Stigma LBGT dan Vonis Untuk "Kucumbu Tubuh Indahku" | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Foto: Tempo

Stigma LBGT dan Vonis Untuk "Kucumbu Tubuh Indahku"

Ceknricek.com -- Pelarangan terhadap peredaran film di daerah tertentu di Indonesia kembali lagi terjadi. Kali ini menimpa film Kucumbu Tubuh Indahku karya sineas Garin Nugroho.

Berawal dari kota kecil Depok, pelarangan terus berlanjut ke daerah lainnya, yakni Garut, Kubu Raya dan Pontianak, Kalimantan Barat, juga Kota Palembang.

Kota Depok menerbitkan surat keberatan dan meminta penayangan film "Kucumbu Tubuh Indahku" dihentikan di bioskop yang ada di Kota Depok.

Surat tersebut dilayangkan, Rabu (24/4), kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dengan nomor surat 460/185-Huk/DPAPMK yang ditandatangani oleh Wali Kota Depok, Mohammad Idris.

Alasan Pemkot Depok melarang pemutaran, lantaran film Kucumbu Tubuh Indahku terdapat muatan perilaku seksual menyimpang antar sesama jenis.

Dengan mengirimkan surat ke KPI, sebenarnya Pemkot Depok salah kaprah. Penyensoran adalah ranah Lembaga Sensor Film (LSF) sesuai UU No.33 Tahun 2009. Wewenang KPI adalah penayangan atau penyiaran produk audiovisual, sebagaimana diatur dalam bermuara pada UU No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran serta Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI tahun 2012.

Pemkot Pontianak melarang karena ingin melindungi masyarakat dari kekerasan di dalam keluarga, mulai dari anak-anak, remaja hingga dewasa.

Selain melarang penayangan, Walikota Edi Rusdi Kamtono juga minta pihak terkait menutup akses informasi film tersebut, baik melalui media massa maupun media sosial di Kota Pontianak.

Edi menilai, film tersebut dapat memberikan dampak negatif pada perilaku sosial masyarakat. Terutama adanya perilaku seksual menyimpang.

Begitulah gelombang pelarangan yang dialami oleh film Kucumbu Tubuh Indahku, yang disutradarai oleh Ifa Isfansyah.

Sumber: Tempo

Kisah LGBT

Kucumbu Tubuh Indahku berkisah tentang kehidupan Juno, sejak kecil (diperankan oleh Raditya Evandra) hingga dewasa (diperankan oleh Muhammad Khan) menjadi penari, di sebuah desa di Jawa, yang terkenal sebagai desa penari lengger lanang, jenis tarian perempuan yang dibawakan penari laki-laki.

Sejak kecil, Juno sudah kehilangan ayahnya yang tewas oleh pengadilan rakyat, karena dituduh terlibat PKI. Ia lalu dirawat oleh bibinya (Endah Laras), seorang penjual ayam, tetapi kemudian setelah remaja dan dewasa ia hidup sendiri.

Dalam pertumbuhannya itulah dia menemui dan mengalami banyak peristiwa yang membentuk keperibadian dan orientasi seksualnya. Dengan kata lain, Juno memiliki ketertarikan dengan sesama jenis (gay) yang akhir-akhir ini dikenal dengan kelompok LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender).

Apa yang menyebabkan Juno tumbuh menjadi pria "melambai" setelah dewasa? Banyak sekali peristiwa yang mempengaruhi jiwanya semasa ia dalam pertumbuhan.

Dalam film ini digambarkan Juno mulai dengan sembunyi-sembunyi mengintip para penari lengger, kemudian mengintip perselingkuhan seorang wanita bersuami yang masih muda, kemudian lelaki selingkuhannya dibunuh oleh suami sang wanita. Juno menyaksikan semua itu ketika dia masih kecil.

Kemudian Juno juga dikenal sebagai anak yang bisa mengetahui apakah seekor ayam sudah waktunya bertelur atau belum, melalui pemeriksaan yang sangat tradisional, yakni memasukan jarinya ke pantat ayam.

