Sumbangsih Para Pakar Muslim Pada Peradaban Manusia | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Sumber: Istimewa

Sumbangsih Para Pakar Muslim Pada Peradaban Manusia

Ceknricek.com--Bagaimana mungkin, suatu ajaran, suatu tata cara dan gaya hidup (ad-din) yang diturunkan selama jangka waktu 23 tahun, di tengah-tengah kegersangan gurun yang sangat terpencil (Mekah dan kemudian Madinah) hingga bahkan tidak dihiraukan sama sekali oleh kekuatan-kekuatan dunia di abad ke-7 itu, seperti Persia dan Bizantium, kemudian mampu mengilhami para penganutnya hingga sanggup mendobrak dan mengusung suatu peradaban yang kemudian dikenal sebagai Zaman Keemasan Islam.

Kini banyak yang lupa atau memang sengaja ingin menutupi bahwa Sang GURU  adalah MAHA SEGALA-GALANYA”. (QS 2:255).

Berapa di antara kita yang mengetahui bahwa pada hakikatnya perguruan tinggi/universitas pertama di semesta alam ini didirikan oleh seorang Muslimah di abad ke-9 Masehi, tepatnya dalam tahun 859 Masehi, di Fez, Maroko.

Universitas yang sampai kini masih terus berfungsi sebagai sumber ilmu itu, didirikan oleh Fatimah Al-Fihri. Fatimah dan saudara perempuannya mewarisi pusaka yang cukup besar dari orang tuanya, dan harta tersebut kemudian diamalkannya sebagai salah satu bentuk ibadahnya untuk mendirikan, antara lain, Universitas Al Qarawiyyin.

Mungkin banyak yang akan tercengang dan bahkan merasa tidak masuk akal bahwa pimpinan Gereja Katolik antara tahun 999 s/d 1003 Paus Sylvester II (Gerbert dari Aurillac – Prancis) dikatakan atau diduga adalah lulusan perguruan tinggi pertama di dunia yang didirikan dalam tahun 859 oleh seorang Muslimah Fatimah al-Fihri di Fez, Maroko, itu.

Dalam bukunya berjudul “The Abacus and the Cross” sejarawati Nancy Marie Brown, menulis: “Ketika Gerbert (sebelum diangkat sebagai Paus) tiba di Spanyol, lingua franca di kawasan itu adalah bahasa Arab (bahasa yang diperkenalkan oleh Muslim). Bahasa Arab bukan saja digunakan dalam penulisan-penulisan sajak/syair yang erotis melainkan juga digunakan dalam penyelenggaraan misa di gereja.” (The Abacus and the Cross halaman 51).

Gerbert Aurillac juga dikenal sebagai tokoh yang memperkenalkan konsep matematika yang diserapnya dari para pakar Muslim/Arab, seperti Al Khawarizmi, kepada Eropah.

Literatur ilmiah (sains) yang ditulis dalam Zaman Keemasan Islam hampir selamanya dimulai dengan ayat-ayat Al Qur’an yang mendorong Muslim agar menuntut ilmu dalam artian yang seluas-luasnya, antara lain lewat merenungkan keadaan di sekitar mereka.

Sejumlah pakar menyimpulkan ada tiga faktor pendorong untuk melakukan penyelidikan terhadap rahasia tentang ilmu/sains yang hidup hanya di kalangan Muslim, yang niscaya tidak mungkin bakalan muncul tanpa kebangkitan Islam sebagai suatu kekuatan geopolitik dalam abad-abad menyusul masa kenabian Muhammad (saw).

Di antara sekian banyak dorongan atau motivasi dalam Al Qur’an bagi Muslim untuk menuntut ilmu (bahkan sampai ke Tiongkok sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits) adalah QS 6:11 (”Katakanlah: Berjalanlah kamu di muka bumi, kemudian perhatikanlah, bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan Itu..”).

Selama ini hadits tentang anjuran agar menuntut ilmu bahkan sampai ke Negeri Cina sering diperdebatkan keabsahan/kesahihannya. Namun keabsahan atau kesahihan hadis tersebut dapat dipertanggungjawabkan dengan rasionalisasi sebagai berikut:

Dalam Al Quran Surat Al Fathir (35) ayat ke-27 berbunyi sebagai berikut:

“Tidakkah engkau perhatikan bahwa sesungguhnya Allah telah menurunkan air dari langit, lalu Kami keluarkan dengan air itu buah-buahan yang beraneka warnanya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka warnanya, dan ada (pula) yang sangat hitam.” (QS 35:27).

