Ceknricek.com--Sorop atau Surup dalam keyakinan masyarakat Jawa di desa adalah pergantian waktu saat hari sudah berangkat senja. Saat itu, makhluk halus biasanya mulai bermunculan. Maka dalam mitos Jawa, anak anak sebaiknya jangan keluar rumah. Jendela dan pintu rumah seyogyanya ditutup.
Bagi etnis Jawa, ketika mendengar judul film ini, imajinasi langsung melenting terkait jalan cerita tak jauh jauh dari hantu, dedemit, banaspati, tuyul dll, yang akan jadi rujukan. Tentu berlandas pada konflik manusia, sebagai pakem tunggal cerita sebuah film agar bisa dinikmati secara dramaturgi.
Ini kejutan pertama, dari banyak kejutan yang ditangan sutradara Sartri Dania Sulfiati atau biasa disapa Upi, ternyata jauh dari perkiraan penonton. Sorop, dalam film ini, ternyata ritual Puasa Sorop -sebuah lelaku yang ditempuh untuk membalas sakit hati kita pada perlakuan orang orang yang kita benci.
Cerita dalam film ini memang tak lepas dari basic cerita aslinya yang diangkat dari thread Sorop yang belum selesai. Perjuangan dua kakak-adik, Isti dan Hanif, untuk keluar dari rumah angker yang dieksploitasi sepanjang film bergulir, berakhir dengan anti klimak alias tidak sesuai harapan penonton.
Bagi Manoj Punjabi, produser film ini, teknik ini mungkin bagian dari trik marketing untuk melanjutkan ke sekuel Sorop. Alasan ini cukup masuk akal, lantaran kondisi saat ini dianggap ideal, karena pangsa pasar film horor yang menggiurkan di tahun 2024 yang sudah meraup 76 juta penonton dengan market share 65 persen.
Sementara bagi calon penonton, mungkin bisa menimbang, apakah senang dengan model film yang tidak berakhir dengan happy ending. Tentu saja ini kembali pada subyektifitas calon penonton, meski secara keseluruhan, sebagai sebuah hiburan, Sorop bisa membuat kita terus terpaku di kursi bioskop, karena jalinan ceritanya yang terbilang "serius".
Seperti kita menonton akting Cillian Murphy di Film Oppenheimer, kita akan kehilangan benang cerita jika lengah sedikit, lantaran banyak scene back story yang digunakan Upi untuk membuat bangunan cerita. Tapi menariknya justru dengan memelototi secara serius, pertanyaan demi pertanyaan silih berganti muncul, yang sengaja disimpan Upi untuk jadi kejutan.
Di awal awal film, seperti kata Upi, cerita memang berjalan agak lambat. Dua bersaudara Isti dan Hanif disuruh pulang ke Solo, karena pakdenya tidak kunjung meninggal. Si pakde ini terus memanggil Isti dan Hanif. Setelah sang pakde meninggal, keanehan demi keanehan mereka alami yang membuat satu pertanyaan terlontar,"Apa yang telah terjadi dengan keluarga mereka hingga musibah itu terus berulang".
Cerita lantas bergulir seperti laiknya film horor. Bagaimana cara Isti dan Hanif keluar dari rumah itu. Benar apa yang dikatakan Upi, ia sebisa mungkin menghindari scene jumpscare alias munculnya seorang tokoh secara tiba tiba yang mengagetkan. Tapi tentu saja tanpa scene jumpscare, sebuah film horor akan terasa hambar. Di sini, Upi berhasil memberi takaran yang pas, hingga klaimnya sebagai film horor dengan "warna" lain mendekati kenyataan.
Hanya saja, yang mungkin agak "mengganggu" -atau ini versi lain Upi untuk menyuguhkan horor dengan "warna" lain, yaitu stereotip arwah jahat yang masih mengenakan daster putih panjang. Dengan cerita yang jauh dari sosok kuntilanak, banaspati, genderuwo dan sebangsanya, arwah jahat itu masih punya daya tarik lewat akting pemain, tanpa kewajiban memakai kostum kuntilanak.
Begitu pula sosok dukun yang digambarkan memberi ageman untuk mengusir sosok arwah jahat itu. Bukankah dukun selama ini identik dengan kekuatan "hitam" yang terasosiasi dengan iblis dan balakurawanya, dan berbeda dengan sosok ustaz yang kebalikannya? Tapi lagi lagi, kita berfikir positif mungkin Upi ingin memberi "warna" lain. Artinya, bukan hanya ustaz, ajengan atau kyai yang mampu melawan kekuatan arwah jahat. Dukun juga bisa.
Jika meminjam istilah Pak Tino Sidin untuk mengomentari film ini dengan satu kata ya; Bagus. Minimal tidak begitu mengecewakan bagi seorang sutradara genre drama seperti Upi yang mengaku ini debut pertama kali menyutradarai film horor. Ada tawaran lain yang bisa kita nikmati dan Upi beserta kru menjaga kepercayaan itu.
Sambil menunggu sekuelnya, Upi atas persetujuan Manoj mungkin bisa menjelaskan di film Sorop kedua apa dasar Puasa Sorop karena kurang familiar di telinga penggemar urban legend. Begitu juga asal usul panggilan Sinom, yang mendominasi seluruh alur film. Selebihnya, film ini bisa jadi alternatif bagi mereka yang masih pacaran, untuk mendapatkan moment moment romantis, saat pasangan kita mencoba menggenggam tangan lantaran gedoran rasa takut!
Editor: Ariful Hakim