Sumber: Medcom

Ketika ia belajar menari, guru tarinya yang seorang perempuan, yang mengetahui Juno kurang kasih sayang karena ditinggal orangtuanya sejak kecil, memberi kesempatan kepada Juno untuk meraba bagian dadanya. Warga setempat yang mengetahui peristiwa itu menuduh sang guru tari melakukan perbuatan nista,  lalu menderanya.

Setelah dewasa, Juno bekerja sebagai penjahit pakaian, lalu menjadi perias. Dari sanalah dia berkenalan dengan kelompok penari lengger lalu bergabung dengan mereka. Juno juga sempat menjadi asisten seorang petarung dan memiliki hubungan khusus.

Penyimpangan orientasi seks Juno kembali menemukan jalannya setelah ia menjadi gemblak (kekasih) seorang penari warok.

Begitu kompleks pengalaman hidup Juno. Penyimpangan orientasi seks yang tumbuh dalam dirinya tidak terlepas dari berbagai pergulatan hidup yang dialaminya sejak kecil.

Sumber: HarianNasional

Kucumbu Tubuh Indahku memang mengisahkan tentang kehidupan seseorang yang kini dikategorikan ke dalam kelompok LGBT. Penyimpangan orientasi seks yang dialami oleh seseorang seperti Juno, merupakan hasil dari sebuah proses panjang dalam kehidupan.

Garin Nugroho melalui film ini ingin mengatakan bahwa begitu banyak faktor yang mempengaruhi perilaku manusia. Dimulai dari keluarga, pendidikan, dan lingkungan di mana dia tumbuh.

Jiwa manusia bisa dianalogikan dengan sebuah gelas kosong yang bisa diisi dengan apa saja. Gelas kosong itu tidak bisa meminta diisi air putih saja, cairan susu saja, apa saja minuman yang baik dan menyehatkan. Bisa saja orang memasukan minuman memabukan atau mengandung racun.

Jiwa kosong Juno yang sejak kecil kehilangan orang tua, akhirnya harus menyerap pelajaran dan lingkungan yang ditemuinya. Kebetulan persoalan-persoalan yang ditemui adalah bentuk kekerasan antara manusia yang satu terhadap manusia lainnya, yang membuatnya menyimpan trauma mendalam. Ironisnya, ketika menemukan kasih sayang justru dari para lelaki.

Sumber: GenPI.co

Apakah film ini mengkampanyekan LGBT seperti yang dituduhkan oleh beberapa pemerintah daerah yang melarang peredaran ini, sama sekali tidak. Bahwa film ini mengangkat kisah LGBT dan ada adegan yang menggambarkan perilaku seks kelompok ini (tidak terlalu berlebihan karena mungkin sudah disensor), tetapi penulis yakin, film ini bukan bentuk kampanye LGBT.

Justru bila dicermati dengan seksama, tanpa pretensi macam-macam ketika menontonnya, pesan yang terkandung dalam film ini sangat kuat, khususnya kepada para orang tua dan pemerintah, bahwa menjadi tugas kitalah untuk menjaga dan mendidik anak-anak kita agar tumbuh menjadi manusia yang sehat secara jasmani dan rohani.

Walaupun ilmu pengetahuan juga membuktikan bahwa perilaku seks menyimpang terjadi karena faktor gen yang sudah tertanam sejak manusia dalam kandungan, tetapi Garin tidak masuk ke dalam ranah yang bukan bidangnya itu. Garin hanya menyoroti faktor kekosongan pengaruh keluarga dan lingkungan yang membuat seseorang memiliki perilaku seks menyimpang.

Di Indonesia, resistensi terhadap LGBT menguat dalam beberapa tahun terakhir ini. Pada tahun 2014, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah mengeluarkan fatwa, bahwa aktivitas LGBT merupakan bentuk kejahatan. MUI dengan tegas mengatakan LGBT dilarang oleh agama dan melanggar konstitusi. Fatwa MUI itu diikuti di daerah-daerah.

Pada tahun 2016 sebuah lembaga bernama Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA), dan sejumlah pihak lain, permohonan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk merevisi pasal terkait kesusilaan (pasal 284, 285, dan 292) di KUHP.

Pasal 292 yang mengatur soal pencabulan orang dewasa ke anak-anak sesama jenis, diusulkan pihak pemohon untuk dihilangkan batasan umur sehingga artinya, siapa pun yang melakukan persetubuhan sesama jenis bisa dipidanakan. Namun MK menolak permohonan tersebut.

Menurut MK, pengujian undang-undang yang pada pokoknya berisikan permohonan kriminalisasi maupun dekriminalisasi terhadap perbuatan tertentu tidak dapat dilakukan oleh MK, sebab hal itu merupakan salah satu bentuk pembatasan hak dan kebebasan seseorang.

Vonis Untuk "Kucumbu Tubuh Indahmu"

Larangan terhadap peredaran Kucumbu Tubuh Indahmu (KTI) bisa jadi tidak bisa dilepaskan dengan stigma LGBT dan penolakan keberadaan kelompok yang memiliki orientasi seks menyimpang ini di Indonesia.

Ketika ada sebuah film yang mengangkat kehidupan LGBT langsung dicap negatif. Film semacam ini dikhawatirkan akan mempengaruhi generasi muda, walau pun sebuah film yang beredar di tanah air sudah melalui penelitian oleh Lembaga Sensor Film (LSF) yang anggotanya terdiri dari perwakilan organisasi keagamaan di Indonesia.

Akan tetapi, meskipun LSF merupakan satu-satunya lembaga yang dibentuk oleh negara berdasarkan UU No.33 Tahun 2009, yang memiki tugas dan wewenang untuk melakukan penyensoran (meneliti) film sebelum diedarkan, keputusannya tidak bersifat mutlak.

Indonesia merupakan negara yang memiliki begitu banyak suku bangsa (etnis) dengan adat istiadatnya masing-masing. Setiap daerah memiliki kearifan lokal yang berbeda dengan daerah lainnya. Sehingga sesuatu yang dianggap bagus di suatu daerah belum tentu cocok dengan daerah lainnya. Itulah sebabnya sebuah daerah memiliki otoritas tertentu yang diberikan undang-undang untuk membuat kebijaksanaan.

Dalam perfilman misalnya, daerah memiliki wewenang untuk mengizinkan atau tidak, mulai dari peredaran film, pendirian bioskop hingga menentukan pajak tontonan/hiburan. Itulah sebabnya, ada daerah yang mengizinkan pendirian bioskop ada yang melarang; besaran pajak untuk bioskop antara satu daerah dengan daerah lainnya berbeda. Demikian juga dengan peredaran sebuah film.

KTI bukan satu-satunya dan film pertama yang dilarang beredar secara nasional atau di daerah tertentu.

1. Film "Pocong"

Film Pocong (2006) karya Rudi Soedjarwo dilarang tayang oleh Lembaga Sensor Film (LSF) dan dibatalkan peredarannya karena dianggap mempertontonkan adegan kejahatan sadis hingga membawa isu peristiwa Mei 1998.

Sumber: Tribunnews

2. Film "Suster Keramas"

Ada juga film Suster Keramas (2009) karya Helfi Kardit juga dilarang tayang di Kalimantan Timur oleh MUI Samarinda setelah dianggap merusak moral karena berbau pornografi.

Sumber: Revi.us

3. Film "Cin(T)a"

Film Cin(T)a (2009) karya Sammaria Simanjuntak tentang percintaan laki-laki keturunan Tionghoa dan perempuan Jawa yang dibatasi peredarannya sebab dikhawatirkan menjadi kontroversi isu SARA.

Sumber: Nindihong

4. Film "Perempuan Berkalung Sorban"

Film Perempuan Berkalung Sorban (2009) karya Hanung Bramantyo dianggap beberapa kalangan berdampak menyesatkan dan menyebarkan fitnah terhadap agama Islam.

Sumber: mOntasefilm

5. Film 'Cinta Tapi Beda"

Ada pula film Cinta Tapi Beda (2012) karya Hanung Saputra dan Hestu Saputra yang mengangkat isu pluralisme ditarik peredarannya di beberapa daerah setelah diprotes oleh Ikatan Pemuda Pemudi Minang karena dinilai telah melecehkan suku tertentu.

Sumber: timesindonesia.co.id

6. Film "Naura dan Genk Juara"

Film Naura dan Genk Juara (2017) karya Eugene Panji yang juga dipetisikan Nina Asterly, ibu rumah tangga, karena gambaran fisik para penjahat di film itu mencirikan orang Islam dan film ditarik dari peredaran.

Sumber: kbknews.id 

7. Film "Tanda Tanya (?)"

Film Tanda Tanya (?) (2011) garapan Hanung Bramantyo yang juga mengangkat isu pluralisme dianggap sensitif dan mendapatkan protes keras dari MUI dan FPI yang minta film direvisi dan keluar dari unsur pluralisme.

Sumber: wowkeren.com 

8. "Film Dilan 1991"

Film Dilan 1991 (2019) karya Fajar Bustomi yang laris di bioskop juga sempat diprotes dan ditolak Komando Mahasiswa Merah Putih di Mal Panakukang dan Dinas Pendidikan Kota Makassar, Sulawesi Selatan.

Sumber: Bisnis.com

Tahun 2004, PT Multivision Plus segera menarik film Buruan Cium Gue (BCG) karya sutradara Findo HW dari peredarannya di seluruh Indonesia. Keputusan itu diambil atas kesadaran pihak Multivision Plus sebagai produser film tersebut, setelah film diprotes oleh elemen Islam dan dibahas MUI.

Pelarangan film di era reformasi cukup mengagetkan. Dulu orang mengira zaman kebebasan berekspresi sudah tiba dengan datangnya reformasi, sehingga praktik-praktik pelarangan terhadap karya seni, khususnya film, seperti di masa Orde Lama dan Orde Baru, tidak terjadi lagi. Ternyata anggapan itu salah.

Ironisnya pelarangan itu tidak melalui kajian mendalam dan terkesan diputuskan terburu-buru. Yang memprihatinkan, Walikota Pontianak bukan hanya keberatan atas pemutaran film tersebut, tetapi juga meminta KPID Kalbar menutup akses informasi terhadap film itu. Akses informasi film tersebut diminta ditutup baik melalui media cetak, media sosial maupun media massa yang ada di Kota Pontianak.

Dengan permintaan agar ada penutupan informasi tentang film KTI melalui media massa dan media sosial, terkesan Walikota Pontianak telah melampaui wewenangnya.

Di era keterbukaan ini sungguh sebuah bencana jika masih ada keinginan untuk menutup informasi. Kebijakan itu hanya bisa lahir di bawah rezim otoriter.

Pertanyaannya kemudian, bisakah akses informasi ditutup di era digital ini?

Meskipun menjadi wewenang pemerintah daerah untuk mengizinkan atau melarang sebuah film, upaya itu seperti menggantang asap, karena pada saat bersamaan masyarakat begitu mudah melihat film atau tayangan yang memiliki adegan dan pesan jauh lebih berbahaya dibandingkan film KTI.

Apa yang bisa dilakukan oleh pemerintah (pusat dan daerah) dengan konten YouTube atau saluran lain di internet yang menyerbu seperti air bah? Bukankah sebelum film KTI beredar masyarakat penonton film maupun pengamat memuji-muji film Bohemian Rhapsody yang isinya juga menggambarkan perilaku seks menyimpang? Seperti diketahui, vokalis grup musik Queen Freddie Mercury yang kisahnya diangkat ke dalam film ini seorang gay.

Sumber: TimesNow

Secara filmis, KTI adalah sebuah film yang bagus: kuat dalam pesan, mengalir dalam penuturan dan nyaris sempurna secara teknis. Film ini lebih komunikatif dibandingkan banyak film Garin yang lain, sehingga bisa dinikmati alur maupun ceritanya.

Sebelum tayang resmi di Indonesia, KTI sudah lebih dulu meraih berbagai penghargaan di kancah perfilman Internasional, di antaranya menjadi pemenang di Asia Pasific Screen Awards dan Festival Des 3 Continents Nantes 2018. 



Berita Terkait