Jadi yang dimaksudkan Al Qur’an adalah gunung-gunung pelangi.

Agar diketahui pegunungan pelangi pertama yang diketahui manusia adalah yang terdapat di Cina, tepatnya di Taman Zhangye Danxia, yang dalam tahun 2019 oleh badan Perserikatan Bangsa-Bangsa, UNESCO, dinyatakan sebagai Warisan Dunia.

Beberapa tahun kemudian umat manusia digemparkan lagi oleh “tampilnya” pegunungan pelangi seperti yang di Cina itu, kali ini di Peru, Amerika Selatan.

Timbul pertanyaan: sekiranya Al Qur’an adalah “karya” Muhammad ibn Abdallah (saw) mungkinkah seorang buta huruf seperti beliau sudah mengetahui tentang ilmu bumi Cina?

Dalam Islam, agama dan sains adalah saudara kembar. (Dr. Maurice Bucaille – La Bible, le Coran et la Science, hal.ix).

Jadi, apa yang mungkin telah terjadi adalah, ketika menyampaikan wahi ini kepada Rasulullah (saw) Jibril (as) juga membisikkan bahwa lokasi gunung pelangi tersebut berada di Cina, karena yang berada di Peru baru-baru ini saja terungkap sesudah es yang menutupinya mencair. Allahu a’lam.

Sebenarnya banyak lagi contoh-contoh dari ayat-ayat sejenis yang mengandung makna yang mustahil sudah diketahui manusia di zaman itu, zaman kuda gigit besi.

Oleh sebab itu tidaklah berlebihan kalau pakar Muslim asal India, Maulana Wahiduddin Khan, menyebut Islam sebagai “Pencipta Zaman Moderen”. Pakar asal Amerika yang kemudian berkiprah di sejumlah universitas di Australia, Prof. Dr. Merle Ricklefs, dalam salah satu bukunya mengatakan, antara lain, “Islam telah membawa modernitas ke Indonesia..”.

Islam tampil antara lain untuk membabat habis segala bentuk takhayul.

Bagi Maulana Wahiduddin Khan yang dinamakan takhayul itu adalah segala bentuk politeisme yang sangat berlawanan dengan monoteisme – alias tauhid.

Sebagaimana dijabarkan dalam Wikipedia:

Politeisme adalah satu bentuk kepercayaan yang mengakui adanya lebih dari satu Tuhan atau pemujaan banyak tuhan seperti dewa dan dewi yang dipuja di kuil bersama dengan upacara dan mitologi tertentu.

Secara harfiah perkataan Politeisme berasal dari bahasa Yunani yaitu poly + theoi, yang membawa maksud 'banyak tuhan'. Lawan bagi faham ini adalah Monoteisme (Tauhid), atau kepercayaan yang hanya mengakui Ketuhanan yang satu. Politeisme merupakan agama atau keyakinan masa lampau sebelum 6SM yang hampir menyamai konsep agama Pagan.Banyak agama, sama ada yang lama atau baru, mempunyai kepercayaan politeisme seperti agama Hindu, Buddha, Shinto, Yunani Purba, agama tradisi orang Cina, kepercayaan neo-pagan dan paganisme Inggris-Saxon.

Terutama di zaman pra Islam, politeisme benar-benar mendominasi umat manusia yang, misalnya, menganggap sang rembulan sebagai dewa atau dewi, begitu pula berbagai benda tidak bergerak lainnya, termasuk pepohonan dan bebatuan, yang pada gilirannya mendorong manusia agar tunduk padanya bukan menaklukkannya.

Islam tampil dan keadaan berubah seratus persen!

Kalau di dunia Barat revolusi yang terjadi adalah pemisahan agama dari sains, maka seperti disebutkan sebelumnya, dalam Islam agama dan sains adalah saudara kembar yang tidak terpisahkan.

Berkat dorongan Al Qur’an kepada Muslim agar merenung, bertanya, berpikir, menyelidiki, mencari tahu dan lain kegiatan sejenisnya, maka terbukalah pintu penelitian (riset/investigasi) yang menurunkan alam dari singgasananya yang dianggap suci.

