Saya Teruskan, Pak Azra | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Istimewa

Saya Teruskan, Pak Azra

Ceknricek.com--"Apa kabar pak?"

"Baik pak. Lagi di Padang. Slm"

"Kita sdh lama ga ngobrol pak. Nanti kalau luang kabari ya."

"Load kerja di Dewan Pers RI banyak sekali; blm lagi ngajar n seminar--waktunya makin susah. Tapi nanti sy cari waktu luang"

"Iya pak. Pastilah. Kalau luang saja. Saya bisa bertandang ke rumah juga kalau memang mungkin. Jaga kesehatan pak."

+++

Penggalan percakapan lewat pesan whatsapp di atas berlangsung hari Rabu minggu lalu. 14 September 2022 sekitar jam setengah delapan pagi. Pak Edi -- demikian sebagian rekannya menyapa beliau -- adalah salah seorang yang selalu menyemangati saya untuk menyelesaikan penulisan gagasan 'neraca ruang'.

"Perkembangan otonomi daerah kita macet, prof. Hal yang dibicarakan hanya soal politik dan pemilihan kepala daerah. Soal kapasitas dan kemandirian fiskalnya tak ada yang menyentuh. Sebetulnya mengherankan. Bagaimana mungkin mereka membangun jika tak punya sumber pendapatan memadai. Soal kepiawaian pemerintah daerah dalam hal itu, tak ada yang gubris. Termasuk oleh masyarakat yang menjadi konstituen kepala daerah maupun politisi masing-masing."

Dalam beberapa kesempatan, saya memang menggunakan ketimpangan wewenang dan kapasitas pemerintah daerah sebagai argumentasi ketidaksetujuan terhadap pemindahan ibukota ke Kalimantan Timur. Pemindahan pusat kekuasaan tentu bukan rumus ajaib yang mampu memeratakan pertumbuhan dan kemampuan membangun daerah-daerah. Apalagi ditingkahi dengan 'nafsu membabi-buta' me-resentalisasi-kan kekuasaan pemerintah pusat. Sebagaimana tercermin dari pemberian peran dan wewenang berlebih kepada BUMN. Juga penerbitan omnibus law yang disebut sebagai UU Cipta Kerja itu.

"Saya sudah tua. Apa yang ada sudah lebih dari cukup. Anak-anak pun sudah besar. Sama dengan pak Jilal. Saya juga pendukung Joko Widodo. Walau begitu, mengkritisi kebijakan-kebijakannya yang keliru tetap harus disuarakan."

Begitulah  petisi penolakan gagasan IKN tempo hari bermula. Kemudian disambut juga oleh Agus Pambagio dan Faisal Basri. Masing-masing dengan argumentasi teknokratiknya dengan kesimpulan sama:  tak sependapat dengan gagasan maupun alasan pemindahan ibukota Negara itu.

+++

Rabu pagi kemarin, setelah sekian lama terjerumus dengan kesibukan masing-masing, tetiba saya teringat dengannya. Sejak dilantik menjadi Ketua Dewan Pers, beliau memang semakin sibuk. Terlihat dari frekuensi pesan-pesan yang kerap dikirimnya. Baik pada grup-grup percakapan yang kebetulan kami secara bersama hadir di sana. Maupun melalui jalur pribadi.

Saya dan pak Azra terakhir kali bertemu sekitar akhir Mei lalu. Waktu itu dia mengundang makan siang di salah satu restoran Padang di Jakarta Selatan. Almarhum datang bersama istri dan putrinya. Istri saya kebetulan berhalangan hadir. Dia baru saja diumumkan resmi sebagai Ketua Dewan Pers terpilih. Maka kami pun berdiskusi tentang tantangan kontemporer lembaga itu. Terkait maraknya sosial media dan jurnalisme warga hari ini. Sesuatu yang jelas-jelas ada tapi belum terjangkau ataupun menjangkau Dewan Pers. Hal yang juga menjadi perhatiannya ketika menerima amanah memimpin lembaga kehormatan tersebut. Beberapa hari sebelum kami bertemu, saya sempat menuliskannya juga di laman ini (lihat 'Digitalisasi Dewan Pers', 22 Mei 2022).

Di sela pembicaraan, saya sempat menyampaikan fenomena surutnya 'marwah' otonomi daerah kita. Dari penelusuran realisasi anggaran seluruh daerah di Indonesia,  sejak 2010 hingga sekarang, porsi dan peran APBN terhadap pendapatan daerah, tingkat provinsi maupun kabupaten kota, semakin dominan. Bahkan banyak yang porsinya meningkat hingga 2 kali.

"Hal paling menarik, pemerintahan daerah masing-masing seperti menikmati ketidak berdayaan itu, pak. Sebab, hampir tak ada yang menyuarakan ketidak-mampuannya. Mereka seperti lebih bersuka ria untuk beradu piawai mendekati pemerintah pusat. Kementerian maupun DPR. Agar mendapat suntikan lebih besar untuk menutupi kebutuhan daerah masing-masing."

"Ayolah pak Jilal. Segerakan penyelesaian tulisan neraca ruang itu. Saya sangat menantikannya."

Rabu pagi itu, rasanya saya seperti mahasiswa yang sedang menulis skripsi tapi tak memenuhi tenggat dari dosen pembimbing. Maka saya perlu menemuinya untuk menjelaskan duduk perkara. Bahwa belakangan saya sibuk hilir-mudik ke berbagai daerah dan cerdik-pandai untuk menjajakan dan mendiskusikan hal tersebut.

+++

Perkenalan saya dengan Prof. Azyumardi Azra berlangsung saat masih bekerja di RCTI awal tahun 1990-an lalu. Waktu itu Andy Ralie, presiden direktur lembaga penyiaran televisi swasta tersebut, diminta mengisi acara kegiatan pesantren eksekutif kelompok usaha Bimantara. Saya diminta mempersiapkan materinya. Tentang peran media massa dalam syiar Islam di era kehidupan rasulullah Muhammad SAW. 

Bagi saya pribadi, materi yang dimintakan tersebut, amat sangat sulit dikerjakan. Bahkan hampir mustahil memahaminya. Pertama, saya tak memiliki pengetahuan memadai soal sejarah perkembangan Islam. Kecuali hal-hal yang disampaikan guru agama selagi di bangku sekolah. Kedua, industri media sendiri merupakan hal yang baru saya geluti belakangan. Baru sejak setahun-dua sebelum permintaan menyiapkan materi presentasi waktu itu. Setelah saya diminta bergabung ke stasiun televisi swasta tersebut.

Beruntung dalam mengerjakan tugas sehari-hari yang diamanahkan di sana, saya diberi wewenang untuk memiliki beberapa asisten. Salah seorang adalah sahabat kecil saya yang juga rekan seangkatan saat kuliah di ITB dulu. Dialah yang kemudian menyarankan agar kami menemui narasumber yang mumpuni soal pengetahuan terkait materi yang akan dipersiapkan.

"Mungkin kalau tanya pak Azyumardi Azra, kita bisa mereka-rekanya lebih baik," katanya.

Maka saya segera meminta bantuan Nuri, sekretaris pribadi waktu itu, mengatur pertemuan dengan pak Azra segera. Malam itu juga, saya dan Ucok Dayat, diperkenankan bertamu ke rumah guru besar UIN Syarif Hidayatullah yang dulu masih disebut IAIN itu. Beliau bercerita panjang-lebar yang sangat asing di telinga saya. Tapi cukup dipahami Ucok Dayat. Sebab, sahabat kecil saya itu, memiliki banyak bacaan yang cukup tentang sejarah perkembangan Islam. Setidaknya dibandingkan dengan saya pribadi. Pak Azra pun meminjamkan sejumlah buku untuk melengkapi referensi penjelasannya.

Tiga hari kemudian, pesantren kilat dengan tema seperti dijelaskan di atas tadi, sukses diselenggarakan di Jatinangor, Bandung. Lengkap dengan peragaan materi audio visual  yang digunakan untuk merepresentasikannya.

Setelah itu, saya baru kembali bertemu dengan prof. Azyumardi Azra saat beliau diundang Dewan Kesenian Jakarta menyampaikan Pidato Kebudayaan di Taman Ismail Marzuki. Waktu itu kebetulan bertepatan saat saya diminta menjadi Direktur Eksekutif Pusat Kesenian Jakarta tersebut.

+++

Keinginan kami untuk segera bertemu kembali belum terselenggara. Tapi hanya berselang hari setelah percakapan lewat pesan digital di awal tadi, kabar musibah kesehatannya saat dalam perjalanan ke Kuala Lumpur Malaysia akhir pekan kemarin, menyebar di gawai telefon kita. Pak Azra dilarikan ke rumah sakit setelah merasakan gangguan pernafasan saat masih di atas pesawat dalam perjalanan ke negeri jiran itu..

Terkesiap saya membacanya. Perasaan dalam hati pun ikut menciut. Sekuat tenaga saya menepis bayangan buruk yang berkelebat di fikiran.

Minggu siang kemarin, 18 September 2022 lalu, pak Edi, profesor Azyumardi Azra, rupanya menepati janji dengan sang Khalik. Pulang kembali ke haribaan Nya. Mengakhiri perkelanaannya di dunia fana yang gelisah ini.

Innaa lillahi wa innaa ilaihi rojiuun.

Semoga saya diperkenankan menunaikan janji menyelesaikan tulisan itu, prof. Beristirahatlah guruku yang kebaikan hatinya lebih luas dari samudera.

Mardhani, Jilal -- 20 September 2022.


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait