet yang beroperasi di China untuk menyimpan data pengguna di server lokal dan memungkinkan inspeksi,” jelas Aury.
Sementara itu, Wakil Ketua Dewan Pers Hendri Ch Bangun mengatakan bahwa hal ini karena minimnya penghasilan dan oplah yang terus turun, sementara harga kertas naik dan pendapatan iklan berkurang.
Perusahaan media kini beralih ke portal media dan “berdamai” dengan medsos untuk dapat bertahan dengan membuat
media online yang cenderung tidak berimbang berbasis clickbait.
"Cara ini berakibat media membesarkan media sosial dan mengecilkan peran pers sekaligus, serta melanggar kode etik jurnalistik. Tidak beda dengan medsos yang tidak peduli dengan etika dan dampak berita,” tutur Hendri.
Dia melanjutkan, dari perspektif Dewan Pers, melihat dinamika media massa yang kian mengeksplor media sosial sebagai bagian integral kegiatan mereka untuk menjangkau audiens, maka regulasi terkait media sosial sangat mendesak diwujudkan.
"Regulasi untuk medsos itu penting agar wartawan dan media memiliki pegangan operasional. Dapat berupa peraturan minimal berupa surat keputusan Dewan Pers,” ujarnya.
“Secara ideal media sosial diatur di tingkat Undang-Undang agar kedudukan hukumnya lebih kuat, tetapi amandemen UU Pers saat ini tidak ideal karena akan membuka kotak Pandora masuknya pasal baru seperti independensi Dewan Pers, izin untuk penerbitan pers, sertifikat wartawan menjadi wajib, dan pidana bagi pelanggaran kode etik jurnalistik,” tambah Hendri.
Sementara itu, dampak disrupsi digital terhadap peaksanaan pers kini kian terasa dalam hal penerapan kode etik jurnalistik. Jika media berkualitas kian berkurang akan mengakibatkan kemunduran demokrasi.
Seperti yang disampaikan pengamat media Wina Armada Sukardi. Ia menjelaskan, unsur keberimbangan sering terlewatkan akibat kecepatan dan akurasi berkejaran.
“Cenderung tercampur aduknya ruang fakta, opini dan komersial. Serta tumpang tindihnya kode etik jurnalistik dan kode etik sosial,” ujar Wina yang juga merupakan staf khusus Ketua Umum PWI Pusat.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Yasonna H. Laoly ketika membuka seminar ini mengatakan, perlunya kreativitas media untuk tetap mampu bertahan. Salah satunya adalah dengan cara konvergensi media.
“Konvergensi media adalah pengintegrasian atau penggabungan berbagai macam media ke dalam satu platform, melalui teknologi digital,” kata Yasonna.