Bermulalah suatu zaman, suatu era baru.

Sains modern sepenuhnya adalah pemberian dari revolusi Islami, secara langsung pada tahap awalnya, dan tidak langsung pada tahapan berikutnya. Dalam karyanya “History of the Arabs”, sejarawan Amerika keturunan Lebanon, Philip Hitti, mengatakan:“Tidak ada bangsa di Abad Pertengahan yang memberikan sumbangan pada kemajuan umat manusia sebesar seperti yang pernah diberikan bangsa Arab dan bangsa-bangsa yang berbahasa Arab.”

Sementara cendikiawan Jerman A. Humboldt menyimpulkan, “Adalah bangsa Arab yang seharusnya dianggap sebagai penemu ilmu fisika.”

Kelebihan Muslim adalah PD (percaya diri) yang diberikan Islam pada mereka, hingga, paling tidak, di zaman lalu, penguasa Muslim tidak segan-segan mengumpulkan para ilmuwan Muslim maupun non-Muslim, demi kemajuan ilmu pengetahuan.

Lihat dan kajilah sejarah. Dalam tahun 70 Masehi penguasa Romawi mengusir umat Yahudi dari Yerusalem atau Al Quds. Barulah sesudah kota suci agama Ibrahimi itu dikuasai Muslim dalam tahun 637 umat Yahudi diperbolehkan kembali ke Al Quds.Dan tradisi ini juga diterapkan, misalnya dalam Dinasti/Daulah Abbasiyah.

Pada awal tahun 800-an Masehi, penguasa Abbasiyah, Khalifah Al Ma’mun (Abu al-Abbas Abdallah ibn Harun al-Rashid) yang berkuasa antara tahun 813 s/d 833 menerapkan apa yang kini barangkali dapat disebut sebagai suatu bentuk “masyarakat multi kultural”, paling tidak dalam kehidupan duniawi.

Waktu itu wilayah kekuasaannya merentang dari Atlantik sampai ke Hindustan, dengan ibukotanya Baghdad, yang jumlah penduduknya mencapai sekitar satu juta jiwa. Waktu itu (abad ke-9) di Timur Tengah terdapat tiga belas kota yang masing-masing berpenduduk di atas lima puluh ribu jiwa, sedangkan di Eropa hanya ada satu kota – Roma – yang penduduknya mencapai lima puluh ribu jiwa. (Mustafa Akyol: “Islam without Extremes” hal. 27)

Berbekal dan dijiwai semangat: “Bagi kamu agama kamu dan bagiku agamaku”. (QS 109:6) Al Ma’mun menghimpun golongan-golongan dari aneka budaya, seperti Yunani, Qibti (Coptic), Persia, India dan banyak lagi agar berbagai sumbangan yang terbaik dari peradaban-peradaban sebelumnya dapat disaring.

Bagi Al Ma’mun suatu masyarakat majemuk budaya yang idealis hanya dapat terbentuk lewat sains dan rasionalisme, dan Islam adalah suatu ajaran yang di dalamnya tersedia berbagai pengetahuan sains dan, seperti yang disimpulkan pakar Muslim Mesir, Rasyid Ridha. Islam adalah agama yang “rasional”.

Dalam bukunya “The Muhammadan Revolution”.Rashid Ridha mengemukakan pandangannya secara panjang lebar mengenai kenabian Muhammad (saw), yang dikatakannya tidak memerlukan berbagai mukjizat. Meski beliau (saw) pernah bersangkut paut dengan kejadian-kejadian di luar lingkar duniawi, beliau (saw) sama sekali tidak pernah mengajarkan agar kejadian-kejadian itu disebut-sebut. Ini, kata Rashid Ridha, dikarenakan pada abad ke-7 umat manusia telah memasuki tahapan kematangan dan kemandirian hingga alam pikiran manusia tidak lagi terpukau dengan hal-hal di luar nalar manusiawi (super natural).

Namun yang namanya sains memang masih diliputi selubung kegelapan gegara kepercayaan yang begitu tebal pada takhayul.Dan Islam turun dengan tantangan-tantangannya kepada manusia sebagai makhluk terbaik (QS 95:4). Kemudian kepada Rasulullah (saw) sebagai pimpinan, Allah (swt) menegaskan:

“Inilah Kitab Kami turunkan kepadamu supaya engkau mengeluarkan manusia dari gelap kepada terang…” (QS 14:1). Sebelum Islam memang sudah banyak teori-teori sains yang cukup memukau namun keliru.

