Oleh Prof. Tjipta Lesmana
11/01/2024, 11:05 WIB
Ceknricek.com--Suatu hari, sekitar 10 tahun yang lalu, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dijabat oleh Prof. Satryo Soemantri Brodjonegoro menerima kunjungan saya di kantornya.
Hubungan kami memang sudah cukup akrab. Maka, langsung saja saya berkilah: “Prof. Satryo, di luar santer sekali berita Bapak banyak mengganjal para calon doktor sehingga sulit lulus”. Prof. Satryo tersenyum mendengar kalimat saya itu, sambil menjawab dengan suara rencah: "Oh, saya sudah dengar Pak Tjip".
"Maaf Pak Prof. bagaimana tanggapan Bapak?”dengan gerak simpatik, sang Dirjen menggandeng tangan saya, mengajak saya masuk ke dalam kantornya dan duduk di kursi yang menghadap meja panjang berisikan tumpukan tinggi berkas-berkas tebal. “Saya persilakan Pak Tjipta yang idealis membaca satu per satu disertasi di meja ini, lalu berikan pendapat Anda tentang kualitas disertasi ini".
Sampai di sini, wajah Prof. Satryo berubah, wajahnya yang jengkel, campur marah tidak bisa disembunyikan. Diambilnya satu dua naskah disertasi itu, lalu dibanting ke meja: “Mana mungkin saya ACC tulisan-tulisan yang begini jelek, Pak Tjipta!!! Biar saya dikecam oleh siapa pun, saya emoh menyetujui disertasi-disertasi yang begini jelek!”
Penasaran untuk ”mengecek” kebenaran pendapat Prof. Satryo, saya pun duduk di ruang kerja beliau selama satu jam lebih membolak-balik beberapa naskah disertasi di ruang kerja Pak Dirjen. Memang tidak salah pendapat beliau! Tentu, sebagai ilmuwan yang bersih, Prof. Satryo emoh melunak apalagi “kecemplung” dalam praktik-praktik "pelacuran akademi”.
Prof. Satryo Sumantri Brodjonegoro oleh Presiden Prabowo kini dipercaya sebagai Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi. Jabatan yang lebih berat daripada Dirjen Pendidikan Tinggi 10 tahun lebih yang lalu. Belum 10 hari menjabat urusan Pendidikan tinggi, beliau masih “berdiam diri”, belum bersuara apapun terkait urusan Pendidikan tinggi; juga belum mengeluarkan pendapat apa pun tentang ramai-ramai perihal gelar Doktor salah satu Menteri Kabinet Merah Putih, Bahlil Lahadalia, Menteri ESDM.
Selama seminggu terakhir, banyak sekali perbincangan umum di media sosial dan televisi khususnya, tentang gelar Doktor Bahlil yang diragukan keabsahannya. Aneh, mendapat “serangan” dan kritik yang begitu keras, kenapa pimpinan Universitas Indonesia tetap bungkam. Nama baik UI benar-benar tercoreng. Jika cerita-cerita buruk itu semata-mata fitnah, ya bantah saja dengan argumentasi yang kuat.
Saya masih ingat ketika hendak meninggalkan universitas saya, University of Chicago, Academic Adviser saya, Prof. Donald J. Bogue, Ph.D., memanggil saya di kantornya. Dengan suara tegas dan serius, ia berkilah: “Mr. Lesmana, never forget that University of Chicago is one of the most well known university in the world. Selalu jaga nama baik universitas kita ini!” Ketika itu, tidak ada satu pun mahasiswa Indonesia yang sekolah di University of Chicago yang tidak kenal, bahkan yang tidak menghormati Prof. Donald Bogue, termasuk Amien Rais, dan Nurcholish Madjid (alm).
Sebagai alumni bahkan dosen cukup lama Universitas Indonesia (Fisip jurusan Komunikasi dan Kajian Administrasi Rumah Sakit, Kars), saya merasa malu mendapatkan almamater saya itu, tiba-tiba dicoreng oleh kasus Bahlil. Bagaimana pun, UI hingga kini masih berkibar namanya, sebagai salah satu universitas terbaik di negara kita.
Melalui forum ini, saya imbau kepada Prof. Satryo Soemantri Brodjonegoro, kawan lama saya yang kini menjabat Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi untuk segera bersuara menjernihkan kasus gelar Doktor Bahlil. Pimpinan Universitas Indonesia juga tidak boleh diam!
#Prof. DR. Tjipta Lesmana, M.A., Alumni DR. Komunikasi UI, Dosen Ilmu Komunikasi dan KARS UI
Editor: Ariful Hakim