Ceknricek.com -- Sejak pembahasan pemindahan ibu kota resmi disampaikan presiden Joko Widodo (Jokowi), wacana itu ternyata cukup banyak menyita perhatian masyarakat dan pengamat. Satu diantara mereka yang tertarik dalam pembahasan mengenai wacana tersebut adalah Sejarawan JJ Rizal.
Dalam agenda diskusi bertajuk 'Maju Mundur Pindah Ibukota', ia mengatakan pada masa lalu saat Presiden pertama Indonesia Soekarno masih memerintah, wacana pemindahan ibukota memang sudah muncul.
"Tahun 1966 di masa senjanya, Soekarno mengatakan Jakarta sebagai wajah muka Indonesia yang punya wilayah megapolitan yang besar," ujar Rizal, dalam acara yang digelar di Rujak Center for Urban Studies, Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (8/5) sore.
Karena itu, Bung Karno lebih memilih untuk meninggalkan wacana tersebut pada masa akhir kepemimpinannya sebagai Presiden.
"Ide Bung Karno di akhir pemerintahannya, sudah lagi tidak memikirkan pemindahan ibukota," jelas Rizal.
Selain Rizal, Hendro Sangkoyo, pendiri School of Democratic Economics (SDE) dalam diskusi itu juga memaparkan bahwa proses pemindahan ibukota merupakan pilihan yang absurd bagi pemerintahan.

Sumber : Istimewa
"Ini kok enteng banget ya, saya bayangkan, kalau saya orang Dayak di daerah paling runyam di Kayan, kita sudah dihajar dengan 1 juta hektar lahan gambut dan sebagainya, ini malah mau ditimpa lagi dengan Ibukota, dengan infrastruktur yang tidak bisa kita bayangkan".
Hendro Sangkoyo atau biasa dipanggil Yoyok menambahkan bahwa pemindahan Ibukota justru tidak menyelesaikan masalah, namun malah menimbulkan masalah baru.
Selain menghadirkan sejarawan dan peneliti, diskusi terbuka yang diadakan oleh Rujak Center sambil menunggu berbuka puasa tersebut juga mengundang narasumber dari Wahana Lingkungan Hidup (WALHI); Dwi Sawung dan Elisa Sutanudjaja, Direktur Rujak Center sebagai moderator.
Sebelumnya, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) telah menyambangi sejumlah daerah di Kalimantan pada Rabu (8/5).Dalam kunjungan itu, ia meninjau kawasan mana yang cocok menjadi pengganti Jakarta sebagai ibukota Indonesia.
Bappenas mengemukakan ada dua skema pemindahan Ibu kota, yakni rightsizing, dengan biaya yang diperlukan sekitar Rp 323 triliun dan skema non-rightsizing, dengan biaya sekitar Rp 466 triliun.