Misalnya Astronom (ahli ilmu falak) Ptolemy (dari Mesir keturunan Yunani), di zaman Aleksander Agung melakukan penelitian dan kemudian menuliskannya secara panjang lebar dalam bahasa Latin tentang teorinya bahwa “bumi tidak bergerak/berputar sementara surya dan bulan serta planet-planet lainnya mengitari bumi.”

Teori ini memang sangat menarik, terutama bagi umat Kristen waktu itu.

Betapa tidak: keyakinan azasiah/mendasar agama Kristen adalah penebusan dosa. Dan penebusan dosa itu terjadi lewat penyaliban Yesus Kristus yang terjadi di bumi, karenanya bumi merupakan faktor terpenting dalam alam semesta, oleh sebab itu sangat pantas apabila planet-planet lainnya menunjukkan rasa hormatnya dengan mengitari bumi.

Namun para ahli ilmu falak waktu itu, seperti Copernicus, Kepler dan Galileo mengoreksi keyakinan ini.

Sebagaimana ditulis oleh A. Gunawan Admiranto dalam Anak Bertanya:

“Galileo Galilei (1564-1642) adalah seorang pria asal Italia yang bisa dianggap sebagai pelopor astronomi pengamatan, fisika modern, dan ilmu pengetahuan modern. Ia adalah orang pertama yang menggunakan teropong untuk melakukan pengamatan astronomi dan berhasil mengamati satelit-satelit besar Jupiter (Io, Ganymede, Callisto, dan Europa) sehingga satelit-satelit itu diberi nama satelit galilean. Ia juga adalah orang pertama yang menemukan fase-fase Venus, melakukan analisis bintik Matahari, dan melakukan beberapa eksperimen dalam bidang mekanika dan bidang yang sekarang dikenal sebagai ilmu kekuatan bahan. Salah satu sumbangan terbesar Galileo adalah pandangannya bahwa hukum-hukum alam bisa dipahami melalui matematika.

Pada tahun 1543 buku karya Copernicus yang berjudul De Revolutionibus Orbium Coelestium terbit dan menarik perhatian banyak cendekiawan Eropa saat itu, termasuk Galileo. Pada saat itu Gereja Katolik masih menganut paham bahwa Bumi adalah pusat alam semesta dan belum bisa menerima bahwa Bumi bergerak mengitari Matahari karena belum ada bukti empiris bahwa hal ini yang sebenarnya berlaku. Ketika Galileo mengungkapkan dukungannya terhadap pandangan Copernicus ini, ia diminta menarik dukungannya oleh pengadilan Inkuisisi, mungkin karena ia dianggap cukup berpengaruh di dalam masyarakat intelektual Italia saat itu. Oleh pengadilan Inkuisisi ia dihukum untuk secara formal menarik dukungan terhadap Teori Heliosentrisme dan kemudian ia dikenakan tahanan rumah sampai akhir usianya. Selain itu, semua tulisannya dilarang untuk diterbitkan.

Sikap Gereja itu sangat berbeda dengan ajaran Islam yang umumnya dipahami, untuk pertama kali dalam sejarah, memisahkan antara ilmu agama dan ilmu duniawi (sains), hingga memberikan kebebasan kepada para ilmuwan Muslim untuk melakukan penelitian seluas-luasnya.

Dan penghargaan atas segala jasa-jasa mereka itu ternyata bertubi-tubi datang dari berbagai penjuru, termasuk dari kalangan cerdik cendikiawan non Muslim dari Barat, yang banyak diantaranya sudah melekat sikap obyektivisme pada sudut pandang mereka hingga tidak segan-segan dan tidak sungkan untuk mengakui kehebatan para pakar Muslim di zaman lalu, khususnya di Zaman Keemasan Islam.

Misal saja pidato di bawah ini yang pernah disampaikan dalam tahun 2001:

“Pada suatu ketika pernah ada peradaban yang terhebat di dunia. Peradaban ini mampu membentuk suatu negara adidaya kebenaran yang merentang dari satu lautan ke lautan lainnya, dan juga merentang dari utara sampai melintasi wilayah tropika dan gurun. Dalam wilayahnya yang luas itu hidup jutaan manusia, dari berbagai kredo dan etnisitas.

