Ceknricek.com -- Setelah 29 tahun mengail cuan di Indonesia, Rabobank akhirnya menurunkan bendera bisnisnya. Pada akhir April 2019, PT Bank Rabobank International Indonesia resmi tutup. "Pemegang saham pengendali telah memutuskan untuk menghentikan operasional Rabobank Indonesia," tutur Presiden Direktur Rabobank Indonesia, Jos Luhukay.
Pernyataan Jos ini disampaikan dalam suratnya kepada para nasabah yang dikutip banyak media massa, Selasa (30/4). Surat permohonan izin penutupan kantor cabang sudah disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan atau OJK. Penghentian operasional tersebut akan dilakukan secara bertahap.

Sumber : Tribunnews
Soal kenapa bank ini memilih tutup masih menjadi rahasia pemiliknya. Hanya saja, jika menilik laporan keuangan yang dirilis terakhir pada September 2018 bank asal Belanda ini kondisinya memang meriang. Rabobank menderita rugi Rp132,21 miliar. Padahal pada September 2017 masih menikmati untung Rp10,26 miliar.
Rabobank yang merugi ini agak kontradiktif dengan kinerja perbankan secara umum yang terus mencatatkan pertumbuhan positif, baik dari sisi laba, aset, serta penyaluran kredit.

Sumber : CNBC
Pada periode itu, Rabobank mencatatkan pertumbuhan kredit sebesar 13,23% menjadi Rp9,43 triliun dibandingkan dengan akhir 2017. Kualitas kredit atau rasio kredit bermasalah kotor naik menjadi sebesar 3,58%. Pada September 2017 rasio kredit bermasalah sebesar 2,86%.
Lalu, dari segi penghimpunan dana, juga terjadi penurunan 6,17% menjadi Rp7,46 triliun dibandingkan dengan akhir 2017.
Kemungkinan Dialami Bank Lain
Sejatinya, kinerja Bank BUKU II ini mulai memburuk sejak akhir 2015, sebagai pengaruh tantangan ekonomi global. Bank ini merugi Rp717,03 miliar disertai lonjakan kredit bermasalah dengan rasio nonperforming loan (NPL) gross sebesar 8,41% dari sebelumnya 3,45% pada akhir 2014. Sejak periode itu sampai 2018 lalu, kinerja perseroan naik turun.
Menurut Direktur Riset Center of Reform on Economy (CORE), Piter Abdullah, kondisi itu diperburuk oleh tantangan di sisi likuiditas. Penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) perseroan tercatat di bawah penyaluran kredit.
“Hal ini setidaknya merupakan warning terkait segmentasi atau bahkan ketimpangan persaingan perbankan di Indonesia,” katanya, kepada Bisnis, Kamis (2/5). Apa yang terjadi di Bank Rabobank besar kemungkinan dialami juga oleh bank-bank lain khususnya di BUKU I, II, dan juga BUKU III.
Piter mengingatkan ini harus menjadi bahan kajian penting semua regulator mulai dari OJK, Bank Indonesia (BI) hingga Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Diperlukan upaya yang lebih serius dari regulator untuk menyehatkan persaingan perbankan antar BUKU.
Kasus tersebut juga mengingatkan kita bahwa kondisi perbankan di Tanah Air sangat tersegmentasi. Ada perbedaan signifikan antara bank BUKU IV dengan BUKU III, II dan I khususnya lagi dengan bank-bank kecil BUKU I dan II.
Kinerja sektor perbankan tampak bagus lantaran lebih dari 80% didominasi bank bermodal besar yang menunjukkan kinerja sangat baik dalam beberapa tahun terakhir. Ini menutup semua permasalahan yang ada pada bank-bank cilik.
“Kita tidak cukup aware kalau ada permasalahan di beberapa bank khususnya bank kecil, termasuk yang terjadi di Bank Rabobank. Berhentinya operasi Rabobank saya kira mengindikasikan semakin ketat dan tidak berimbangnya persaingan perbankan di Indonesia,” ujarnya.
Kecenderungan penurunan return on equity (ROE) perbankan dapat menjadi penyebab para pemilik modal bank berhenti berbisnis, khususnya untuk bank-bank yang memiliki cost of capital yang tinggi. Akan tetapi, dalam kasus ini, seharusnya Rabobank bisa bertahan mengingat bank asing biasanya memiliki cost of capital yang lebih rendah.
Alternatifnya ROE menurun disebabkan makin ketat dan tidak berimbangnya persaingan di bisnis perbankan di Indonesia. Maraknya teknologi finansial atau tekfin ikut menambah ketatnya persaingan sebab bank yang memiliki basis nasabah besar seperti BUKU IV akan lebih berpeluang memanfaatkan teknologi untuk mendapatkan keuntungan yang semakin besar dari pendapatan fee dibandingkan bank kecil.
Deputi Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Institute, Sukarela Batunanggar, memaparkan persoalan yang dihadapi perbankan bila tidak segera melakukan perubahan dalam menghadapi era disrupsi teknologi. "Cepat atau lambat kalau bank tidak melakukan perubahan maka bisa terdampak. Secara global hampir 60% nanti portopolio perbankan at risk, artinya berpotensi menurun kalau tidak melakukan perubahan secara konsisten," ujar Sukarela di Jakarta, Kamis (2/5).
Rabobank mulai berekspansi ke Indonesia pada 1990 lewat PT Bank Rabobank International Indonesia. Rabobank Group berpusat di Utrecht, Belanda. Bank ini berfokus dalam penyaluran kredit di sektor pangan dan agribisnis.
OJK menyampaikan telah mengetahui perihal hengkangnya bank asal Eropa itu. Namun, menurut Juru Bicara OJK, Sekar Putih Djarot, pihaknya masih menunggu laporan dari Rabobank terkait rencana penutupan operasional serta langkah-langkah pemenuhan kewajiban kepada nasabah dan pihak terkait.
“Ini terkait wacana konsolidasi bisnisnya ke Singapura. Sebagai regulator, jika wacana dijalankan, kami akan memastikan bahwa seluruh hak dan kewajiban kepada pihak terkait akan terjaga dan terlindungi dengan baik. Kemudian agar pihak Bank untuk segera melaporkan rencana tersebut ke kami,” kata Sekar.
Mereka yang Hengkang
Sejatinya, bukan hanya Rabobank yang tak tahan bersaing di negeri ini. Jauh sebelum ini ada sejumlah bank asal Eropa yang terpaksa cabut. Mereka antara lain Bank RBS Indonesia, Bank Barclays Indonesia, dan PT Bank Credit Agricole Indosuez.

RBS. Sumber : Jurnal Tr@msport
Bank RBS Indonesia tutup pada 2018 setelah OJK mencabut izin usaha bank ini yang sudah beroperasi sejak 1969. Pencabutan izin dilakukan atas permintaan kantor pusat RBS di Belanda yang disampaikan pada OJK pada 1 November 2016.
RBS berhenti beroperasi karena induk usaha mengubah strategi bisnis perusahaan. Selain menutup bisnis di Indonesia, RBS pusat juga menutup operasi di 24 negara lainnya.

Barclays. Sumber : BullionStar
Sedangkan Bank Barclays Indonesia tutup pada 2010. Bank ini merupakan bank internasional yang paling cepat meninggalkan Indonesia. Bank asal Inggris ini masuk Indonesia pada 2008 dengan mengakuisisi Bank Akita dan mengganti nama perusahaan jadi Bank Barclays Indonesia. Pada 2010 Barclays menutup bisnis ritelnya di Indonesia sebagai bagian dari reorganisasi bisnis Barclays Group.
Selanjutnya, Royal Bank of Scotlandia (RBS) cabang Indonesia. Bank yang berstatus kantor cabang bank asing (KCBA) itu menutup seluruh kegiatan operasinya mulai 2017. Selain di Indonesia, RBS juga menutup jaringan bisnisnya di 25 negara. Di Indonesia, RBS mencatatkan rugi senilai Rp14,64 miliar pada kuartal III/2016.
Sekitar satu dekade sebelumnya, ada bank asal Prancis yang memutuskan hengkang dari Indonesia. Bank itu adalah PT Bank Credit Agricole Indosuez. Dikutip dari Bank Indonesia, izin usaha Bank Credit Agricole Indosuez dicabut pada 27 Januari 2003. Pencabutan izin itu atas permintaan pemegang saham bank tersebut.

Indosuez. Sumber : Jahia
Bank Credit Agricole Indosuez sudah beroperasi di Indonesia sejak 1994. Sebelumnya, bank itu bernama PT Indosuez Indonesia Bank.
Alasan utama bank asal Prancis itu tutup adalah memburuknya kinerja perseroan. Upaya restrukturisasi kredit dan penambahan modal yang sudah dilakukan tidak mampu menyelamatkan bank tersebut.