Review 'Mangkujiwo', Kuntilanak Gaya 'The Grudge' | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Sumber: MVP Pictures

Review 'Mangkujiwo', Kuntilanak Gaya 'The Grudge'

Ceknricek.com -- Upaya pengembangan sekaligus menghidupkan kembali legenda hantu khas Indonesia, Kuntilanak coba dilakukan dalam film Mangkujiwo (2020) yang mulai tayang di bioskop-bioskop Indonesia mulai Kamis (30/1). Berbeda dengan film Kuntilanak yang sudah-sudah, Mangkujiwo fokus kepada kisah asal usul dari sang hantu itu.

Bagi yang belum tahu, Kuntilanak sendiri seperti menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia. Meski banyak yang mengatakan hantu ini merupakan kisah legenda dari Pontianak, tapi hantu ini justru lebih populer di kalangan masyarakat Jawa. Kuntilanak sendiri berarti hantu wanita yang dulunya mengandung dan mati mengenaskan.

Baca Juga: Asmara Abigail, Kuntilanak Wajah Baru

Nah dalam Mangkujiwo, asal usul si kunti ini coba dikupas lebih dalam dengan bumbu-bumbu khas Jawa kuno. Berbeda dengan film horor pada umumnya, maka film ini menggunakan pendekatan alur anakronisme, atau lompat-lompat dari urutan waktu.

Sumber: MVP Pictures

Pendekatan ini mengingatkan kita dengan film horor Jepang, Ju-On The Grudge (2002). Entah kebetulan atau tidak, memang kedua karakter hantu itu sama-sama wanita dan memiliki rambut panjang itu, dan ternyata sama-sama berasal dari dendam.

Alur anakronisme ini yang membuat penonton harus fokus menyimak adegan tiap adegan, supaya tidak kebingungan dalam mengikuti alur dan narasi cerita. Pasalnya beberapa cutting time frame yang diambil memang dibuat agak nanggung, yang membuat kita harus sering-sering mengingat potongan puzzle alur guna membentuk suatu rangkaian yang tepat.

Namun jujur saja, sebagai film yang mengklaim sebagai Origin Story dari Kuntilanak, narasi yang disajikan dalam film ini justru tak seperti menceritakan asal usul secara detail dari legenda hantu itu. Mungkin penonton akan bertanya-tanya, inikah hantu wanita yang selama ini kita ketahui? Atau jangan-jangan hanya prekuel dari Kuntilanak (2018) semata.

Sumber: MVP Pictures

Malahan barang jualan yang sebenarnya amat menarik dalam film ini adalah deretan pemeran kawakan yang membintangi film berdurasi 106 menit itu. Mulai dari sesama "Jiwo" Sujiwo Tejo, aktor senior Roy Marten dan aktris senior Djenar Maesa Ayu, aktris yang belakangan sedang naik daun dengan film-film bergenre horor Asmara Abigail, hingga ahli pantomim Indonesia Septian Dwi Cahyo.

Dan aksi mereka di depan kamera memang membuktikan kapasitas mereka di dunia seni peran. Khususnya Sujiwo Tejo yang seperti mendalang lewat karakter Brotoseno, lalu Septian Dwi Cahyo yang tampil tanpa dialog dan membuktikan pantomim bisa masuk ke film modern.

Sumber: MVP Pictures

Yang patut diapresiasi lainnya dalam film ini adalah tidak terlalu banyak menggunakan pola-pola jump scare, yang biasanya banyak di film-film horor lokal Indonesia. Sebaliknya, kesan horor dan kengerian justru lebih ditampilkan lewat adegan-adegan yang menunjukkan gore seperti pemotongan hewan, mahluk-mahluk mistis hingga slasher yang cukup blak-blakan.

Proses pengambilan gambar yang dilakukan di Yogyakarta juga membuat kesan Jawa kuno dalam film ini semakin kental. Aspek sinematografi yang disajikan juga cukup menarik dalam menggambarkan latar tempat dan detail klenik itu.

Sumber: MVP Pictures

Mangkujiwo memang mungkin tak terlalu berhasil menjelaskan asal usul dari hantu legendaris itu, tapi film ini cukup berhasil memberikan alternatif film horor di Indonesia, yang belakangan memang hanya begitu-begitu saja.

BACA JUGA: Cek LINGKUNGAN HIDUP, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini



Berita Terkait