Salah satu bahasanya menjadi bahasa universal dari sebagian cukup besar umat manusia di dunia, dan sekaligus menjadi jembatan antara berbagai kelompok masyarakat dari ratusan negeri.Bala tentaranya terdiri dari berbagai bangsa, dan perlindungan militer yang diberikannya memungkinkan terwujudnya perdamaian dan kedamaian serta kemakmuran yang belum pernah dinikmati umat manusia di zaman sebelumnya. Jangkauan dari perdagangan peradaban ini merentang dari Amerika Latin hingga ke Cina, dan berbagai wilayah lainnya di antara kedua negeri yang disebutkan tadi.

Dan peradaban ini didorong oleh kemampuan melakukan penemuan, melampaui kemampuan-kemampuan lainnya. Para arsiteknya merancang bangunan yang melawan gaya tarik bumi alias gravitasi, dan para ahli matematikanya menciptakan aljabar dan algoritma yang lambat laun memungkinkan dibangunnya komputer dan diciptakannya enkripsi. Para tabibnya mengkaji tubuh manusia dan menemukan penawar-penawar (obat-obatan) bagi berbagai penyakit, sementara para ahli ilmu falaknya (astronomer) melayangkan pandangan ke langit, kemudian memberi nama pada bintang-bintang, dan melapangkan jalan yang memungkinkan dilakukannya penjelajahan sampai ke antariksa. Para penulisnya menciptakan ribuan cerita – cerita tentang semangat keberanian, tentang roman kasih sayang antara manusia dan khayalan-khayalan magis. Para pujangganya menulis tentang cinta, ketika para pujangga lainnya sebelum mereka, terlalu terkungkung rasa takut yang luar biasanya untuk memikirkan hal-hal atau pokok-pokok persoalan seperti itu.

Pada waktu bangsa-bangsa lain dirundung ketakutan pada ide-ide, peradaban yang hebat ini sebaliknya hidup subur di tengah-tengah ide-ide ini dan terus memupuknya. Ketika para petugas sensor mengancam akan menghapus ilmu pengetahuan dari peradaban-peradaban sebelumnya, peradaban yang hebat ini terus memupuknya dan meneruskannya kepada yang lainnya.

Kalau peradaban modern Barat kini memiliki banyak sikap-sikap atau tabiat dari peradaban ini, ketahuilah peradaban yang saya maksudkan ini lahir dari dunia Islam dari tahun 800 hingga 1600, termasuk di dalamnya Imperium Utsmaniyah, khilafah Baghdadi, Damsyik dan Kairo, dan penguasa-penguasa yang cinta pencerahan seperti Sulaiman yang Agung.

Meski kita acap tidak sadar akan hutang budi kita pada peradaban ini, namun apa yang disumbangkannya merupakan bagian tak terbantah dari warisan kita. Industri teknologi niscaya tidak akan ada tanpa sumbangsih para ahli matematika Arab. Filosof yang juga pujangga Sufi seperti Rumi menantang pikiran-pikiran kita tentang diri kita dan kebenaran, dan pemimpin seperti Sulaiman telah menyumbangkan kepada kita warisan tentang toleransi dan kepemimpinan sipil.

Sangat boleh jadi kita dapat menarik pelajaran dari teladan-teladan ini: peradaban ini dilahirkan oleh pimpinan yang memang punya kemampuan (meritokrat) bukan pimpinan turun temurun alias dinasti/nepotisme. Pimpinan tersebut mampu menghimpun dan memanfaatkan kemampuan maksimal dari rakyat yang terdiri dari aneka bangsa yang sangat berbeda satu sama lain dalam asal usulnya, termasuk mereka yang Kistiani, Muslim dan Yahudi.”

Yang diatas itu bukanlah ucapan seorang pemuka Muslim, melainkan isi pidato seorang perempuan pelaku bisnis yang sangat sukses, yakni Carly Fiorina, yang waktu itu adalah CEO/DIRUT Hewlett-Packard, ketika mengakhiri sambutannya berjudul “Teknologi, Bisnis dan Tata Cara Hidup Kita: Apa Berikutnya?”, di Minnesota, Amerika Serikat, dalam bulan September 2001.

 

 


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait